Pendekar Budiman: Bagian 11

Pendekar Budiman: Bagian 11
Oleh Gu Long

Sun-hoan memejamkan mata, lalu berkata pula dengan perlahan, “Beberapa tahun yang lalu pernah kulihat seorang yang mati diracun olehnya, baru sebentar saja orang itu keracunan sekujur badannya lantas berubah hitam, kutinggalkan sejenak, waktu kembali lagi, kulihat kulit daging orang itu sudah lenyap dan tersisa kerangka jerangkong saja, jerangkong hitam.”

Sim-si memandang jenazah Sim-bi, ucapnya, “Tapi sudah beberapa hari Jisuheng keracunan.”

“Betul,” mendadak Sun-hoan membuka matanya, “sudah beberapa hari Sim-bi Taysu keracunan dan belum mengalami perubahan yang menakutkan itu, apakah kau tahu apa sebabnya?”

Sim-si menggeleng.

“Sebab sekaligus dia telah terkena lagi semacam racun lain yang sangat lihai.”

“Mak … maksudmu ….”

“Maksudku, meski dia keracunan Ngo-tok-tongcu, tapi tidak terlalu parah, apalagi racun telah ditolaknya dengan tenaga dalamnya yang kuat sehingga racun tidak dapat bekerja dengan lancar sampai dia pulang ke sini.”

“Betul, memang begitu.”

“Si pembunuh khawatir Sim-bi akan membeberkan rahasianya, maka diberinya pula semacam racun lain yang sangat lihai.”

“Banyak cara membunuh orang, mengapa dia memakai racun juga?”

“Sebab membunuh orang dengan cara apa pun tentu akan meninggalkan sesuatu bekas, sedangkan semua orang sudah tahu Sim-bi Taysu keracunan jika dia menggunakan racun juga, dapatlah terhindar dari rasa curiga orang lain.”

“Betul juga,” ucap Sim-si dengan menyesal, “dengan cara demikian, setiap orang pasti akan mengira Jisuheng mati keracunan oleh Ngo-tok-tongcu dan takkan menaruh curiga lagi padanya.”

“Meski tindakan orang ini cukup cermat dan memakai perhitungan mendalam, namun sayang, dia tetap melupakan sesuatu,” ujar Sun-hoan.

“Sesuatu apa?” tanya Sim-si.

“Dia lupa antara racun dan racun bisa saling bertentangan, justru lantaran racun yang diberinya itu sangat keras sehingga mengatasi racun yang diberi Ngo-tok-tongcu, sebab itulah jenazah Sim-bi Taysu sampai sekarang tidak mengalami pembusukan yang menakutkan itu.”

Sim-si termenung sejenak, katanya kemudian sambil mengangguk, ” Ya, kupaham maksudmu, cuma siapakah gerangan orang yang meracuni Jisuheng tetap tidak kita ketahui.”

Sinar mata Sun-hoan gemerdep, “Sepulangnya Sim-bi Taysu, apakah beliau pernah minum sesuatu?”

“Hanya minum semangkuk obat,” tutur Sim-si.

“Siapa yang memberi minum padanya?”

“Obat dari Jitsute Sim-kam, tapi yang menyuapi obat baginya adalah Sisuheng Sim-ciok dan Laksute Sim-ting,” Sim-si menghela napas panjang, lalu menambahkan lagi, “Makanya ketiga orang ini sama-sama mempunyai kesempatan untuk meracuni Jisuheng.”

Perlahan Sun-hoan berkata pula, “Pada umumnya racun di dunia ini dapat dibagi menjadi dua jenis. Pertama adalah racun yang tak berbau dan tanpa warna, tapi dapat mematikan korbannya secara mengenaskan.”

“Agaknya racun Ngo-tok-tongcu itu termasuk jenis ini?” tanya Sim-si.

“Betul,” kata Sun-hoan. “Jenis kedua boleh jadi ada baunya dan juga jelas kelihatan, akan tetapi dapat membuat orang mati tanpa sesuatu gejala yang mencurigakan, bahkan membikin orang lain tidak tahu cara bagaimana kematiannya.”

“Jadi maksudmu si pembunuh menggunakan racun semacam ini?”

Sun-hoan mengangguk, “Justru karena sifat kedua macam racun ini berbeda, maka keduanya saling bertentangan. Racun jenis pertama itu memang sangat menakutkan, tapi racun jenis kedua jauh lebih keji, tidak banyak orang Kangouw yang dapat menggunakan racun semacam ini.”

Tiba-tiba gemerdep sinar mata Li Sun-hoan, tanyanya sambil menatap Sim-si, “Di antara anak murid Siau-lim, ada berapa orang yang mahir menggunakan racun?”

Sim-si menghela napas panjang, ucapnya, “Hal ini ….”

Tapi Sun-hoan lantas memotong, “Siau-lim-si memimpin dunia persilatan, inilah kebanggaan setiap anak murid Siau-lim, tentunya tiada seorang pun yang sudi belajar ilmu yang kotor ini, begitu bukan?”

“Ya, di antara ke-72 jenis Kungfu Siau-lim-pay sama sekali tidak terdapat istilah racun segala,” jawab Sim-si tegas.

“Sim-ciok dan Sim-ting Taysu ….”

“Sim-ciok cukur rambut sejak berumur sembilan, Laksute Sim-ting bahkan sudah diserahkan kepada perguruan selagi masih bayi, selama hidup mereka mungkin belum pernah melihat racun.”

Sun-hoan tersenyum, “Jika demikian, lantas siapakah yang menaruh racun itu?”

“Memangnya kau maksudkan Jitsute Sim-kam?” tanya Sim-si.

Sun-hoan tidak bicara lagi.

Kiranya Sim-kam Taysu masuk Siau-lim-si pada waktu setengah baya, sebelum masuk Siau-lim-si di dunia Kangouw terkenal dengan julukan “Jit-giau-susing” atau si sastrawan serbamahir, dia justru seorang ahli racun.

Sim-si termenung hingga lama, kemudian mengangkat kepala dan menatap tajam Li Sun-hoan. Pada saat yang sama Sun-hoan juga sedang menatapnya ….

*****

Di tengah gardu pemandangan terdapat papan catur dengan biji catur yang tidak teratur. Pek-hiau-sing memegang satu biji catur dan diketuk-ketukkan pada meja dengan perlahan, suatu tanda perasaannya sedang diliputi ketegangan.

Sim-oh Taysu, Sim-ciok, Sim-ting dan Sim-kam juga berada di sini.

A Fei tampak meringkuk di pojok sana, kepala tertunduk seakan-akan tidak kuat terangkat lagi.

Sim-oh Taysu memandangnya dengan kening berkerut, katanya kemudian, “Menurut pandangan kalian, apakah Li Sun-hoan akan keluar?”

“Ya, tidak perlu diragukan,” ujar Pek-hiau-sing dengan tertawa.

“Orang semacam dia masakah mau berkorban bagi kawan? ….” belum habis ucapannya, mendadak Sim-oh Taysu melengak, sebab dilihatnya Sim-si telah muncul, tapi hanya muncul sendirian.

Cepat Sim-oh menyongsongnya dan bertanya, “Baik-baikkah Gosute?”

Nyata dia memang seorang pemimpin yang bijaksana, dia tidak tanya urusan lain, tapi tanya dulu keadaan Sim-si.

Sim-si memberi hormat dan menjawab, “Terima kasih atas perhatian Suheng, syukurlah Tecu berhasil lolos dari maut.”

Dalam pada itu Sim-kam juga telah menyusul tiba, segera ia bertanya, “Dan di manakah Li Sun-hoan?”

“Dia pergi mengambil kitab,” jawab Sim-si dengan tak acuh.

“Mengambil kitab? Kitab apa?” tanya Sim-kam.

“Kitab yang hilang dari perpustakaan.”

“Hm, kiranya dia si pencuri kitab,” jengek Sim-kam. “Mengapa Suheng membiarkan dia pergi begitu saja?”

“Sebab si pencuri kitab bukanlah dia,” kata Sim-si, ia pandang Sim-kam dengan sorot mata yang tajam, “Si pencuri kitab ialah si pembunuh Jisuheng, itu, sebab Jisuheng telah mengetahui rahasia orang ini, terpaksa dia membunuh Jisuheng untuk menghilangkan saksi, tapi orang itu bukanlah Li Sun-hoan.”

“Memangnya siapa kalau bukan Li Sun-hoan?” tanya Sim-kam.

“Kau!” bentak Sim-si mendadak dengan mata melotot.

Air muka Sim-kam seketika berubah, tapi sedapatnya dia berlagak tenang dan menjawab, “Mengapa Gosuheng bicara demikian, sungguh aku tidak paham.”

“Jika kau tidak paham, lantas siapa lagi yang paham?” jengek Sim-si.

Sim-kam lantas berpaling dan berkata ke-pada Sim-oh Taysu, “Persoalan ini terserah kepada kebijaksanaan Suheng, Tecu tidak dapat bicara apa-apa lagi.”

Dalam pada itu Sim-ciok, Sim-ting dan Pek-hiau-sing juga sama melenggong.

Sim-oh juga tercengang, ucapnya, “Jisute jelas terbunuh oleh Li Sun-hoan, mengapa engkau malah membelanya?”

