Archive for August, 2011

Zakat Profesi dalam Tinjauan

Zakat Profesi dalam Tinjauan

Apakah Ijtihad/Qiyas yang dipakai oleh ulama yang membolehkan Zakat Profesi itu bisa dijadikan
dalil untuk diamalkan?

Bismillaahirrahmaanirrahii. Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillaah
wa shalatu wassalaammu ‘alaa Rasulillaah… Ustadz yang semoga Allah senantiasamenjagamu, tadi pagi saya ditanya atasan saya perihal Hukum zakat profesi, Apakah Ijtihad/Qiyas yang dipakai oleh ulama yang membolehkan zakat profesi itu bisa dijadikan dalil untuk diamalkan? di Perusahaan saya sudah lama diberlakukan zakat profesi ini dengan cara potong gaji tiap bulannya berdasarkan kesepakatan sebelumnya, ada yang mau dan ada pula yang tidak mau
dipotong gajinya. Terus adakah buku yang bagus yang khusus menjelaskan zakat profesi
ini?
Dari: Hasan

Penjelasan penting perihal zakat profesi Zakat yang diwajibkan untuk dipungut dari orang-orang kaya telah dijelaskan dengan gamblang dalam banyak dalil. Dan zakat adalah permasalahan yang tercakup dalam kategori permasalahan ibadah, dengan demikian tidak ada peluang untuk berijtihad atau merekayasa permasalahan baru yang tidak diajarkan dalam dalil. Para ulama’ Dari
berbagai mazhab telah menyatakan:

“Hukum asal dalam permasalahan ibadah adalah tauqifi alias terlarang.”

Berdasarkan kaidah ini, para ulama’ menjelaskan bahwa barangsiapa yang membolehkan atau mengamalkan suatu amal ibadah, maka sebelumnya ia berkewajiban untuk mencari dalil yang membolehkan atau mensyari’atkannya. Bila tidak, maka amalan itu terlarang atau tercakup dalam amalan bid’ah:

“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan itu tertolak.” (Riwayat Muslim)

Coba anda renungkan: Zakat adalah salah satu rukun Islam, sebagaimana syahadatain, shalat, puasa, dan haji. Mungkinkah anda dapat menolerir bila ada seseorang yang berijtihad pada masalah-masalah tersebut dengan mewajibkan sholat selain sholat lima waktu, atau mengubah-ubah ketentuannya; subuh menjadi 4 rakaat, maghrib 5 rakaat, atau waktunya digabungkan jadi satu. Ucapan syahadat ditambahi dengan ucapan lainnya yang selaras dengan perkembangan pola hidup umat manusia, begitu juga haji, diadakan di masing-masing negara guna efisiensi dana umat dan pemerataan pendapatan dan kesejahteraan umat. Dan puasa ramadhan dibagi pada setiap bulan sehingga lebih ringan dan tidak memberatkan para pekerja pabrik dan pekerja berat lainnya. Mungkinkah anda dapat menerima ijtihad ngawur semacam ini? Bila anda tidak menerimanya, maka semestinya anda juga tidak menerima ijtihad zakat profesi, karena sama-sama ijtihad dalam amal ibadah dan rukun Islam. Terlebih-lebih telah terbukti dalam sejarah bahwa para sahabat nabi dan juga generasi setelah mereka tidak pernah mengenal apa yang disebut-sebut dengan zakat profesi, padahal apa yang disebut dengan gaji telah dikenal sejak lama, hanya beda penyebutannya saja. Dahulu disebut dengan al ‘atha’ dan sekarang disebut dengan gaji atau raatib atau mukafaah. Tentu perbedaan nama ini tidak sepantasnya mengubah
hukum. Ditambah lagi, bila kita mengkaji pendapat ini dengan seksama, maka kita akan dapatkan
banyak kejanggalan dan penyelewengan.

Berikut sekilas bukti akan kejanggalan dan penyelewengan tersebut:
1. Orang-orang yang mewajibkan zakat profesi meng-qiyaskan (menyamakan) zakat profesi dengan zakat hasil pertanian, tanpa memperdulikan perbedaan antara keduanya. Zakat hasil pertanian adalah 1/10 (seper sepuluh) dari hasil panen bila pengairannya tanpa memerlukan biaya, dan 1/20 (seper dua puluh), bila pengairannya membutuhkan biaya.
Adapun zakat profesi, maka zakatnya adalah 2,5 %, sehingga qiyas semacam ini adalah qiyas yang benar-benar aneh dan menyeleweng. Seharusnya qiyas yang benar ialah dengan mewajibkan zakat profesi sebesar 1/10 (seper sepuluh) bagi profesi yang tidak membutuhkan modal, dan 1/20 (seper dua puluh), tentu ini sangat memberatkan, dan orang-orang yang mengatakan ada zakat profesi tidak akan berani memfatwakan zakat profesi sebesar ini.
2. Gaji diwujudkan dalam bentuk uang, maka gaji lebih tepat bila diqiyaskan dengan zakat emas dan perak, karena sama-sama sebagai alat jual beli, dan standar nilai barang.
3. Orang-orang yang memfatwakan zakat profesi telah nyata-nyata melanggar ijma’/kesepakatan ulama’ selama 14 abad, yaitu dengan memfatwakan wajibnya zakat pada gedung, tanah dan yang serupa.
4. Gaji bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia secara umum dan umat Islam secara khusus, keduanya telah ada sejak zaman dahulu kala.
Berikut beberapa buktinya:
Sahabat Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu pernah menjalankan suatu tugas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu iapun di beri upah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada awalnya, sahabat Umar radhiallahu ‘anhu menolak upah tersebut, akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Bila engkau diberi sesuatu tanpa engkau minta, maka makan (ambil) dan sedekahkanlah.” (Riwayat Muslim)
Seusai sahabat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dibai’at untuk menjabat khilafah, beliau berangkat ke pasar untuk berdagang sebagaimana kebiasaan beliau sebelumnya. Di tengah jalan, beliau berjumpa dengan Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu, maka Umarpun bertanya kepadanya: “Hendak kemanakah engkau?”
Abu Bakar menjawab: “Ke pasar.”
Umar kembali bertanya: “Walaupun engkau telah mengemban tugas yang menyibukkanmu?”
Abu Bakar menjawab: “Subhanallah, tugas ini akan menyibukkan diriku dari menafkahi keluargaku?”
Umarpun menjawab: “Kita akan meberimu secukupmu.”
(Riwayat Ibnu Sa’addan Al Baihaqy)

Imam Al Bukhary juga meriwayatkan pengakuan sahabat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu tentang hal ini,“Sungguh kaumku telah mengetahui bahwa pekerjaanku dapat mencukupi kebutuhan
keluargaku, sedangkan sekarang, aku disibukkan oleh urusan umat Islam, maka sekarang keluarga Abu Bakar akan makan ysebagian dari harta ini (harta baitul maal), sedangkan ia akan bertugas mengatur urusan mereka.” (Riwayat Bukhary)