Segera Pek-hiau-sing menimpali, “Jika tidak salah ingatanku, Sim-si Suheng dan Li Sun-hoan seperti menempuh ujian bersama ketika mendapatkan gelar Cinsu dahulu.”

“Ai, barangkali Gosuheng juga telah terpikat oleh mulut manis Li Sun-hoan,” ejek Sim-kam.

Sim-si tidak menghiraukan mereka, dengan suara tegas ia berkata pula, “Racun yang menewaskan Jisuheng bukanlah racun andalan Ngo-tok-tongcu ….”

“Dari mana pula Gosuheng mengetahui hal ini?” tanya Sim-kam.

“Hm, jangan kau kira orang lain tidak tahu perbuatanmu, memangnya kau lupa barang tinggalan Jisuheng sebelum ajalnya?” jengek Sim-si. Waktu tangan terangkat, terlihat yang dipegangnya adalah buku catatan pribadi Sim-bi Taysu.

“Ada apa lagi?” tanya Sim-oh dengan kening bekernyit.

“Sebelum Jisuheng pergi, sudah diketahui siapa pengkhianat yang mencuri kitab itu,” tutur Sim-si. “Cuma Jisuheng memang berhati bajik dan berbudi luhur, sebelum segala sesuatu terbukti nyata beliau tidak mau mengungkapkan nama murid murtad ini, maka dia cuma menuliskan namanya saja dalam buku catatannya ini agar bila terjadi sesuatu atas dirinya, apa yang ditulisnya di sini dapat dijadikan sebagai bukti.”

“Apakah benar?” Sim-oh menegas.

Cepat Sim-kam mendahului menjawab, “Jika dalam buku catatan ini benar ada namaku, kurela menerima ….”

“Hm kau rela apa? ….” jengek Sim-si. “Meski halaman terakhir buku ini sudah kau robek, memangnya kau kira catatan Jisuheng tidak terdapat dalam halaman lain?”

Tergetar tubuh Sim-kam, mendadak ia mendekam di lantai dan meratap, “O, Gosuheng sampai hati berkomplot dengan orang luar dan memfitnah diriku, mohon kebijaksanaan Toasuheng atas perkara ini.”

Sim-oh Taysu berpikir sejenak, tiba-tiba sorot matanya beralih kepada Pek-hiau-sing, maksudnya minta pendapat sahabat karib itu.

Perlahan Pek-hiau-sing lantas berkata, “Meski huruf hitam tertulis di atas kertas putih, tapi huruf dapat ditulis oleh setiap orang.”

“Betul,” tulis Sim-kam cepat. “Umpama, betul dalam buku catatan Jisuheng ini tertulis namaku, ini pun tidak berarti benar ditulis sendiri oleh Jisuheng.”

“Setahuku,” demikian Pek-hiau-sing menyambung, “Li-tamhoa memang serbabisa baik ilmu silat maupun sastra, dengan sendirinya seni tulisnya juga tidak tercela.”

“Ya, kalau dia menirukan gaya tulis seseorang, dengan sendirinya bukan soal sulit baginya,” tukas Sim-kam.

Sim-oh Taysu lantas menarik muka, ucapnya sambil melototi Sim-si, “Biasanya kau dapat bekerja dengan cermat, mengapa sekali ini kau bisa ceroboh begini?”

Sim-si tetap tenang saja, “Jika Suheng menganggap bukti ini belum cukup, dapat kutunjukkan lagi bukti lain.”

“Coba jelaskan,” kata Sim-oh Taysu.

“Kitab pusaka Ta-ma-ih-kin-keng yang biasanya tersimpan di kamar Jisuheng itu sekarang juga telah hilang tercuri,” tutur Sim-si.

“Hahh?!” seru Sim-oh terkejut.

“Menurut perhitungan Li-tamhoa, kitab itu pasti belum sempat dikirimkan ke luar dan tentu masih tersimpan di kamar Sim-kam, maka Tecu sudah menugaskan It-tun dan It-in yang berdinas jaga ikut mengawasi Li-tamhoa dan bersama menemukan kitab yang tercuri itu.”

Mendadak Sim-kam melompat bangun sambil berteriak, “Jangan Suheng percaya ocehannya, mereka sengaja memfitnah diriku.”

Sembari berteriak, segera ia menerjang ke luar.

Sim-oh bekernyit kening, sekali lengan jubahnya mengebas, serentak ia pun melayang ke luar, tapi dia tidak merintangi Sim-kam melainkan terus menguntit di belakangnya dengan ketat.

Tempat yang dituju Sim-kam ternyata kamarnya sendiri. Pintu kamar sudah terbuka, segera ia menerjang masuk tanpa pikir, sekali hantam ia hancurkan lemari, di balik lemari ternyata masih ada lapisan rahasia, di situlah tersimpan Ih-kin-keng.

“Kitab ini sebenarnya tersimpan di kamar Jisuheng, mereka sengaja menaruhnya di sini, tujuan mereka adalah untuk memfitnah diriku, tapi cara memfitnah demikian adalah lagu kuno, Toasuheng cukup bijaksana, mana bisa dikelabui oleh kaum rendah seperti kalian ini,” demikian Sim-kam berteriak-teriak kalap, dia lupa bahwa perbuatannya itu justru telah membuka kedoknya sendiri.

Sehabis dia bicara, dengan dingin barulah Sim-si berkata, “Kau bilang kami hendak memfitnah dirimu, tapi dari mana pula kau tahu kami menyembunyikan kitab ini di balik lemarimu ini? Mengapa tidak kau cari ke tempat lain, tapi langsung menuju ke kamar sendiri dan mendobrak lemari ini?”

Seketika Sim-kam melenggong dan tidak dapat bicara lagi, butiran keringat memenuhi dahinya.

Sim-si menghela napas panjang, ucapnya pula, “Li-tamhoa sudah memperhitungkan dengan tepat, hanya dengan cara demikian barulah dia mau mengaku tanpa dipaksa.”

Tiba-tiba terdengar seorang menukas dengan tertawa, “Tapi caraku ini sesungguhnya juga berbahaya, apabila dia tidak mau masuk perangkap, maka siapa pun tidak mampu lagi membikin dia mengakui dosanya.”

Di tengah gelak tertawa Li Sun-hoan lantas muncul.

Sim-oh menghela napas panjang dan memberi hormat. Dengan tersenyum dan saling hormat itu sudah mengandung banyak perkataan, yang lain jadi tidak perlu dibicarakan lagi.

Sim-kam menyurut mundur setindak demi setindak, tapi Sim-ciok dan Sim-ting lantas mencegat jalan larinya, dengan air muka kereng kedua tokoh Siau-lim-si itu berjaga dengan ketat.

Dengan sedih Sim-oh berkata, “Tan Ok, tidak jelek Siau-lim-si memperlakukan dirimu, mengapa kau sampai hati berbuat demikian?”

Tan Ok adalah nama asli Sim-kam, cara Sim-oh Taysu memanggilnya ini berarti Sim-kam telah dipecat dan tidak mengakuinya lagi sebagai murid Siau-lim-pay.

Keringat tampak bercucuran memenuhi dahi Tan Ok, ucapnya dengan suara gemetar, “Tecu … Tecu mengaku berdosa, mohon … mohon ampun ….” mendadak ia mendekam di tanah dan meratap, “Sesungguhnya Tecu berbuat demikian juga karena didalangi orang, karena terpikat oleh bujukan manis, maka Tecu tersesat sejauh ini.”

“Siapa yang mendalangi dirimu?” tanya Sim-oh dengan suara bengis.

Tiba-tiba Pek-hiau-sing menyela, “Orang yang mendalangi dia rasanya dapat kuterka.”

“Mohon petunjuk,” ucap Sim-oh.

“Dalangnya, ialah dia,” kata Pek-hiau-sing.

Tanpa terasa semua orang sama berpaling ke arah yang dipandang Pek-hiau-sing, tapi tiada terlihat sesuatu, hanya terdengar gemeresik dedaunan di luar, angin meniup semakin kencang.

Waktu semua orang berpaling kembali seketika air muka Sim-oh Taysu berubah, terasa tangan Pek-hiau-sing telah menekan tepat pada punggungnya, jari tangannya sekuat baja juga sempat mencengkeram beberapa Hiat-to mematikan pada tubuhnya.

Air muka Sim-si lantas berubah juga, serunya dengan terkesiap, “Kiranya dalangnya adalah dirimu!”

Pek-hiau-sing tersenyum, “Aku cuma sekadar pinjam baca kitab simpanan biara kalian, mengapa kalian bertindak seperti ini.”

“Berpuluh tahun kita bersahabat, tak tersangka kau perlakukan diriku cara demikian,” ujar Sim-oh dengan menyesal.

Pek-hiau-sing juga menghela napas menyesal, “Sebenarnya aku pun tidak sengaja hendak memperlakukan dirimu cara demikian, apa mau dikata lagi, Tan Ok pasti akan menyeret diriku ke dalam air, bila aku tidak turun tangan menyelamatkan dia, tentu dia akan membongkar permainanku selama ini.”

“Tapi sayang, siapa pun tidak dapat menyelamatkan dia!” ujar Sim-oh Taysu.

Namun Tan Ok sempat melompat mundur sambil menyerobot kitab Ih-kin-keng, katanya dengan menyeringai, “Ya, memang betul, siapa pun tidak dapat menyelamatkan diriku, hanya engkau saja yang dapat menolong diriku. Sekarang juga kuminta kau antar kami turun gunung …. Nah, jika kalian menghendaki Ciangbunjin kalian tetap hidup, maka siapa pun jangan sembarangan bertindak.”

Meski Sim-si dan lain-lain sangat gusar, tapi tak berdaya, tiada seorang pun berani turun tangan.

Segera Sini-oh berteriak, “Jika kalian tahu kewajiban, lekas kalian turun tangan membekuk murid murtad ini dan jangan menghiraukan diriku!”

Pek-hiau-sing tertawa dan berkata, “Apa pun yang kau katakan, tidak nanti mereka berani bercanda dengan jiwamu. Jiwa seorang ketua Siau-lim-si jauh lebih berharga daripada jiwa seribu orang ….”

Baru saja kata “orang” terucapkan, mendadak senyuman pada wajahnya terbeku.

Sekali berkelebat cahaya perak, pisau kilat si Li telah menyambar dan tepat hinggap di tenggorokan Pek-hiau-sing.

Tidak ada yang tahu bagaimana Li Sun-hoan menyambitkan pisaunya.

Sejauh itu Pek-hiau-sing menggunakan Sim-oh Taysu sebagai perisai, tenggorokannya berada di sisi tenggorokan Sim-oh, jaraknya cuma sejengkal saja, malahan tenggorokannya cuma terlihat sebagian saja dari tempat Sun-hoan berdiri.

Dalam keadaan begitu, jelas tidak ada yang berani turun tangan. Tapi sekali sinar pisau berkelebat, sungguh lebih cepat daripada berkelebatnya sinar kilat, tahu-tahu pisau si Li sudah menancap di lehernya.

Serentak Sim-si, Sim-ciok dan Sim-ting memburu maju untuk melindungi Sim-oh Taysu.

Mata Pek-hiau-sing tampak melotot, mendeliki Li Sun-hoan, kulit mukanya tampak berkerut-kerut, penuh rasa kejut, jeri, sangsi dan tidak percaya ….

Tampaknya mati pun dia tidak percaya pisau terbang Li Sun-hoan dapat hinggap di tenggorokannya.

Bibirnya tampak bergerak-gerak, terbit suara “krak-krok” dari kerongkongannya, meski sukar mengucapkan sesuatu, tapi dari gerak bibirnya dapat diketahui apa yang hendak dikatakannya.

“Salah … aku salah besar ….”

Memang, Pek-hiau-sing alias serbatahu, serbapaham, hanya satu hal saja terjadi kesalahan, yaitu salah menilai pisau terbang si Li.

Pisau terbang Li Sun-hoan ternyata jauh lebih cepat daripada penilaiannya.

Akhirnya Pek-hiau-sing roboh terkulai.

Sun-hoan menghela napas, gumamnya, “Pek-hiau-sing menyusun daftar senjata dan menilai setiap macam senjata itu, sungguh boleh dikatakan mahacendikia dunia persilatan. Siapa tahu pada akhirnya dia tetap binasa di bawah senjata yang pernah dinilainya sendiri.”

Sim-oh Taysu lantas berucap juga dengan sikap malu, “Maaf, aku pun salah menilai diri Li-sicu.”

Habis berkata, mendadak air mukanya berubah pula dan berseru, “He, di mana kitab tadi?”

Ternyata pada saat kacau tadi Tan Ok sempat kabur dengan menggondol Ih-kin-keng.

Orang semacam Tan Ok tidak pernah menyampingkan setiap kesempatan, bukan saja cepat reaksinya, gerak tubuhnya juga sangat cepat, hanya dua-tiga kali loncatan saja dia sudah melayang ke luar halaman.

Anak murid Siau-lim si kebanyakan belum tahu apa yang terjadi di ruangan dalam, andaikan ada yang melihat dia juga tak berani merintanginya, apalagi di ruangan utama yang keramat ini, biasanya juga tidak berani didatangi anak murid Siau-lim-si.

Ketika Tan Ok melayang lewat gardu itu, kebetulan A Fei sedang meronta dan berusaha merangkak bangun.

Meski ilmu tutukan Pek-hiau-sing dan Tan Ok cukup keras, terkadang juga bisa kehilangan bobotnya.

Melihat A Fei, seketika mencorong sinar mata Tan Ok yang jahat, seluruh rasa benci dan dendamnya akan dilampiaskan atas diri A Fei, “serr”, langsung ia melayang ke sana.

A Fei sendiri sudah tersiksa, keadaannya tinggal kempas-kempis, mana dia mampu melawan. Untuk membunuh orang begini memang tidak perlu banyak buang tenaga.

Tan Ok tidak perlu bicara lagi, segera ia menghantam. Ilmu pukulan sakti Siau-lim-si termasyhur di dunia, sudah belasan tahun Tan Ok masuk Siau-lim-si, Kungfunya tidak terlatih dengan percuma.

Pukulannya sungguh sangat dahsyat, untuk membinasakan A Fei boleh dikatakan teramat mudah. Sudah diperhitungkan Tan Ok, setelah membunuh A Fei masih sempat melarikan diri baginya.

Siapa tahu, pada saat yang sama itu tangan A Fei mendadak juga menusuk ke depan.

Tangan A Fei bergerak lebih belakangan, tapi tiba pada sasarannya terlebih dulu. Seketika Tan Ok merasakan leher sendiri “nyes” dingin disertai rasa sakit dan perih, pernapasannya juga mendadak berhenti serupa dicekik oleh tangan iblis.

Kulit muka Tan Ok lantas mengejang juga dan penuh rasa kejut, sangsi dan tidak percaya kepada apa yang terjadi, meski betapa cepat cara turun tangan anak muda ini sudah diketahuinya, tapi dengan senjata apakah anak muda ini menusuk lehernya?

Jawaban ini untuk selamanya tak dapat lagi diketahui olehnya, sebab ia sudah keburu roboh dan binasa.

A Fei berdiri bersandar langkan gardu dengan napas terengah.

Waktu-rombongan Sim-oh memburu tiba, mereka pun terheran-heran, sebab siapa pun tidak menyangka anak muda yang sudah loyo dan mendekati sekarat ini masih mampu membinasakan Tan Ok.

Saat itu leher Tan Ok masih mengucurkan darah, sepotong es lilin menancap di lehernya yang berlubang itu serupa pedang. Es lilin itu sudah mulai cair.

Rupanya di bawah langkan gardu itu banyak membeku tangkai es serupa es lilin, hanya dengan sepotong lidi es dapatlah A Fei mencabut nyawa Sim-kam yang merupakan satu di antara ketujuh tokoh terkemuka Siau-lim-pay zaman ini.

Sim-oh Taysu memandangi wajah A Fei yang pucat karena terlalu banyak kehilangan darah itu dan tidak tahu apa yang harus diucapkannya.

A Fei sendiri tidak memandang mereka barang sekejap pun, ia cuma menatap Li Sun-hoan, perlahan wajahnya menampilkan secercah senyuman ….

Sun-hoan juga sedang tersenyum.

Dengan suara parau Sim-oh berkata dengan hormat, “Silakan Anda berdua ke pondokanku ….”

Mendadak A Fei berpaling dan memotong ucapannya, “Li Sun-hoan apakah Bwe-hoa-cat atau bukan?”

“Bukan,” jawab Sim-oh dengan menunduk.

“Dan aku ini Bwe-hoa-cat atau bukan?” tanya A Fei pula.

“Juga bukan,” kata Sim-oh.

“Jika bukan, bolehkah kami pergi?”

“Tentu saja boleh,” ujar Sim-oh dengan tersenyum, “Cuma … cuma Sicu belum leluasa berjalan, lebih baik silakan ….”

Kembali A Fei memotong ucapannya, “Hal ini tidak perlu kau risaukan, jangankan kaki masih sanggup berjalan, biarpun merangkak juga ingin kurangkak pergi dari sini.”

Sim-ciok dan Sim-ting juga menunduk malu. Selama ratusan tahun, belum pernah ada orang berani bersikap sekasar ini terhadap pejabat ketua Siau-lim-pay, dengan sendirinya mereka merasa gusar terhadap sikap A Fei ini, tapi mereka terpaksa harus menerimanya.

Dalam pada itu A Fei lantas menarik tangan Li Sun-hoan dan melangkah pergi.

Begitu sampai di tempat terbuka, seketika ia membusungkan dada lagi.

Tubuh anak muda ini sungguh seperti baja gemblengan, penderitaan betapa hebatnya tetap sukar membuatnya tunduk.

Sun-hoan berpaling dan berkata kepada kawanan Hwesio Siau-lim-si, “Selamat tinggal, semoga bertemu lagi kelak, harap Taysu maafkan kekasaran kami.”

Setelah bayangan Sun-hoan berdua menghilang di kejauhan barulah Sim-oh menghela napas panjang, meski dia tidak bicara apa-apa lagi, tapi tidak bicara jauh terlebih pedih daripada bicara.