Ini semua membuktikan bahwa gaji dalam kehidupan umat islam bukanlah suatu hal yang baru, akan tetapi, selama 14 abad lamanya tidak pernah ada satupun ulama’ yang memfatwakan adanya zakat profesi atau gaji. Ini membuktikan bahwa zakat profesi tidak ada, yang ada hanyalah zakat mal, yang harus memenuhi dua syarat, yaitu hartanya mencapai nishab dan telah berlalu satu haul (tahun). Oleh karena itu ulama’ ahlul ijtihaad yang ada pada zaman kita mengingkari pendapat ini, diantara mereka adalah Syeikh Bin Baz, beliau berkata: “Zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci: Bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib di zakati.” (Maqalaat Al Mutanawwi’ah oleh Syeikh Abdul Aziz bin Baaz 14/134.
Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, Majmu’ Fatawa wa Ar Rasaa’il 18/178.)
Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan SaudiArabia, berikut fatwanya:
“Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut. Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan
telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi; karena persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, maka tidak boleh ada qiyas.
Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga berlalu satu tahun (haul).” (Majmu’ Fatwa Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia 9/281, fatwa no: 1360)

Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya mengajak pembaca untuk senantiasa merenungkan janji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

“Tidaklah sedekah itu akan mengurangi harta kekayaan.” (HR. Muslim)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka saya mengusulkan agar anda mengusulkan kepada
perusahaan anda atau atasan anda agar menghapuskan pemotongan gaji yang selama ini telah berlangsung dengan alasan zakat profesi. Karena bisa saja dari sekian banyak yang dipotong gajinya belum memenuhi kriteria wajib zakat. Karena harta yang berhasil ia kumpulkan/tabungkan belum mencapai nishab. Atau kalaupun telah mencapai nishab mungkin belum berlalu satu
tahun/haul, karena telah habis dibelanjakan pada kebutuhan yang halal. Dan kalaupun telah mencapai satu nishab dan telah berlalu satu haul/tahun, maka mungkin kewajiban zakat yang harus ia bayarkan tidak sebesar yang dipotong selama ini. Wallahu ta’ala a’alam bis showaab. Berdasarkan jawaban pertama, maka tidak perlu anda mencari buku-buku atau tulisan-tulisan yang membahas masalah zakat profesi. Cukuplah anda dan juga umat Islam lainnya mengamalkan zakat-zakat yang telah nyata-nyata disepakati oleh seluruh ulama’ umat islam sepanjang sejarah. Dan itu telah dibahas tuntas oleh para ulama’ kita dalam setiap kitab-kitab fiqih. Wallahu a’alam bisshawab.

Dijawab oleh Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel http://www.KonsultasiSyariah.com

, ,

Leave a comment

Fiqih Ringkas I’tikaf (3)

Fiqih Ringkas I’tikaf (3)

Posted: 19 Aug 2011 05:30 PM

Syarat I’tikaf

Syarat-syarat i’tikaf adalah sebagai berikut:

1. Islam

وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلا يَأْتُونَ الصَّلاةَ إِلا وَهُمْ كُسَالَى وَلا يُنْفِقُونَ إِلاوَهُمْ كَارِهُونَ (٥٤)

“Dan tidak ada yang menghalangi untuk diterimanya nafkah-nafkah mereka, melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka tidak mengerjakan sembahyang melainkan dengan malas, dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.” (At Taubah: 54).

Al ‘Allamah Abdurrahman as Sa’di rahimahullah mengatakan,

والأعمال كلها شرط قبولها الإيمان، فهؤلاء لا إيمان لهم

“Persyaratan agar seluruh amal ibadah diterima adalah iman, sedangkan mereka yang tersebut dalam ayat ini tidak memiliki keimanan.”[1]

2. Niat, Berakal, dan Tamyiz

I’tikaf seorang yang gila, mabuk, dan pingsan tidaklah sah karena mereka tidak mampu berniat, tidak pula berakal. Padahal rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ

“Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya “[2]

Maksud dari hadits tersebut adalah keabsahan dan diterimanya suatu amalan adalah karena niat yang melandasinya, sehingga sabda beliau ini berkaitan dengan keabsahan suatu amalan.[3]

Seorang yang masuk ke dalam masjid memiliki beraneka ragam tujuan, diantara mereka ada yang hendak shalat, mendengarkan ta’lim, beri’tikaf, dan sebagainya. Dengan demikian, seorang yang hendak beri’tikaf membutuhkan niat untuk membedakan tujuan dari ibadah selainnya yang juga turut dikerjakan di masjid seperti shalat. Dan niat tersebut hanya mampu dilakukan oleh seorang yang berakal. Wallahu a’lam.

3. Suci dari Haidh dan Nifas

Para ulama mengemukakan bahwa dalil yang menyatakan bahwa suci dari haidh, nifas, dan junub merupakan syarat i’tikaf adalah dalil-dalil yang menyatakan terlarangnya orang yang haidh, nifas, dan junub untuk berdiam di masjid. Berikut beberapa diantaranya,

Pertama, firman Allah ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (An Nisa: 43).

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,

ينهى تبارك وتعالى عباده المؤمنين عن فعل الصلاة في حال السكر الذي لا يدري معه المصلي ما يقول وعن قربان محالها التي هي المساجد للجنب إلا أن يكون مجتازا من باب إلى باب من غير مكث

“Allah tabaraka wa ta’ala melarang para hamba-Nya yang beriman mengerjakan shalat dalam keadaan mabuk sehingga dia tidak mengetahui makna surat yang dibacanya. Demikian pula Dia melarang mereka yang junub mendekati tempat shalat, yaitu masjid kecuali hanya sekedar lewat dari satu pintu ke pintu yang lain tanpa berdiam di dalamnya.”[4]

Sisi pendalilan dari ayat ini adalah ketika Allah ta’ala melarang seorang yang junub mendekati masjid, maka hukum ini juga berlaku pada wanita yang sedang mengalami haidh, karena haidh yang dialaminya merupakan hadats yang jauh lebih berat daripada sekedar junub. Oleh karena itu, seorang yang haidh dilarang bercampur dengan suami, berpuasa, dan kewajiban shalat digugurkan darinya.[5]

Kedua, sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang tengah melaksanakan ihram kemudian tertimpa haidh,

افْعَلِى مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى

“Kerjakanlah apa yang dikerjakan seorang yang berhaji, namun janganlah engkau berthawaf di Bait al-Haram hingga kamu suci.”[6]

Ketiga, perkataan ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu,

كُنَّ الْمُعْتَكِفَاتُ إذَا حِضْنَ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِإِخْرَاجِهِنَّ عَنْ الْمَسْجِدِ

“Kami wanita yang beri’tikaf, apabila mengalami haidh, maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkan untuk mengeluarkannya dari masjid.”[7]

Pertanyaan: Bagaimanakah hukum seorang wanita yang mengalami istihadhah, bolehkah dia beri’tikaf?