“Rasanya tidak seharusnya Suheng membiarkan mereka pergi,” kata Sim-ciok tiba-tiba.

“Sebab apa?” kata Sim-oh dengan kurang senang.

“Meski Li Sun-hoan tidak mencuri kitab pusaka kita, juga bukan pembunuh Jisuheng, tapi semua ini belum dapat membuktikan bahwa dia bukan Bwe-hoa-cat.”

“Memangnya cara bagaimana akan kau buktikan?” tanya Sim-oh.

“Kecuali dia dapat menemukan Bwe-hoa-cat yang tulen itu,” ujar Sim-ciok.

Sim-oh menghela napas, “Kuyakin dia pasti akan menemukannya, bahkan pasti akan diantar ke sini, untuk ini tidak perlu kita risaukan, hanya keenam jilid kitab ….”

Maklumlah, meski si pencuri kitab sudah diketahui, bahkan sudah mati, tapi keenam jilid kitab yang tercuri dahulu sudah lama dikirim pergi ke tempat lain, memangnya kepada siapa mereka mengirimkan keenam jilid kitab pusaka itu?

*****

Li Sun-hoan tidak suka berjalan kaki, lebih-lebih tidak suka berjalan di tanah bersalju, tapi sekarang mau tak mau dia harus berjalan. Di tengah cuaca sedingin ini, ke mana akan mencari kereta?

Sebaliknya A Fei sudah biasa berjalan, bagi orang lain berjalan adalah gerak badan, bagi A Fei berjalan justru bersifat istirahat, setiap berjalan sekian jauhnya, tenaganya seakan-akan tambah kuat sekian pula.

Cara berjalannya tidak terlalu cepat, juga tidak lambat, langkahnya seperti berirama tertentu tanpa suara, setiap bagian otot dagingnya mengendur.

Kedua orang sudah sama menceritakan pengalaman masing-masing, sekarang Li Sun-hoan sedang termenung sambil memandang jauh ke depan, ucapnya kemudian, “Jika kau bukan Bwe-hoa-cat juga aku bukan, lantas siapakah gerangan si Bwe-hoa-cat?”

“Bwe-hoa-cat sudah mati,” kata A Fei sambil memandang jauh ke depan sana.

“Apakah dia benar sudah mati?” tanya Sun-hoan dengan gegetun. “Orang yang kau bunuh itu apakah benar-benar Bwe-hoa-cat?”

A Fei tidak menjawab, pandangannya serasa hampa.

Tiba-tiba Sun-hoan tertawa, “Entah pernah kau pikirkan atau tidak bahwa mungkin sekali Bwe-hoa-cat bukanlah orang lelaki?”

“Bukan lelaki? Habis orang apa?” A Fei melenggong.

“Kalau bukan lelaki dengan sendirinya ialah perempuan.”

“Perempuan tidak mungkin memerkosa perempuan.”

“Bisa jadi hal ini cuma tabir yang sengaja dipasangnya untuk mengelabui orang agar orang lain tidak menyangka Bwe-hoa-cat adalah seorang perempuan.”

“Perempuan tidak dapat memerkosa perempuan,” kata A Fei lagi.

“Dapat,” ujar Sun-hoan dengan tertawa. “Umpamanya dia sengaja memperalat seorang lelaki untuk dijadikan boneka agar melakukan hal begituan, sesudah itu, lalu lelaki itu dibunuhnya.”

“Ah, terlalu jauh jalan pikiranmu ini,” kata A Fei.

“Mungkin terlalu jauh jalan pikiranku, tapi lebih baik daripada sama sekali tidak memikirkannya.”

“Pada 30 tahun yang lalu Bwe-hoa-cat sudah pernah muncul, usianya sekarang tentu sudah melampaui setengah abad,” kata A Fei tiba-tiba.

“Bwe-hoa-cat pada 30 tahun yang lalu itu mungkin bukan Bwe-hoa-cat yang muncul sekarang, bisa jadi mereka adalah guru dan murid, mungkin juga ayah dan anak.”

A Fei tidak bicara lagi.

Sun-hoan juga termenung agak lama, katanya kemudian, “Pek-hiau-sing juga pasti bukan biang keladinya pencurian kitab ini, sebab pada hakikatnya dia tidak dapat memerintah Sim-kam agar bekerja baginya.”

“Oo? Ada alasannya?”

“Sebelum masuk Siau-lim-si sudah pernah Sim-kam malang melintang di dunia Kangouw, jika dia ingin harta benda bisa diperolehnya dengan sangat mudah, maka pancingan dengan harta benda pasti tidak dapat menggoyahkan hatinya,” tutur Sun-hoan. “Dalam hal ilmu silat, biarpun kepandaian Pek-hiau-sing cukup tinggi, tapi tidak berarti lagi jika dibandingkan jago Siau-lim-pay, Sim-kam pasti juga tidak dapat ditakut-takuti olehnya.”

“Bisa jadi ada kelemahannya tergenggam oleh Pek-hiau-sing?” ujar A Fei.

“Kelemahan apa?” tanya Sun-hoan. “Perbuatannya sebelum masuk Siau-lim-si sudah tidak ada sangkut pautnya lagi dengan Sim-kam Taysu yang alim, jadi tidak mungkin Pek-hiau-sing mengancamnya dengan perbuatan jahat Sim-kam pada masa lampau. Apalagi sesudah masuk Siau-lim-si, tidak mungkin dia berbuat jahat lagi.”

“Berdasarkan apa kau bilang demikian?”

“Sebab kalau dia mau berbuat jahat tentu tidak perlu masuk Siau-lim-si dan menjadi Hwesio, betapa keras disiplin Siau-lim-si cukup diketahuinya, tidak nanti dia menyerempet bahaya, kecuali ….”

“Kecuali apa?” A Fei menegas.

“Kecuali ada sesuatu hal yang menggoyahkan imannya,” ujar Sun-hoan. “Dan hal yang dapat menggoyahkan pikirannya itu pasti bukan keuntungan atau pangkat harta benda.”

“Jika pangkat dan harta tak dapat menggoyahkan pikirannya, apa pula yang menarik baginya?”

Sun-hoan menghela napas, “Hal yang dapat menggoyahkan pikiran orang semacam dia hanya kecantikan, hanya perempuan cantik molek yang dapat meruntuhkan imannya.”

“Bwe-hoa-cat yang perempuan menurut pendapatmu itu?”

“Ya, hanya orang seperti Bwe-hoa-cat itu dapat membuatnya menjadi pengkhianat Siau-lim-si, hanya maling seperti Bwe-hoa-cat saja yang berani mencuri kitab pusaka Siau-lim-si.”

“Berdasarkan apa pula kau yakin Bwe-hoa-cat adalah perempuan cantik?”

Kembali Sun-hoan termenung sekian lamanya, katanya kemudian dengan menyesal, “Bisa jadi aku salah duga …. Semoga keliru dugaanku.”

Mendadak A Fei menghentikan langkahnya, ditatapnya Li Sun-hoan dengan tajam, tanyanya kemudian, “Apakah kau mau kembali lagi ke Hin-hun-ceng?”

Sun-hoan tersenyum pedih, “Sesungguhnya tak dapat kupikirkan adakah tempat lain yang dapat kudatangi.”

*****

Sudah jauh malam, malam yang gelap gulita. Hanya pelita pada loteng kecil itu yang masih menyala.

Sun-hoan memandangi kerlip pelita yang serupa api setan itu dengan termangu-mangu, entah sudah berapa lama, tiba-tiba ia mengeluarkan saputangan dan menutup mulutnya yang terbatuk-batuk tidak hentinya.

Darah tercecer di atas saputangan sutera, perlahan ia sembunyikan saputangannya ke dalam baju, lalu berkata dengan tertawa, “Mendadak aku tidak ingin masuk ke sana.”

A Fei seperti tidak melihat kepedihan pada senyuman Sun-hoan itu, katanya, “Jika sudah datang kemari, mengapa tidak masuk saja?”

“Apa yang kulakukan banyak yang tanpa sebab, aku sendiri tidak dapat memberi penjelasan,” ujar Sun-hoan dengan hambar.

Mencorong tajam sinar mata A Fei, ucapannya juga setajam sembilu, “Cara begitu Liong Siau-hun terhadapmu, masa engkau tidak ingin mencari dia?”

Sun-hoan hanya tertawa, saja, katanya, “Dia tidak bersalah padaku …. Seorang dengan anak istrinya, apa pun dapat diperbuatnya dan semuanya dapat dimaafkan oleh orang lain.”

A Fei menatapnya hingga lama, perlahan ia menunduk, ucapnya dengan rawan, “Sungguh engkau seorang yang sukar dipahami, juga seorang sahabat yang sukar dilupakan.”

“Dengan sendirinya tak dapat kau lupakan diriku, sebab selanjutnya kita masih akan sering bertemu,” ujar Sun-hoan dengan tertawa.

“Namun … namun sekarang ….”

“Sekarang kutahu ada urusan yang hendak kau lakukan, boleh kau pergi saja.”

Dan keduanya lantas berdiri berhadapan, siapa pun tidak bersuara lagi.

Angin mengusap bumi menderu seperti guguk tangis.

Dari kejauhan terdengar suara kentungan ronda malam, dan keduanya masih tetap berdiri berhadapan, sorot mata yang terang sudah mulai buram seperti tertutup kabut.

Tiba-tiba Sun-hoan tertawa pula, katanya, “Kabut mulai timbul, cuaca esok pasti sangat cerah.”

A Fei mengiakan. Ia merasa kerongkongannya seperti tersumbat sesuatu dan sukar bicara.

Tanpa berucap lain lagi ia membalik tubuh dan melayang pergi. Tertinggal Sun-hoan berdiri sendirian dalam kegelapan tanpa bergerak ….

*****

A Fei melintasi pagar tembok dan barulah dilihatnya di paviliun Lang-hiang-siau-tiok sana juga masih ada sinar lampu dan mencetak sesosok bayangan orang pada kertas jendela.

Hati A Fei terasa diremas-remas.

Orang di dalam rumah itu duduk menghadap lampu, seperti lagi membaca, serupa juga sedang melamun.

Mendadak A Fei menolak pintu … begitu pintu terbuka, segera dilihatnya orang yang tak terlupakan siang dan malam itu.

Rasanya dengan segenap tenaganya ia menolak pintu, sesudah terbuka, lalu ia berdiri terpaku dan tidak sanggup bergeser lagi.

Sekonyong-konyong Lim Sian-ji berpaling, terkejut, lalu tertawa, “Ah, kiranya engkau!?”

Suaranya merdu, tertawanya manis.

“Ya, aku,” kata A Fei. Ia merasa suara sendiri seakan-akan jauh sekali, sampai ia sendiri tidak dapat mendengar dengan jelas.

Sian-ji tepuk-tepuk dada sendiri, “Ai, coba, hampir saja sukmaku terbang saking kagetnya.”

“Kau kira aku sudah mati, makanya kaget melihat diriku, begitu bukan?”

Sian-ji berkedip-kedip, “Kau bilang apa? … Ayolah lekas masuk, kan dingin di luar.”

Segera ia menarik tangan A Fei dan ditarik ke dalam.

Tangannya halus, hangat, licin, dapat meraba-raba luka setiap orang. Namun A Fei lantas mengipatkan tangan si dia.

Sian-ji mengerling genit, ucapnya lembut, “Agaknya engkau lagi marah …. Marah kepada siapa? Katakan padaku, akan kubela dirimu.”

Dengan manja ia menggelendot di dada A Fei. Tubuhnya begitu hangat dan halus, membawa bau harum yang memabukkan.

Tapi mendadak tangan A Fei menampar sehingga Sian-ji sempoyongan ke belakang dan akhirnya jatuh terduduk dengan terkesiap.

Sampai sekian lamanya Sian-ji melenggong, akhirnya air mata bercucuran, katanya dengan menunduk, “Adakah aku berbuat salah padamu? Mengapa kau perlakukan diriku dengan cara demikian? Katakanlah, andaikan kumati kau pukul juga kurela.”

Tangan A Fei tergenggam erat, serasa hati sendiri sudah teremas hancur luluh.

Kiranya telah diketahuinya, Lim Sian-ji tadi sedang membaca, kitab yang dibacanya adalah kitab pusaka Siau-lim-si.

Dengan menangis Lim Sian-ji berkata pula, “Sesudah kau pergi tempo hari kutunggu sampai sekian lamanya tidak terlihat engkau kembali, tentunya engkau tidak tahu betapa kukhawatirkan dirimu, sekarang engkau telah kembali, tapi lantas bersikap demikian padaku, sungguh aku … aku ….”

A Fei memandangnya dengan tenang, serupa belum pernah melihatnya sebelum ini. Selesai Sian-ji bicara barulah ia mendengus, “Hm, apakah betul kau tunggu kukembali? Padahal kau tahu benar setelah kumasuk ke rumah Sin-losam berarti tamatlah segalanya.”

“Ap … apa arti ucapanmu ini?”

“Masa perlu kujelaskan? Pada waktu Pek-hiau-sing dan Tan Ok menyerahkan kitab pusaka Siau-lim-si padamu, kau pun minta mereka memasang perangkap di tempat Sin-losam, bukan cuma diriku saja akan kau jebak, bahkan kau pun hendak membunuh Li Sun-hoan.”

Sian-ji menggigit bibir, ucapnya lembut, “Masa engkau mengira aku benar-benar hendak mencelakai dirimu?”

“Tentu saja dirimu, kecuali kau, tidak ada orang lain yang tahu kepergianku ke tempat Sin-losam.”

Sian-ji mendekap mukanya dan menangis sedih, ratapnya, “O, memangnya untuk apa kubikin celaka dirimu? Mengapa?….”

“Sebab kaulah Bwe-hoa-cat!” teriak A Fei.

Seketika Sian-ji seperti kena dicambuk sekali dengan keras, serentak ia melonjak bangun dan berseru, “Aku Bwe-hoa-cat? Kau tuduh aku ini Bwe-hoa-cat!?”

“Betul, kau inilah Bwe-hoa-cat!”

“Bukankah Bwe-hoa-cat sudah kau bunuh, engkau ….”

Segera A Fei memotong ucapan Sian-ji, “Orang yang kubunuh itu hanya alat yang sengaja kau atur untuk mengelabui mata telinga orang lain. Kau tahu Kim-si-kah sudah jatuh ke tangan Li Sun-hoan dan cukup mengetahui Li Sun-hoan pasti takkan masuk perangkapmu, semua itu kau rasakan sangat berbahaya bagimu. Sebab itulah pada malam itu juga kau sengaja minta agar Li Sun-hoan datang ke tempatmu.”

“Malam itu aku memang mengadakan pertemuan dengan Li Sun-hoan, sebab waktu itu kita belum lagi berkenalan,” ratap Sian-ji dengan sedih.

A Fei tidak menghiraukannya, sambungnya lagi, “Lalu kau sengaja menyuruh orang yang kau dalangi itu pura-pura menculik dan membawa lari dirimu, tujuanmu agar Li Sun-hoan berusaha menolong dirimu supaya bonekamu itu dibunuh oleh Li Sun-hoan, apabila umum mengira Bwe-hoa-cat sudah terbunuh, maka kau pun aman sentosa dan dapat hidup tenteram, bukan saja Li Sun-hoan hendak kau peralat, juga bonekamu itu telah kau korbankan sebagai tumbal.”

Lim Sian-ji berbalik tenang malah, katanya, “Coba teruskan ceritamu.”

“Tapi tak terduga olehmu mendadak Li Sun-hoan mengalami hal di luar perhitunganmu, juga tidak menyangka akan muncul diriku yang menyelamatkan dirimu ….”

“Jangan kau lupa, aku pun pernah menyelamatkan dirimu,” kata Sian-ji.

“Betul,” jawab A Fei.

“Jika aku Bwe-hoa-cat, untuk apa kutolong dirimu?”

“Sebab waktu itu urusan terjadi perubahan lagi, karena hendak kau peralat diriku, maka kau sembunyikan aku di sini. Bahwa tidak ada yang menggeledah ke sini, waktu itu aku sudah merasa curiga.”

“Kau kira Liong Siau-hun juga berkomplot denganku?” tanya Sian-ji.

“Dengan sendirinya mereka tidak tahu intrik kejimu, mereka cuma kau peralat saja. Apalagi, Liong Siau-hun memang cemburu terhadap Li Sun-hoan, apa yang diperbuatnya sesungguhnya juga demi kepentingannya sendiri.”

“Semua ini apakah kau dengar dari Li Sun-hoan?” tanya Sian-ji.

“Hm, kau kira semua lelaki di dunia ini adalah orang tolol dan dapat kau permainkan sesukamu?” jengek A Fei. “Kutahu, yang kau takuti hanya Li Sun-hoan saja seorang, maka dengan segala daya upaya ingin kau tumpas dia.”

Suara A Fei menjadi agak gemetar, ia mengertak gigi dan menyambung pula, “Hatimu tidak cuma keji dan kejam, bahkan juga serakah, tamak, sampai, kitab pusaka Siau-lim-si juga kau incar, sampai kaum Hwesio juga hendak kau kuasai, aku ….”

Kembali air mata Lim Sian-ji bercucuran pula, ucapnya perlahan, “Ai, agaknya aku telah salah menilai dirimu.”

“Tapi aku tidak salah menilai dirimu!” teriak A Fei dengan sekata demi sekata.

“Jika kukatakan kitab ini bukan pemberian Pek-hiau-sing dan Tan Ok, tentu engkau tidak percaya, bukan?”

“Apa pun yang kau katakan tidak nanti kupercaya lagi!”

Sian-ji tersenyum pedih, katanya, “Akhirnya kupaham juga maksudmu … kutahu pikiranmu ….”

Sembari bicara ia terus mendekati A Fei, ia melangkah dengan perlahan, tapi langkah yang mantap, seperti sudah membulatkan tekad.

Angin menderu, cahaya lampu bergoyang. Gemerdep cahaya lampu menyinari wajah Sian-ji yang cantik tapi pucat itu, menyinari kerlingan matanya yang menggetar sukma. Ia tatap A Fei dengan termangu, sampai lama sekali, dengan perasaan hampa ia berkata, “Kutahu kau datang untuk membunuhku, betul tidak?”