Jawab:

Seorang wanita yang mengalami isthadhah diperbolehkan beri’tikaf berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,

اعْتَكَفَتْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – امْرَأَةٌ مِنْ أَزْوَاجِهِ ، فَكَانَتْ تَرَى الدَّمَ وَالصُّفْرَةَ ، وَالطَّسْتُ تَحْتَهَا وَهْىَ تُصَلِّى

“Salah seorang istri nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf bersama beliau dalam keadaan beristihadhah. Istri beliau tersebut mengeluarkan darah dan lendir berwarna kuning, dia mengerjakan shalat dan di bawah tubuhnya terdapat bejana (untuk menampung darah tersebut).”[8]

Al ‘Aini rahimahullah mengatakan,

“Diantara kesimpulan hukum yang dapat dipetik adalah wanita yang mengalami istihadhah boleh beri’tikaf dan shalat, karena kondisinya adalah kondisi suci. Wanita tersebut meletakkan bejana (di bawahnya) agar darah tersebut tidak mengenai baju atau masjid. Selain itu, darah istihadhah juga encer, tidak seperti darah haidh. Hukum bolehnya I’tikaf bagi wanita yang mengalami istihadhah ini juga diberlakukan bagi kondisi yang semisal seperti seorang yang sering mengeluarkan urin (beser), madzi, wadi, dan mengalami luka yang senantiasa mengalirkan darah.”[9]

4. Bagi wanita, memperoleh Izin dari suami dan aman dari fitnah

‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Dia mengatakan,

قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ أَنْ تَعْتَكِفَ فَأَذِنَ لَهَا فَضَرَبَتْ فِيهِ قُبَّةً

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa beri’tikaf di bulan Ramadhan. Apabila beliau selesai melaksanakan shalat Subuh, beliau masuk ke dalam tempat I’tikaf. (Salah seorang perawi hadits ini mengatakan), “Maka ‘Aisyah pun meminta izin kepada nabi untuk beri’tikaf. Beliau pun mengizinkannya dan ‘Aisyah pun membuat kemah di dalam masjid.”[10]

Hadits ini juga menjadi dasar bahwa seorang wanita harus terlebih dahulu meminta izin kepada suami jika hendak beri’tikaf.

Dalam riwayat yang lain tercantum lafadz

وَسَأَلَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَسْتَأْذِنَ لَهَا

“Hafshah meminta bantuan ‘Aisyah agar memintakan izin baginya kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk beri’tikaf).”[11]

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,

وليس للزوجة أن تعتكف إلا بإذن زوجها ولا للمملوك أن يعتكف إلا بإذن سيده لأن منافعها مملوكة لغيرهما والاعتكاف يفوتها ويمنع استيفاءها وليس بواجب عليهما بالشرع فكان لها المنع منه

“Istri tidak boleh beri’tikaf kecuali diizinkan oleh suami. Begitupula dengan budak, dia tidak boleh beri’tikaf kecuali diizinkan oleh majikannya. Hal ini dikarenakan manfaat yang ada pada diri mereka juga dimiliki oleh selain mereka (yaitu suami dan majikan). I’tikaf akan menghilangkan dan menghambat manfaat tersebut. Selain itu, I’tikaf tidaklah wajib bagi mereka. Dengan demikian, I’tikaf menjadi terlarang bagi mereka (kecuali setelah diizinkan).”[12]

5. Dilaksanakan di Masjid

Dalil akan hal tersebut adalah sebagai berikut:

a. Firman Allah ta’ala,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ (١٨٧)

“Dan janganlah kalian mencampuri mereka (para wanita), sedang kalian beri’tikaf dalam masjid.” (Al Baqarah: 187).

Ayat ini menyatakan bahwa i’tikaf disyari’atkan di masjid.[13]

Ibnu Hajr Al Asqalani rahimahullah mengatakan,

وَوَجَدَ الدَّلَالَة مِنْ الْآيَة أَنَّهُ لَوْ صَحَّ فِي غَيْر الْمَسْجِد لَمْ يَخْتَصَّ تَحْرِيم الْمُبَاشَرَةِ بِهِ ، لِأَنَّ الْجِمَاع مُنَافٍ لِلِاعْتِكَافِ بِالْإِجْمَاعِ ، فَعُلِمَ مِنْ ذِكْرِ الْمَسَاجِدِ أَنَّ الْمُرَادَ أَنَّ الِاعْتِكَافَ لَا يَكُون إِلَّا فِيهَا

“Indikasi hukum yang terdapat pada ayat ini adalah jika i’tikaf sah dilakukan di selain masjid, maka tentulah pengharaman mubasyarah (jima’) tidak dikhususkan di dalam masjid. Hal ini dikarenakan jima’ membatalkan i’tikaf secara ijma’. Dengan demikian, dapat diketahui maksud penyebutan masjid di dalam ayat tersebut adalah i’tikaf tidaklah sah kecuali dikerjakan di dalam masjid.”[14]

b. Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menyatakan bahwa ketika nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf, beliau mengeluarkan kepalanya dari masjid agar dapat disisir oleh ‘Aisyah dan beliau tidak masuk ke dalam rumah kecuali ada kebutuhan yang mendesak.[15]

c. Ijma’ yang diklaim oleh sejumlah ulama. Al Qurthubi rahimahullah mengatakan,

أجمع العلماء على أن الاعتكاف لا يكون في إلا في المسجد

“Ulama bersepakat bahwa I’tikaf hanya boleh dikerjakan di dalam masjid.”[16]

Pertanyaan: Bagaimana kriteria masjid yang dapat dipakai untuk beri’tikaf?

Jawab:

Kriteria masjid yang dipakai oleh pria untuk beri’tikaf adalah masjid yang di dalamnya ditegakkan shalat berjama’ah, mengingat pria diwajibkan untuk menunaikan shalat wajib secara berjama’ah di masjid.[17]

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan,

لا اعتكاف إلا في مسجد تجمع فيه الصلوات

“Tidak ada I’tikaf melainkan di masjid yang di dalamnya ditegakkan shalat berjama’ah.”[18]

Lebih disukai jika hal itu dilaksanakan di masjid Jami’ (masjid yang juga digunakan untuk shalat Jum’at).[19]

Jika seorang diperkenankan untuk beri’tikaf di masjid yang di dalamnya tidak ditegakkan shalat wajib secara berjama’ah, maka hal ini akan menimbulkan dua dampak negatif bagi seorang, yaitu,

Meninggalkan shalat wajib secara berjama’ah yang diwajibkan kepada setiap pria.
Atau menggiring seorang untuk keluar dari masjid yang digunakannya beri’tikaf untuk menunaikan shalat berjama’ah di masjid yang di dalamnya ditegakkan shalat wajib secara berjama’ah. Tindakan itu akan senantiasa terulang, padahal sangat memungkinkan dia tidak melakukannya, yaitu dengan memilih masjid yang ditegakkan shalat berjama’ah di dalamnya. Tindakannya tersebut justru akan menafikan tujuan i’tikaf, karena esensi I’tikaf adalah berdiam diri dan menegakkan ketaatan di dalam masjid.[20]
Pertanyaan: “Terdapat hadits Hudzaifah ibn al-Yaman radhiallahu ‘anhu yang menyatakan “Tidak ada i’tikaf kecuali di tiga masjid.” Sebagian ulama berdalil dengan hadits ini dan menyatakan bahwa I’tikaf hanya sah dilakukan di ketiga masjid, yaitu masjid al-Haram, masjid Nabawi, dan masjid al-Aqsha?”