Tangan A Fei terkepal, mulut terkancing rapat.

Mendadak Sian-ji menarik bajunya sehingga kelihatan dadanya yang putih mulus. Ia tuding hulu hati sendiri dan berkata, “Kau bawa pedang, mengapa tidak lekas turun tangan?…. Di sini, kuharap kau tusuk bagian sini!”

Tangan A Fei telah memegang tangkai pedang.

Mata Sian-ji terpejam, ucapnya dengan lembut, “Lekas kau turun tangan saja, bisa mati di tanganmu hatiku rela.”

Dadanya yang putih halus itu tampak naik-turun, seperti rada gemetar. Bulu matanya yang panjang terkatup dan terhias dua butir mutiara air mata.

A Fei tidak berani memandang pedang sendiri. Pedang yang tidak kenal ampun, dingin lagi tajam.

A Fei menggereget, katanya kemudian, “Jadi engkau mengakui seluruhnya?”

Perlahan Sian-ji membuka matanya dan menatapnya lekat-lekat. Sorot matanya penuh perasaan pedih dan hampa, penuh rasa cinta dan juga penasaran. Di dunia ini pasti tidak ada sorot mata yang terlebih menggetar kalbu daripada pandangan Lim Sian-ji ini.

Tersembul secercah senyuman pedih pada ujung mulut Sian-ji, ucapnya pula dengan sendu, “Engkaulah yang kucintai selama hidupku ini, jika engkau pun tidak percaya lagi padaku, apalah artinya hidup ini bagiku? ….”

Tangan A Fei terkepal terlebih erat, sampai ruas jari pun pucat, urat hijau pun merongkol di punggung tangannya.

Sian-ji masih tetap menatapnya dengan melekat, katanya dengan rawan, “Asalkan kau anggap aku ini Bwe-hoa-cat, bila kau anggap aku memang perempuan yang jahat itu, maka silakan kau bunuh saja diriku, aku … pasti tidak menyesali dirimu.”

Tangan A Fei terasa mulai gemetar. Pedang tidak kenal ampun, tapi bagaimana manusianya? Masa manusia tak berperasaan?

Lampu dipadamkan. Dalam kegelapan kecantikan Lim Sian-ji yang tidak ada taranya itu terlebih menggiurkan.

Dia tidak bicara lagi, di tengah kegelapan, suara napasnya serupa bisikan lembut dan keluhan yang memabukkan. Adakah kekuatan lain di dunia ini yang terlebih besar daripada kekuatan cinta?

Sanggupkah A Fei menusukkan pedangnya?

*****

Dengan cepat dua tahun sudah lalu.

Gedung yang megah itu mendadak menjadi sepi, majikan gedung itu mendadak menghilang, entah ke mana tanpa kabar berita lagi.

Di dunia Kangouw tersiar kabar seram bahwa tempat ini adalah gedung maut. Konon siapa saja yang pernah datang ke sini, baik dia orang kosen, kaum padri saleh, atau wanita cantik, asalkan pernah memasuki gedung ini, maka hidup mereka takkan berakhir dengan baik.

Di gedung ini sekarang tidak terdengar lagi suara ramai orang bicara dan tertawa pada siang hari, pada malam hari pun tiada lagi cahaya lampu yang gilang-gemilang, hanya pada loteng kecil di bagian taman belakang ada sebuah lentera yang senantiasa dinyalakan, baik siang maupun malam.

Di atas loteng kecil itu seperti ada orang yang sedang menunggu siang dan malam, cuma tidak ada yang tahu sesungguhnya apa yang sedang dinantikannya.

Di balik pagar tembok luar sana ada sebuah gang yang kecil, bilamana berjangkit angin kencang, debu pasir lantas berhamburan memenuhi lorong sempit ini. Pada waktu hujan gang ini pun berubah menjadi becek. Dinding yang tinggi di depannya mengalingi sinar matahari sehingga sepanjang tahun di dalam gang ini hampir tidak pernah melihat cahaya mentari.

Tapi betapa rendah, betapa gelapnya sesuatu tempat, selalu juga didiami orang.

Mungkin hal ini disebabkan mereka memang tiada tempat berteduh lain, bisa jadi mereka sudah bosan terhadap kehidupan dunia ini dan lebih suka bersembunyi di tempat terpencil ini agar dilupakan khalayak ramai.

Di dalam gang itu ada sebuah warung kecil, bagian depan menjual makanan dan minuman murah, di belakang terdapat beberapa buah kamar pondokan, pemilik pondok ini adalah Sun-tocu, seorang bungkuk, karena cacat badannya sehingga serupa manusia kerdil.

Meski dia tahu di dalam gang ini tidak mungkin mendapatkan langganan yang baik tapi dia lebih suka menunggu pendatang golongan rendahan yang memondok di tempatnya dan sekadar mendapatkan imbalan yang tidak berarti.

Dia lebih suka hidup sederhana di sini daripada tinggal di tempat lain dan menerima cemoohan orang, sebab ia sudah memahami arti kehidupan ini, betapa besar kekayaan seorang tetap sukar mendapat ketenangan pikiran.

Dengan sendirinya ia kesepian. Terkadang ia suka memandangi kerlip pelita di atas loteng kecil itu dan diam-diam berolok kepada diri sendiri, “Penghuni loteng kecil itu meski dapat berbaju perlente dan makan enak, tapi hidupnya mungkin jauh lebih kesepian dan lebih menderita daripadaku.”

Lebih setahun yang lalu, pada waktu magrib, pada warungnya ini pernah datang seorang tamu yang lain daripada orang biasa, pakaiannya tidak perlente, tampangnya juga tidak istimewa.

Meski perawakannya sangat tinggi, tapi wajahnya terhitung cakap, namun kelihatan kurus pucat, sepanjang tahun serupa orang sakit-sakitan, malahan terkadang terbatuk-batuk hingga menungging. Sesungguhnya dia seorang yang biasa.

Tapi ketika pertama kali Sun bungkuk melihat dia, segera terasa olehnya banyak perbedaan orang ini dengan orang lain.

Dia tidak mengejek, tidak mencemoohkan cacat fisik Sun bungkuk itu, juga tidak menaruh perhatian, lebih-lebih tidak berlagak seperti bersimpati dan menaruh belas kasihan kepadanya, sebab bagi Sun bungkuk, sikap simpati dan kasihan demikian terkadang lebih menyakitkan daripada dicemoohkan orang.

Dia tidak banyak cincong terhadap santapan yang ada, juga tidak memuji, pada hakikatnya dia sangat sedikit bicara.

Yang paling aneh adalah sejak dia masuk ke pondok kecil ini, lalu tidak pernah ke luar lagi.

Pada waktu pertama kali dia datang dia memilih meja pada pojok sana dan berduduk di situ, ia pesan sepiring Taukua (tahu kuning kering), sepiring daging rebus, dua bakpao dan tujuh poci arak.

Setelah menghabiskan tujuh poci arak dia minta si bungkuk mengisi penuh ketujuh poci itu, lalu menyewa kamar paling belakang sana dan baru keluar pada waktu magrib esoknya.

Ketika ia keluar, ketujuh poci arak itu pun sudah habis terminum.

Sekarang, sudah berlalu lebih setahun, setiap malam dia masih tetap duduk pada meja di pojok sana, tetap minta sepiring Taukua, sepiring daging, dua biji bakpao dan tujuh poci arak.

Dia minum arak sambil terbatuk-batuk, sesudah tujuh poci arak terminum habis, lalu ia membawa tujuh poci pula kembali ke pondoknya di belakang dan baru muncul lagi dekat magrib keesokannya.

Si bungkuk Sun juga seorang peminum, dia sangat kagum terhadap takaran minum orang ini, selama hidupnya belum pernah melihat seorang yang mampu menghabiskan 14 poci arak tanpa mabuk.

Terkadang dia tidak tahan dan ingin tanya nama dan asal usul orang itu, tapi masih dapat ditahannya rasa ingin tahu itu, sebab ia menyadari andaikan bertanya juga takkan mendapatkan jawaban.

Sun-tocu memang bukan seorang yang suka banyak omong, asalkan tamu tidak main utang, lebih sering dia tutup mulut saja.

Dan begitulah beberapa bulan telah berlalu, suatu ketika hawa teramat dingin, belasan hari hujan terus-menerus. Malamnya si bungkuk pergi ke belakang dan melihat pintu pondok ujung belakang sana terbuka, anehnya tamu penghuni itu jatuh di lantai dengan terbatuk-batuk, mukanya merah membara.

Sun-tocu membangunkannya, tengah malam buta itu berusaha mencarikan obat, menyeduh obat bagi tamunya, berturut tiga hari ia merawatnya. Tiga hari kemudian dapatlah tamunya turun dari tempat tidurnya dan segera mulai minum arak lagi.

Baru sekarang Sun-tocu tahu orang ini sengaja mencari kematian, sedapatnya ia coba membujuknya, “Janganlah minum lagi, bila minum seperti caramu ini, siapa pun tak mampu hidup lama.”

Orang itu hanya tertawa hambar saja, ia berbalik tanya, “Kau kira tanpa minum arak aku dapat hidup lama?”

Sun-tocu tidak dapat menjawabnya.