Jawab:

Teks lengkap hadits Hudzaifah tersebut adalah sebagai berikut, Ath Thahawi rahimahullah berkata Muhammad bin Sinan Asy Syairazi[21] memberitakan kepada kami, Hisyam bin ‘Ammar[22] memberitakan kepada kami, Sufyan ibn ‘Uyainah memberitakan kepada kami, riwayat dari Jami’ bin Abi Rasyid dari Abu Wail, dia mengatakan, Hudzaifah berkata kepada Abdullah,

الناس عكوف بين دارك ودار أبي موسى لا تغير؟! ، وقد علمت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : « لا اعتكاف إلا في المساجد الثلاثة : المسجد الحرام ومسجد النبي صلى الله عليه وسلم ومسجد بيت المقدس » قال : عبد الله لعلك نسيت وحفظوا ، وأخطأت وأصابوا

“Terdapat sekelompok orang yang beri’tikaf di antara rumahmu dan rumah Abu Musa, dan anda tidak menegurnya, padahal anda tahu rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Tidak ada I’tikad kecuali di tiga masjid, yaitu masjid al-Haram, masjid Nabi, dan masjid Bait al-Maqdis? Abdullah bin Mas’ud menjawab, “Mungkin anda yang lupa dan mereka yang mengingatnya, dan mungkin anda yang keliru dan merekalah yang benar.”[23]

Jawaban akan hal tersebut adalah sebagai berikut:[24]

Pertama, hadits tersebut masih diperselisihkan apakah berstatus marfu’ (bersambung kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) atau mauquf (hanya sampai kepada Hudzaifah radhiallahu ‘anhu saja), yang tepat hadits tersebut berstatus mauquf.[25]

Kedua, dalam riwayat tersebut, sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu tidak menerima riwayat Hudzaifah radhiallahu ‘anhu. Hal ini tidak mungkin terjadi seandainya Ibnu Mas’ud mengetahui bahwa hadits tersebut memang sanadnya bersambung sampai kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini menunjukkan bahwa hal tersebut berasal dari ijtihad Hudzaifah radhiallahu ‘anhu semata.[26]

Ketiga, jika memang benar riwayat Hudzaifah tersebut shahih dan marfu’, maka hadits tersebut menjelaskan keutamaan yang lebih jika I’tikaf dilakukan di ketiga masjid tersebut. Al Kasani rahimahullah[27] mengatakan, “I’tikaf yang paling utama dikerjakan di masjid al-Haram, kemudian di masjid Madinah, masjid al-Aqsha, dan masjid besar yang banyak jama’ahnya.”

Keempat, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,

“I’tikaf di selain masjid yang tiga, yaitu masjid al-Haram, masjid an-Nabawi, dan masjid al-Aqsha, disyari’atkan pada waktunya dan tidak hanya khusus di tiga masjid tersebut. Bahkan, I’tikaf itu dapat dilakukan di masjid selain ketiga masjid tersebut.

Inilah pendapat para imam kaum muslimin, para imam madzhab yang diikuti oleh kaum muslimin, yaitu imam Ahmad, Malik, Asy Syafi’i, Abu Hanifah, dan selain mereka rahimahumullah berdasarkan firman Allah ta’ala,

وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذالِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Kata “المساجد” dalam ayat tersebut umum dan mencakup seluruh masjid di penjuru bumi. Redaksi ayat ini berada dalam urutan akhir dari rentetan ayat-ayat puasa yang hukumnya mencakup seluruh umat Islam di penjuru bumi.

Dengan demikian, redaksi ayat ini, -yang menyebutkan perihal i’tikaf-, (juga) merupakan seruan kepada setiap orang yang diseru untuk menunaikan puasa. Oleh karena itu, berbagai hukum yang saling terkait ini ditutup dalam redaksi dan seruan yang berbunyi,

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذالِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Sangat mustahil, Allah memerintahkan umat ini dengan sebuah seruan yang hanya mencakup sebagian kecil dari umat ini (padahal di awal rentetan ayat, Allah menyeru semua umat ini).

Adapun hadits Hudzaifah ibn al-Yaman radhiallahu ‘anhu dengan redaksi “لا اعتكاف إلا في المساجد الثلاثة”, jika memang selamat dari berbagai cacat, maksudnya adalah menafikan kesempurnaan (i’tikaf yang dilaksanakan di selain ketiga masjid tersebut). Dengan demikian, maknanya adalah I’tikaf yang paling sempurna adalah yang dilakukan di tiga masjid tersebut, dikarenakan kemuliaan dan keutamaan ketiga masjid tersebut daripada masjid-masjid yang lain.

Redaksi seperti ini banyak contohnya dalam hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maksud saya bahwa penafian (yang terdapat dalam redaksi sebuah hadits) terkadang maksudnya penafian kesempurnaan, bukan (semata-mata) penafian hakikat (eksistensi) dan keabsahan sesuatu.

Hal ini seperti sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لا صلاة بحضرة طعام

“Tidak sempurna shalat seorang ketika makanan telah dihidangkan baginya”

dan hadits yang lain. Tidak diragukan lagi bahwa hukum asal penafian yang terdapat dalam suatu nash adalah penafian keabsahan dan eksistensi sesuatu. Akan tetapi, apabila terdapat dalil yang tidak mendukung hal tersebut, maka wajib berpegang dengannya. Hal ini sebagaimana hadits Hudzaifah, jika memang hadits tersebut selamat dari berbagai cacat. Wallahu a’alam.[28]

Pertanyaan: Bagaimana dengan puasa, bukankah puasa termasuk syarat i’tikaf berdasarkan perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang senantiasa mengerjakan I’tikaf dengan berpuasa?

Jawab:

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Namun, pendapat yang terkuat adalah puasa bukanlah syarat untuk mengerjakan I’tikaf. Hal ini didasarkan pada beberapa dalil berikut:[29]

Pertama, firman Allah ta’ala,

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ (١٨٧)

“Sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid.” (Al Baqarah: 187).

Ayat ini menunjukkan pensyari’atan puasa tanpa dibarengi puasa karena tercantum secara mutlak tanpa ada pembatasan.

Kedua, firman Allah ta’ala,

وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ (١٣٨)

“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang bertapa (beri’tikaf) menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: “Hai Musa. buatlah untuk Kami sebuah Tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa Tuhan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan).” (Al A’raaf: 138).

Pada ayat ini Allah menyebut tindakan kaum musyrikin yang berdiam di samping berhala mereka dengan sebutan i’tikaf, meskipun mereka tidak berpuasa. Maka seorang yang mengekang diri untuk Allah di rumah-Nya (yakni masjid), bisa juga disebut seorang yang beri’tikaf, meskipun dia tidak berpuasa.

Ketiga, hadits Ibnu ‘Umar yang menceritakan bahwa ‘Umar radhiallahu ‘anhu, bertanya kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَالَ « فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ »

“Pada masa jahiliyah, saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf semalam di Masjid al-Haram.” Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkannya untuk menunaikan nadzar tersebut.[30]

Hadits di atas menunjukkan bahwa I’tikaf dapat dilakukan tanpa dibarengi dengan puasa, karena malam bukanlah waktu untuk berpuasa. Jika puasa merupakan syarat I’tikaf, tentulah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengijinkan ‘Umar radhiallahu ‘anh untuk beri’tikaf.

Keempat, pada hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha disebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan I’tikaf di bulan Ramadhan dan baru melaksanakannya pada sepuluh hari pertama di bulan Syawwal.[31]

Hadits ini menunjukkan bahwa puasa bukanlah syarat I’tikaf, karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari pertama di bulan Syawwal dan hari ‘Ied termasuk di dalam rentang waktu tersebut. Telah dimaklumi bersama bahwa berpuasa ketika hari ‘Ied tidak diperbolehkan, karena nabi melarang hal tersebut.[32]

Kelima, Thawus rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anh dengan sanad yang shahih, bahwa beliau berpendapat bahwa seorang yang beri’tikaf tidak wajib berpuasa kecuali dia mewajibkan puasa atas dirinya.[33]

Keenam, seorang yang beri’tikaf lebih dari sehari, maka tentu dia akan beri’tikaf di siang dan malam hari. Konsekuensi pendapat yang menyatakan puasa merupakan syarat I’tikaf adalah status I’tikaf yang dilakukan orang tersebut pada malam hari tidaklah sah.

Adapun tindakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang senantiasa berpuasa ketika beri’tikaf, maka bisa kita menjawabnya bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentulah lebih memilih kondisi yang paling afdhal dalam I’tikaf yang dilakukannya. Oleh karena itu, beliau beri’tikaf pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, padahal beri’tikaf di selain waktu tersebut diperbolehkan. Demikian pula, beliau beri’tikaf selama sepuluh hari, padahal beri’tikaf dalam rentang waktu yang lebih pendek dari itu juga diperbolehkan.

-bersambung insya Allah-

[1] Taisir Karim ar Rahman hlm. 340.

[2] HR. Bukhari: 1, Muslim: 1907.

[3] Syarh Al Arba’in an Nawawi karya Syaikh Shalih alu Asy Syaikh.

[4] Tafsir Quran al-’Azhim 2/308; Asy Syamilah.

[5] Al Hawi 1/384. Dikutip dari Fiqh Al I’tikaf hlm. 73.

[6] HR. Bukhari: , Muslim: .

[7] Ibnu Jarir dalam Al Mughni 5/174 menisbatkan riwayat ini pada Abu Hafsh al ‘Akbari dan dia berkata, “sanad riwayat ini jayyid.”

[8] HR. Bukhari: 304.

[9] ‘Umdah al-Qari 3/280; Asy Syamilah.

[10] HR. Bukhari: 1936.

[11] HR. Bukhari: 1940.

[12] Al Mughni 3/151.

[13] Tafsir Surat Al Baqarah 2/358.

[14] Fath al Baari 4/345.

[15] HR. Bukhari: 1925, Muslim: 297.

[16] Al Jami’ li Ahkam Al Quran 2/324; Asy Syamilah.

[17] Salah satu dalil akan hal ini adalah sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى مَنَازِلِ قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ

“Saya sangat berkeinginan memerintahkan agar shalat ditegakkan, kemudian saya bertolak ke rumah para pria yang tidak menghadiri shalat berjama’ah, lalu saya bakar mereka.” (HR. Bukhari: 2288).

[18] HR. Abdullah ibn Ahmad dalam Masailnya 2/673 dari ayah beliau (imam Ahmad).

[19] Al Majmu’ 6/480; Asy Syamilah.

Catatan: Seorang yang tidak beri’tikaf di masjid Jami’, maka wajib keluar untuk shalat Jum’at. Keluarnya tersebut terhitung sebagai udzur syar’i sehingga tidak membatalkan i’tikafnya, lagipula hal itu hanya dilakukan sekali dalam seminggu, tidak berulangkali. Al Kasani rahimahullah mengatakan, “Demikian pula keluar untuk menunaikan shalat Jum’at termasuk darurat, karena hukum menunaikan shalat Jum’at adalah faradhiallahu ‘anhuu ‘ain dan tidak mungkin dilaksanakan di setiap masjid. Sehingga, seorang harus keluar (ke masjid Jami’) untuk menunaikannya seperti (seorang yang keluar dari masjid tempatnya beri’tikaf) untuk menunaikan hajat. Keluarnya tersebut tidaklah membatalkan i’tikafnya.” (Badai’ Ash-Shanai’ 2/114).

[20] Al Mughni 3/187. Dikutip dari ‘Uudu ilaa Khair al-Hadyi hlm. 64.

[21] Adz Dzahabi rahimahullah dalam al Mizan 3/575 menyifati beliau dengan “صاحب مناكر”, perawi yang sering membawakan riwayat mungkar.

[22] Memiliki kelemahan dalam hafalan dan tatkala memasuki usia senja hafalan beliau mulai berubah. Lihat at-Tahdzib 11/51-54.

[23] HR. Ath Thahawi dalam Musykil al-Atsar 6/265; Asy Syamilah.

[24] Bagi para pembaca yang ingin memperluas pembahasan hal ini, dapat melihat Fiqh al-I’tikaf hlm. 120-123, ‘Uudu ilaa Khair al-Hadyi hlm. 66-69, al-Inshaf fi Ahkam al-I’tikaf hlm. 26-41.

[25] HR. Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya 4/348.

[26] Asy Syaukani rahimahullah ketika mengomentari perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu yang mengingkari Hudzaifah radhiallahu ‘anhu, berkata,

“Perkataan beliau (Ibnu Mas’ud) ini menunjukkan bahwa dalam permasalahan ini, Hudzaifah tidak berdalil dengan satu hadits pun yang berasal dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Hal itu diperkuat karena) Abdullah (Ibnu Mas’ud) menyelisihinya dan (malah) membolehkan I’tikaf dilakukan di setiap masjid. Jika terdapat hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang menerangkan hal itu) tentulah Abdullah bin Mas’ud tidak menyelisihinya.” (Nailul Authar 4/360).