Sejak itu kedua orang lantas berubah seperti sahabat baik. Bila tidak ada tetamu, orang itu lantas mencari Sun-tocu untuk menemaninya minum arak dan mengobrol dari timur ke barat. Dari sini Sun-tocu mengetahui tamunya yang aneh ini ternyata berpengalaman dan berpengetahuan sangat luas.

Namun ada sesuatu tetap tidak diuraikannya, yaitu nama dan asal usulnya.

Suatu kali Sun-tocu coba tanya padanya, “Kita sudah menjadi sahabat, sepantasnya cara bagaimana harus kupanggil engkau?”

Orang itu sangsi sejenak, akhirnya menjawab dengan tertawa, “Aku kan seorang Ciu-kui (setan arak), pemabuk tulen, mengapa tidak kau panggil aku Ciu-kui saja?”

Maka Sun-tocu lantas mengetahui orang ini pasti mempunyai kisah hidup yang sangat menyedihkan hingga nama sendiri saja enggan disebut lagi dan lebih suka mengubur hidupnya di tengah poci arak.

Kecuali minum arak, dia masih mempunyai semacam hobi yang lain, yaitu mengukir.

Tangannya selalu memegang pisau kecil, dan asyik mengukir, tapi Sun-tocu tidak pernah tahu apa yang sedang diukirnya, sebab dia tidak pernah menyelesaikan objek yang diukirnya itu.

Sungguh seorang tamu yang aneh, bahkan menakutkan. Tapi terkadang Sun-tocu justru berharap agar selamanya dia tinggal di situ dan jangan pergi.

Pagi hari ini, begitu bangun tidur Sun-tocu lantas merasakan hawa semakin dingin, maka dikeluarkannya sepotong baju kapas tebal dan dipakai, lalu menuju ke depan.

Seperti hari-hari biasa, pagi ini warungnya juga sangat sepi. Setelah beberapa kusir kereta berangkat, Sun-tocu lantas mengambil sebuah bangku bambu, ia berduduk di samping pintu, dan mulai menggiling tahu.

Baru saja dia mulai bekerja, segera terlihat dua penunggang kuda memutar datang dari depan sana.

Biasanya jarang orang masuk ke gang itu dengan menunggang kuda, maka Sun-tocu memandang beberapa kejap lebih banyak kepada mereka.

Kedua orang ini sama memakai baju panjang berwarna kuning tua, yang di depan beralis tebal dan bermata besar, yang di belakang berhidung besar seperti paruh elang, keduanya sama-sama berjenggot pendek, tampaknya baru berusia tiga puluhan.

Tampang kedua orang ini tidak menarik, tapi baju warna kuning yang dipakai mereka sangat mencolok, kedua orang tidak memerhatikan Sun-tocu, berulang-ulang mereka menegak leher dan melongok ke sebelah dinding sana.

Sun-tocu tetap sibuk menggiling tahu. Ia tahu kedua orang ini pasti bukan langganannya.

Terlihat kedua orang itu menyusuri gang, memutar ke depan sana. Namun tidak lama kemudian mereka mengitar balik lagi dari ujung lain. Sekali ini mereka lantas berhenti di depan warung dan melompat turun.

Meski watak Sun-tocu rada kaku, betapa pun dia seorang pengusaha, cepat ia berhenti bekerja dan menyapa, “Apakah Anda berdua ingin makan-minum sesuatu?”

Si baju kuning beralis tebal menjawab, “Kami tidak mau apa-apa, kami cuma ingin tanya dua-tiga hal padamu.”

Sun-tocu mulai menggiling tahu lagi, nyata dia tidak tertarik pada urusan bicara.

Mendadak si hidung elang tertawa dan berucap, “Eh, bagaimana jika kami membeli keteranganmu, satu kalimat satu duit.”

Duit memang mempunyai daya tarik tersendiri, segera timbul minat Sun-tocu, katanya sambil mengangguk, “Baik.”

Sembari bicara, segera ia mulai menghitung dan menjulurkan satu jarinya.

“Hah, masa ini kau hitung sebagai satu kalimat?” si alis tebal bergelak. “Wah, tampaknya caramu berdagang sangat lihai.”

“Tentu saja terhitung satu kalimat,” kata Sun-tocu, berbareng jarinya terjulur menjadi dua.

“Sudah berapa lama kau tinggal di sini?” tanya si hidung elang.

“Dua-tiga puluh tahun,” jawab Sun-tocu.

“Apakah kau tahu siapakah keluarga yang tinggal di gedung di depan itu?”

“Keluarga Li,” tutur si bungkuk Sun.

“Kemudian?” tanya pula si hidung elang.

“Kemudian dihuni keluarga Liong, namanya Liong Siau-hun.

“Pernah kau lihat dia?”

“Tidak.”

“Sekarang di mana orangnya?”

“Sudah pergi.”

“Bilakah perginya?”

“Sudah lebih setahun yang lalu.”

“Seterusnya apakah pernah pulang ke sini?”

“Tidak pernah.”

“Katamu tidak pernah melihat dia, mengapa begitu jelas kau tahu seluk-beluknya?”

“Koki keluarga mereka sering minum arak di sini.”

Si hidung elang termenung sejenak, lalu bertanya pula, “Selama dua hari ini adakah orang asing datang ke sini dan mencari keterangan padamu?”

“Tidak ada …. Kalau ada, tentu aku bisa kaya mendadak,” jawab Sun-tocu.

Si alis tebal tertawa, “Sekarang juga biarlah kutambahi kekayaanmu!”

Lalu ia melemparkan sepotong uang perak kepada si bungkuk, tanpa bertanya lagi mereka mencemplak ke atas kuda dan dilarikan pergi, berulang-ulang mereka melongok-longok lagi ke balik dinding sana.

Sun-tocu memandang uang perak yang dipegangnya sambil bergumam, “Mencari uang terkadang juga sangat gampang ….”

Waktu ia berpaling tiba-tiba dilihatnya si Ciu-kui atau setan arak entah sejak kapan sudah berdiri di sana dan sedang memandang ke arah kepergian kedua penunggang kuda tadi, air mukanya menampilkan perasaan seperti orang sedang berpikir, tapi entah apa yang dipikirkannya.

“Pagi amat kau keluar hari ini,” sapa Sun-tocu dengan tertawa.

Setan arak itu pun tertawa, “Kemarin aku minum terlalu cepat, maka pagi ini lantas kehabisan persediaan.”

Ia menunduk dan terbatuk-batuk sekian lama, tiba-tiba ia tanya pula, “Hari ini tanggal berapa?”

“Tanggal 14 bulan sembilan,” tutur Sun-tocu.

Wajah si Ciu-kui yang pucat itu tiba-tiba menampilkan semu merah aneh, ia memandang jauh ke depan dengan termangu-mangu, selang agak lama barulah bertanya rapi dengan perlahan, “Jika begitu, besok kan tanggal 15?”

Pertanyaan ini sebenarnya tidak perlu, maka Sun-tocu menjawab dengan tertawa, “Sehabis tanggal 14 dengan sendirinya tanggal 15.”

Setan arak itu seperti mau omong apa-apa, tapi segera menungging dan terbatuk-batuk lagi, sembari batuk dia menuding poci kosong di atas meja.

Sun-tocu menghela napas, ucapnya sambil menggeleng kepala, “Ai, bilamana setiap orang meniru cara minummu, tentu semua penjual arak sudah kaya raya.”

*****

Waktu senja, kerlip lampu di loteng kecil itu sudah kelihatan. Si setan arak pun sudah berduduk di tempat biasa dan asyik minum arak.

Keadaan setan arak hari ini tampaknya rada aneh, cara minumnya sangat lambat, matanya mencorong terlebih terang, juga tidak mengukir lagi, malahan sengaja memindahkan lilin di atas mejanya ke meja lain.

Dia terus memandang ke arah pintu, seperti sedang menantikan kedatangan seorang.

Namun malam sudah tiba. Warung itu tetap sepi, tiada seorang pembeli pun.

Sun-tocu menguap dan menggeliat, gumamnya, “Tampaknya tidak ada tamu lagi, biarlah kututup pintu dan istirahat lebih dini, supaya dapat juga mengiringi engkau minum.”

Tapi setan arak itu lantas menggeleng kepala, katanya, “Jangan terburu-buru dulu, menurut perhitunganku, hari ini perdaganganmu pasti akan lebih ramai daripada biasanya.”

“Dari mana kau tahu?” tanya Sun-tocu.

Setan arak itu tertawa, “Aku dapat meramal.”

Dia memang mahir meramal, bahkan sangat jitu. Sebab tidak lama kemudian, serentak warung kecil ini dikunjungi oleh tiga-empat kelompok tamu.

Kelompok pertama terdiri dari dua orang, seorang kakek berbaju biru, membawa honcoe (pipa tembakau), rambutnya sudah ubanan semua. Seorang lagi mungkin adalah cucu perempuannya, rambutnya yang hitam gilap dikepang menjadi dua kucir, matanya jeli dan lebih hitam serta gilap daripada kucirnya.

Kelompok kedua juga terdiri dari dua orang. Keduanya sama bergodek, tubuh tinggi kekar, dandanannya serupa, bahkan golok yang terselip di pinggang mereka pun sama. Keduanya serupa lahir dari sebuah cetakan saja.