[27] Badai’ ash Shanai’ 2/113.

[28] Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibni ‘Utsaimin 20/112; Asy Syamilah.

[29] Diadaptasi dari Fiqh Al I’tikaf hlm. 98-106.

[30] HR. Bukhari: 1927.

[31] HR. Muslim: 1172.

[32] HR. Muslim: 1140.

[33] HR. Baihaqi dalam Sunan Al Kubra: 8370.

Penulis: M. Nur Ichwan Muslim
Artikel Muslim.Or.Id

, ,

Leave a comment

Fiqih Ringkas I’tikaf (4)

Fiqih Ringkas I’tikaf (4)

Posted: 20 Aug 2011 01:06 AM

Pembatal I’tikaf

a. Jima’ (bersetubuh)

Allah ta’ala berfirman,

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu ber-i’tikaf dalam mesjid.” (Al Baqarah: 187).

Al Qurthubi rahimahullah mengatakan,

بين جل تعالى أن الجماع يفسد الاعتكاف واجمع أهل العلم على أن من جامع امرأته وهو معتكف عامدا لذلك في فرجها أنه مفسد لاعتكافه

“Allah ta’ala menjelaskan bahwa berjima’ membatalkan i’tikaf dan para ulama telah bersepakat ahwa seorang yang berjima’ dengan istrinya secara sengaja sementara dia sedang ber-i’tikaf, maka dia telah membatalkan i’tikafnya.”[1]

Ibnu Hazm mengatakan, “Mereka (para ulama) sepakat jima’ membatalkan i’tikaf.”[2]

b. Bercumbu

Bercumbu dengan pasangan yang disertai syahwat diharamkan bagi mu’takif berdasarkan kesepakatan ulama.[3]Namun, para ulama berselisih apakah hal itu membatalkan i’tikaf-nya.

Pendapat yang kuat dalam permasalahan ini adalah pendapat Jumhur yang menyatakan bercumbu tidaklah membatalkan i’tikafnya kecuali bercumbu tersebut menyebabkan dirinya orgasme (maaf: mengeluarkan mani).

Ath Thabari rahimahullah ketika mengomentari firman Allah ta’ala ” وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ “, beliau mengatakan,

وأولى القولين عندي بالصواب قول من قال : معنى ذلك : الجماع أو ما قام الجماع مما أوجب غسلا إيجابه وذلك أنه لا قول في ذلك إلا أحد قولين : إما جعل حكم الاية عاما أو جعل حكمها في خاص من معاني المباشرة وقد تظاهرت الأخبار عن رسول الله صلى الله عليه وسلم : أن نساءه كن يرجلنه وهو معتكف فلما صح ذلك عنه علم أن الذي عنى به من معاني المباشرة البعض دون الجميع

“Pendapat yang paling benar menurutku adalah pendapat yang menyatakan bahwa maknanya adalah jima’ dan segala hal yang serupa dengan itu yang mengharuskan pelakunya mandi. Kemungkinan yang ada hanya dua, yaitu memberlakukan ayat tersebut secara umum atau mengkhususkan ayat tersebut untuk sebagian makna dari mubasyarah. Banyak hadits dari rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara jelas menginformasikan bahwa istri-istri beliau menyisir rambut beliau ketika sedang ber-i’tikaf, maka dapat diketahui bahwa makna mubasyarah dalam ayat ini hanya mencakup sebagian maknanya, bukan seluruhnya.”[4]

c. Keluar dari Masjid

Mu’takif diperkenankan keluar dari masjid jika terdapat udzur syar’i atau hendak menunaikan suatu kebutuhan yang mendesak. Contoh akan hal ini, mu’takif diperbolehkan keluar dari masjid untuk makan dan minum, jika tidak ada orang yang membawakan makanan dan minuman baginya ke masjid. Demikian pula, dia diperbolehkan keluar masjid untuk mandi janabah atau berwudhu, jika tidak mungkin dilakukan di dalam masjid.

‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasukkan kepala beliau ke dalam kamarku, sementara beliau berada di dalam masjid, dan saya pun menyisirnya. Beliau tidak akan masuk ke dalam rumah ketika sedang ber-i’tikaf, kecuali ada kebutuhan mendesak.”[5]

Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa mu’takif yang keluar dari tempat i’tikafnya di dalam masjid tanpa ada kebutuhan yang mendesak, tidak pula karena darurat, atau melakukan suatu perkara kebaikan yang diperintahkan atau dianjurkan, maka i’tikaf yang dilakukannya telah batal.”[6]

d. Memutus Niat untuk ber-i’tikaf

Telah dipaparkan sebelumnya bahwa niat untuk ber-i’tikaf termasuk syarat i’tikaf. Dengan demikian, mu’takif yang tidak lagi berniat untuk ber-i’tikaf, maka batallah i’tikafnya. Hal ini berdasarkan keumuman sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ

“Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya “[7]

Berbagai Perkara yang Dianjurkan ketika ber-i’tikaf

a. Memperbanyak ibadah mahdhah

Mu’takif (orang yang ber-i’tikaf) disyari’atkan memperbanyak ibadah mahdhah (ritual) seperti shalat, membaca Al-Quran, dzikir, dan ibadah yang semisal. Berbagai ibadah ini dapat membantu seorang untuk merealisasikan tujuan dan hikmah I’tikaf, yaitu memfokuskan hati dalam beribadah kepada-Nya dan memutus kesibukan dengan makhluk.

Demikian pula, yang termasuk dianjurkan adalah berpuasa ketika ber-i’tikaf di luar bulan Ramadhan menurut kalangan yang berpendapat bahwa puasa tidak termasuk sebagai syarat i’tikaf.

b. Melakukan ibadah muta’addiyah

Melakukan ibadah muta’addiyah (ibadah yang berdampak sosial) disyari’atkan bagi mu’takif apabila hukum ibadah muta’adiyah tersebut wajib dan tidak memakan waktu yang lama seperti mengeluarkan zakat, amar ma’ruf nahi mungkar, membalas salam, memberi fatwa, dan yang semisal.

Ulama berbeda pendapat mengenai hukum ibadah muta’addiyah ketika ber-i’tikaf apabila tidak wajib dan memakan waktu yang lama, seperti melaksanakan kajian atau berdiskusi dengan seorang ‘alim, dan yang semisal. Sebagian ulama berpendapat hal tersebut disyari’atkan, sebagian yang lain berpendapat sebaliknya.

Ibnu Rusyd mengatakan, “Akar perbedaan pendapat para ulama dalam hal ini adalah dikarenakan hal tersebut tidak disebutkan hukumnya. Maka, ulama yang berpandangan bahwa yang dimaksud i’tikaf adalah mengekang diri di masjid dengan melakukan aktivitas yang khusus, maka mereka berpendapat seorang mutakif hanya boleh melakukan ibadah shalat dan membaca Al-Quran. Sedangkan yang berpandangan bahwa yang dimaksud i’tikaf adalah mengekang diri dengan melakukan seluruh kegiatan ukhrawi, maka mereka membolehkan hal tersebut.”[8]

Pendapat yang kuat adalah hal tersebut disyari’atkan dan hal ini merupakan pendapat madzhab Hanafi[9] dan Syafi’i[10]. Pendapat ini berlandaskan pada beberapa dalil berikut:

Pertama, hadits Shafiyah radhiallahu ‘anha[11], di dalamnya disebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamberbincang-bincang dengan para istri beliau.

Kedua, hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu ‘anhu[12], di dalamnya disebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dan memberi pengarahan kepada para sahabatnya.

Hukum yang terkandung dalam kedua hadits ini juga dapat diterapkan pada aktivitas kajian ketika ber-i’tikaf.

Ketiga, hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha[13] yang menyisirkan rambut nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau tengah ber-i’tikaf. Segi pendalilan dari hadits ini, jika menyisirkan rambut yang hukumnya mubah diperbolehkan tentulah melakukan ibadah selain shalat dan tilawah Al Quran lebih diperbolehkan.

c. Membuat Sekat atau Tenda di dalam Masjid

Disunnahkan bagi mu’takif, baik pria maupun wanita, membuat sekat atau tenda yang bisa dipergunakan untuk mengisolir diri dari para mu’takif lainnya. Hal ini berdasarkan perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam[14] dan para istri beliau[15].

Hal ini lebih ditekankan bagi wanita yang ber-i’tikaf di masjid yang digunakan untuk shalat berjama’ah agar dirinya tidak terlihat oleh para pria sehingga tidak menimbulkan fitnah.[16]

d. Meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat

Mu’takif hendaknya meninggalkan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.[17] Hal ini berdasarkan dalil berikut:

Hadits Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu yang telah lalu disebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-i’tikaf di sebuah tenda kecil yang berpintukan lembaran tikar.[18]
Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang menyebutkan bahwa apabila rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin ber-i’tikaf, beliau melaksanakan shalat Subuh kemudian masuk ke tempat i’tikafnya).[19]
Kedua hadits ini menunjukkan bahwa seorang mu’takif hendaknya menyendiri agar bisa fokus beribadah dan hal itu baru dapat tercapai jika dia meninggalkan berbagai perkara yang tidak bermanfaat.
Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

“Merupakan tanda baiknya keislaman seorang adalah meninggalkan segala yang tidak bermanfaat baginya.”[20]

e. Bergegas Menunaikan Shalat Jum’at

Mu’takif yang tidak beri’tkaf di masjid Jami’ dianjurkan untuk bergegas menunaikan shalat Jum’at berdasarkan keumuman hadits yang menganjurkan seorang untuk bersegera pergi ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at.[21]

f. Tetap Berdiam di Masjid ketika Malam ‘Ied

Sebagian ulama menganjurkan agar mu’takif tetap berdiam di masjid pada malam ‘Ied dan baru keluar ketika hendak menunaikan shalat ‘Ied.[22]

Berbagai Perkara yang Diperbolehkan ketika ber-i’tikaf

a. Minum, Makan, dan Tidur

Ulama sepakat bahwa mu’takif diperbolehkan makan, minum, dan tidur di dalam masjid.[23] Dalil akan hal ini adalah sebagai berikut:

Firman Allah ta’ala,
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu ber-i’tikaf dalam mesjid.” (Al Baqarah: 187).

Ayat ini menunjukkan bahwa seorang mu’takif haruslah berada di dalam masjid, dengan demikian hal tersebut berkonsekuensi dirinya makan, minum, dan tidur di dalam masjid.

Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang menyebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ber-i’tikaf tidak masuk ke dalam rumah kecuali terdapat kebutuhan yang mendesak.[24] Sehingga dapat dipahami bahwa beliau makan, minum, dan tidur di dalam masjid.
b. Dikunjungi Keluarga

Mu’takif boleh menerima kunjungan keluarganya berdasarkan Hadits Shafiyah radhiallahu ‘anha yang datang menjenguk beliau ketika ber-i’tikaf. [25]

Namun, kunjungan tersebut hendaklah tidak terlalu lama dan tidak sering dilakukan sehingga tidak mengurangi nilai dan tujuan ber-i’tikaf.

c. Menikah dan Menikahkan

Mu’takif juga diperbolehkan untuk menikah, menikahkan, menjadi saksi dalam pernikahan yang dilangsungkan di dalam masjid tempat dirinya ber-i’tikaf.

Dalil bagi hal ini adalah dalil-dalil yang membolehkan seorang mu’takif menjenguk orang sakit dan menyalati jenazah di dalam masjid. Selain itu, semua hal tersebut merupakan ketaatan dan pada umumnya tidak banyak menyita waktu, sehingga tidak menafikan tujuan ber-i’tikaf.

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Seorang mu’takif diperbolehkan menikah dan menikahkan. Hal ini telah ditegaskan oleh Asy Syafi’i dalam Al Muktashar dan para rekan (beliau) sepakat akan hal ini serta saya tidak tahu ada khilaf akan hal ini.”[26]

Waffaqaniyallahu wa iyyakum.

Buaran Indah, Tangerang.

Maraji’ :

Al Ijma’ karya Imam Ibnul Mundzir; Asy Syamilah.
Al Inshaf fi Ahkamil I’tikaf karya Syaikh ‘Ali Hasan al Halabi.
Al Jami’ li Ahkam Al Quran karya Imam Al Qurthubi; Asy Syamilah.
Al Majmu’ karya Imam An Nawawi; Asy Syamilah.
Al Qur-an dan Terjemahannya
Fiqhul I’tikaf karya Syaikh Dr. Khalid bin ‘Ali Al Musyaiqih.
Majmu’ Fatawa wa Rasaa-il Ibn ‘Utsaimin karya Syaikh Muhammad al ‘Utsaimin; Asy Syamilah.
Shahih Fiqhis Sunnah jilid 2 karya Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayyid Salim
Syarh Al Arba’in an Nawawi karya Syaikh Shalih alusy Syaikh.
Tafsir Quran al-’Azhim 2/308 karya Imam Ibnu Katsir; Asy Syamilah.
Tafsir Surat Al Baqarah 2/358 karya Syaikh Muhammad al ‘Utsaimin.
Taisir Karim ar Rahman karya Syaikh Abdurrahman As Sa’di.
‘Umdah al-Qari karya Imam Al ‘Aini; Asy Syamilah.
‘Uudu ila Khairil ‘Ibad karya Syaikh Dr. Muhammad bin Isma’il Al Muqaddam.
Zaadul Ma’ad karya Imam Ibnul Qayyim.
Dll.
[1] Al Jami’ li Ahkamil Quran 2/324.

[2] Maratibul Ijma’ hlm. 41.

[3] Al Jami’ li Ahkamil Quran 2/332; Tafsir Ibnu Katsir 1/298; Asy Syamilah.