Jumlah kelompok ketiga paling banyak, seluruhnya empat orang. Yang pertama tinggi besar, yang kedua pendek kecil, orang ketiga masih muda dan berwajah merah, sebatang tombak tersandang di punggung. Lalu seorang lagi perempuan berbaju hijau dan memakai perhiasan emas, jalannya berlenggak-lenggok serupa anak perawan lagi berahi, tapi usianya sudah cukup menjadi maknya anak perawan.

Melihat cara berjalannya yang meliuk-liuk itu, sungguh Sun-tocu khawatir pinggangnya bisa keseleo.

Kelompok terakhir cuma terdiri satu orang saja. Orang ini kurus luar biasa, juga tinggi luar biasa. Mukanya yang lonjong terlebih panjang daripada muka kuda dan terdapat toh hijau selebar tangan, tampangnya sungguh rada mengerikan.

Orang ini tidak kelihatan membawa senjata tajam, tapi seputar pinggang kelihatan menggembung dan sangat mencolok, jelas pada pinggangnya terlilit senjata lemas yang besar dan panjang.

Padahal warung itu cuma memiliki lima meja, kedatangan empat kelompok orang ini segera memenuhi seluruh warung ini. Keruan si bungkuk kerepotan setengah mati, dia harap besok jangan lagi kedatangan tamu sebanyak ini.

Keempat kelompok tamu itu asyik minum arak dengan diam, sangat sedikit bicara, umpama bicara juga dilakukan dengan kasak-kusuk, seakan-akan khawatir didengar orang lain.

Sun-tocu merasa tetamunya ini rata-rata agak ganjil, orang-orang ini biasanya pasti takkan berkunjung ke warungnya yang tergolong murahan ini.

Sesudah menenggak beberapa cawan arak, pandangan si pemuda bermuka merah dan menyandang tombak itu lantas tercurah ke tubuh si nona berkucir.

Nona berkucir itu ternyata berhati lapang, sedikit pun tidak sirik.

Mendadak pemuda bermuka merah berkata dengan tertawa, “Apakah nona ini menjual suara?”

Nona berkucir menggeleng sehingga kucirnya ikut bergoyang dan terlempar ke atas dan tambah kelihatan cantik.

“Seumpama tidak dapat menyanyi, kalau mau tentu bisa juga,” ujar si pemuda muka merah dengan tertawa. “Asalkan menyanyi cukup baik, tentu tuan beri persen.”

Nona itu tertawa dan menjawab, “Aku tidak dapat menyanyi, tapi bisa bicara.”

“Bicara apa?” tanya si pemuda.

“Mendongeng, bercerita,” tutur si nona.

“Aha, bagus,” seru pemuda bermuka merah dengan tertawa. “Tapi entah cerita apa yang dapat kau suguhkan? Apakah cerita tentang si cantik menemui si cakap di belakang taman? Atau dongeng tentang putri raja menyelenggarakan sayembara dan mencari jodoh?”

Kembali si nona berkucir menggeleng dan berkata, “Tidak, salah seluruhnya. Yang kami ceritakan justru adalah berita terakhir dunia Kangouw yang paling menggemparkan, peristiwa yang menggegerkan dunia persilatan belum lama berselang, tanggung baru dan segar, dijamin pasti tegang dan mengasyikkan.”

“Haha, bagus, bagus,” kembali si pemuda berkeplok tertawa. “Kukira ceritamu ini pasti juga akan menarik perhatian tuan-tuan yang hadir di sini. Nah, lekas kau ceritakan!”

“Aku sendiri tidak dapat bercerita, kakekku yang bisa bercerita,” kata si nona.

Pemuda itu melirik si kakek sekejap, lalu bertanya pula dengan kening bekernyit, “Habis kau sendiri bisa apa?”

“Aku cuma bisa menabuh gong bagi kakekku,” sahut si nona dengan tersenyum.

Senyuman manis nona ini hampir saja membikin sukma pemuda bermuka merah itu terbang ke awang-awang.

Sejak mereka berbicara air muka si perempuan berbaju hijau berubah kelam dan cemberut, mendadak ia menjengek, “Jika mau bercerita boleh lekas mulai, pakai senyum dan main mata segala.”

Si nona berkucir juga tidak marah, sahutnya dengan tertawa, “Jika demikian, bolehlah kakek mulai bercerita supaya dapat persen beberapa duit untuk minum arak.”

Si kakek setengah memicingkan mata dan minum lagi secawan arak, kemudian menyedot lagi pipa tembakaunya, habis itu barulah dia mulai bertutur dengan perlahan, “Apakah hadirin pernah mendengar orang yang bernama Li Sun-hoan?”

Kecuali pemuda bermuka merah, selebihnya memang tidak ada yang menghiraukan kakek dan cucu perempuannya ini, tapi begitu mendengar nama “Li Sun-hoan”, seketika telinga masing-masing seakan-akan menegak.

Si nona berkucir tertawa dan menanggapi ucapan sang kakek tadi, “Tentu saja pernah kudengar, bukankah Li-tamhoa cilik yang terkenal berbudi luhur dan berhati mulia itu?”

“Betul,” ujar si kakek.

“Konon, pisau terbang si Li cilik, sekali timpuk tidak pernah meleset. Sampai sekarang jaga belum pernah ada seorang pun yang mampu menghindarnya. Entah kabar ini betul atau tidak?” tanya si nona.

“Bus”, si kakek mengembuskan asap tembakaunya, lalu menjawab, “Jika kau tidak percaya, boleh kau tanya kepada Pek-hiau-sing dan Ngo-tok-tongcu, lalu akan kau ketahui berita itu sungguh atau tidak?”

“Bukankah Pek-hiau-sing dan Ngo tok-tongcu sudah lama mati?” tanya si nona.

“Betul,” sahut si kakek dengan tak acuh. “Kematian mereka justru disebabkan mereka tidak percaya kepada pemeo yang menyatakan pisau si Li tidak pernah meleset itulah.”

Si nona berkucir menjulur lidah, ucapnya dengan tertawa, “Wah, mana aku berani tidak percaya berita itu. Yang tidak percaya mungkin cuma orang tolol.”

Lelaki bermuka lonjong dan terdapat toh hijau itu mendengus perlahan, cuma semua orang lagi tertarik oleh tanya jawab kedua kakek dan cucu itu sehingga tidak ada yang memerhatikan dengusannya.

Hanya “si setan arak” itu sekarang telah mendekap di atas meja, seperti sudah mabuk.

Kembali si kakek mengembus dua-tiga kali asap tembakaunya, lalu minum seceguk teh, kemudian menyambung ceritanya, “Cuma sayang, kesatria semacam Li Sun-hoan itu sekarang pun sudah mati.”

“Hahh, mati?!” si nona berkucir menegas dengan terperanjat. “Siapakah yang mempunyai kemampuan sebesar itu dan dapat membunuhnya?”

“Siapa pun tidak mempunyai kemampuan sebesar itu, yang mampu membunuh dia hanya ada satu orang,” sahut si kakek.

“Siapa?” tanya si nona.

“Ialah dia sendiri,” kata si kakek.

Nona berkucir melengak, tapi lantas berucap pula dengan tertawa, “Ah mana bisa dia membunuh dirinya sendiri? Kukira dia pasti masih hidup di dunia ini.”

Si kakek menghela napas panjang, “Biarpun dia masih hidup di dunia ini juga tidak banyak bedanya daripada mati …. Kedukaan yang teramat besar sama juga mematikan orang. Ai, sungguh harus disesalkan ….”

Si nona berkucir juga menghela napas menyesal, setelah terdiam sejenak, tiba-tiba ia bertanya pula, “Kecuali dia, siapa pula yang setimpal disebut lagi sebagai pahlawan dan kesatria?”

“Pernah kau dengar nama ‘A Fei’?” tanya si kakek.

“Rasanya tidak pernah,” berputar biji mata si nona, tiba-tiba ia menambahkan, “Kabarnya ilmu pedang orang ini sangat cepat dan tidak ada bandingannya, entah betul tidak?”

“Dan bagaimana taraf Kungfu In Gok?” tanya pula si kakek.

“Menurut daftar senjata susunan Pek-hiau-sing, tangan iblis hijau tercatat urutan nomor sembilan, dengan sendirinya Kungfunya sangat hebat.”

“Lalu bagaimana pula dengan Kungfu orang-orang seperti Thi-tiok Siansing, Sim-kam Taysu dari Siau-lim-si, Tio Cing-ngo, Dian Jit dan sebagainya?”

“Beberapa orang itu tergolong jago kelas satu di dunia Kangouw, siapa pun tahu.”

“Nah, kalau ilmu pedang A Fei tidak cukup lihai, mana bisa tokoh-tokoh tersebut dikalahkan olehnya?”

“Dan sekarang berada di manakah si A Fei itu?” tanya si nona.

Si kakek menghela napas, “Serupa Li-tamhoa, dia juga menghilang secara mendadak dan tiada kabar beritanya, hanya diketahui dia menghilang bersama Lim Sian-ji sekaligus.”

, ,

  1. Leave a comment

Leave a comment