[4] Jami’ul Bayan 2/181.

[5] HR. Bukhari: 1925; Muslim: 297.

[6] Maratibul Ijma’ hlm. 48.

[7] HR. Bukhari: 1, Muslim: 1907.

[8] Bidayatul Mujtahid 1/312.

[9] Fathul Qadir 2/396.

[10] Al Umm 2/105; Al Majmu’ 6/528.

[11] HR. Bukhari: 1933.

[12] HR. Muslim: 1167.

[13] HR. Bukhari: 1925; HR. Muslim: 297.

[14] HR. Muslim: 1167.

[15] HR. Bukhari: 1929.

[16] Asy Syarhul Kabir ma’al Inshaf 7/582.

[17] Badai’ush Shana’i 2/117; Al Majmu’ 6/533.

[18] HR. Muslim: 1167.

[19] HR. Muslim: 1172.

[20] HR. Tirmidzi: 2318.

[21] HR. Bukhari: 841; Muslim: 850.

[22] Al Muwaththa:1/315; Al Majmu 6/475; Asy Syamilah.

[23] Badai’ush Shana’i 2/117; Al Mudawwanah 1/206; Raudhatut Thalibin 2/393; Al Mughni 4/383.

[24] HR. Bukhari: 1925; Muslim: 297.

[25] HR. Bukhari: 1933.

[26] Al Majmu’ 6/559.

, ,

Leave a comment

Menghindari Sifat Hasad

Menghindari Sifat Hasad

Allah memberikan nimmat-Nya tidak sama pada semua hamba-Nya, ada yang diberi banyak dan ada yang sedikit. Semua itu untuk menguji para hamba-Nya dalam kehidupan dunia ini. Ujian ini bagaikan api membersihkan dan memisahkan emas dari campurannya. Sehingga dengan ujian ini dapat terlihat mana yang benar-benar beriman dan yang tidak. Oleh karena itu janga sampai kita kalah dalam ujian tersebut.

Sifat Hasad Iblis kepada Adam

Karena perbedaan inilah, sering timbul sifat-sifat jelek hamba Allah terhadap yang lainnya. Lihat awal perseteruan Adam dan iblis, ketika Iblis melanggar perintah Allah untuk sujud kepada Adam disebabkan perasaan hasadnya terhadap Adam. Ia merasa Allah tidak adil dalam perintah tersebut, bagaimana tidak? –menurut Iblis-. Ia yang lebih baik dan pantas dari Adam mendapat kemuliaan tersebut, kok malahan diminta sujud padanya, sampai ia mengatakan,

”Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A’raf: 12)

Perseteruan itu ada disebabkan sifat hasad kepada Adam yang telah Allah muliakan. Akibatnya Allah kutuk Iblis dan menjadikannya musuh anak Adam sampai hari kiamat.

Demikian juga permusuhan orang kafir terhadap kaum mukminin, sehingga mereka mengerahkan segala kekuatan dan daya upaya untuk menjauhkan kaum mukmin dari keimanan, sebagaimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya,

Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguh-Nya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 109)

Apa itu Sifat Hasad?

Sifat hasad atau dengki adalah sifat seseorang yang tidak suka orang lain lebih darinya atau tidak suka orang lain mendapatkan kenikmatan Allah baik dengan keinginan kenikmatan tersebut hilang darinya atau tidak, bila disertai perasaan ingin menghancurkan milik orang lain maka ini merupakan sifat hasad tingkat tinggi dan paling jelek, seperti sifat hasadnya Iblis kepada Adam.
Sifat hasad ini dapat digambarkan dengan contoh, misalnya tetangga kita memiliki kelebihan harta benda, atau anak atau istri yang cantik jelita atau memiliki kedudukan dan nama baik dimasyarakat, lalu kita iri dan dengki kepadanya, baik berusaha jelek merusaknya ataupun tidak. Sifat hasad ini dapat membuat orang berbuat dzolim kepada tetangganya, bahkan juga ngosipin dan menjelek-jelekkannya didepan orang lain. Tentu ini akan menjadikan suasana bermasarakat yang tidak kondusif dan buruk sekali.

10 Bahaya Sifat Hasad

Sifat hasad sangat berbahaya sekali, diantara bahayanya adalah:

1. Sifat hasad merupakan sifat orang yahudi yang Allah laknat, sehingga siapa yang memilikinya berarti telah menyerupai mereka. Allah berfirman tentang hal ini,

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.” (QS. An-Nisa’ 4:54)

2. Orang yang memiliki sifat sifat hasad tidak dapat menyempurnakan imannya, sebab ia tidak akan dapat mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Padahal Rasulullah bersabda,

“Tidak sempurna iman salah seorang kalian sampai cinta untuk saudaranya seperti cinta untuk dirinya.” (Muttafaqun Alaihi).

Bahkan lebih dari itu orang yang hasad sangat bahagia dan senang bila saudaranya celaka dan binasa.

3. Ada dalam sifat hasad ini ketidaksukaan terhadap takdir yang Allah berikan kepadanya, sebab siapa yang memberikan nikmat kepada orang lain tersebut? Tentu saja Allah. Seakan-akan ia ingin ikut berperan aktif dalam penentuan takdir Allah dengan merasa bahwa ia lebih pantas mendapatkan nikmat tersebut dari orang lain.

4. Setiap orang lain mendapatkan kenikmatan, semakin besar dan kuat api hasad dalam dirinya, sehingga ia selalu penasaran dan duka serta hatinya terbakar api hasad tersebut.

5. Menimbulkan sikap egois yang tinggi dan tidak menyukai kebaikan pada orang lain

6. Sifat hasad memakan dan melumat kebaikan yang dimilikinya sebagaimana api memakan dan melumat kayu bakar yang kering. Ini yang dinyatakan Rasulullah dalam sabdanya,

“Jauhkanlah (oleh kalian) dengki (hasad) karena ia akan memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.” (HR. Abu daud).

7. menyusahkan diri sendiri sebab ia tidak mampu merubah sedikitpun takdir Allah. Allah telah memberikan nikmat pada orang lain dan tidak akan tercegah dan terhalangi oleh ulah orang yang hasad tersebut. Walaupun ia telah berusaha dengan mencurahkan seluruh kesungguhan dan kemampuannya tidak akan mungkin merubah takdir Allah yang sudah ditetapkan. Sehingga semua usahanya hanyalah sia-sia belaka.

8. Sifat hasad mencegah pemiliknya dari berbuat amal kebaikan dan kemanfaatan. Hal ini karena ia selalu sibuk dengan memikirkan dan melihat milik orang lain sehingga seluruh hidupnya hanya untuk memikirkan bagaimana datangnya kenikmatan pada orang lain dan bagaimana cara menghilangkannya.

9. Sifat hasad dapat memecah persatuan, kesatuan dan persaudaraan kaum muslimin. Memang demikian, karena itulah Rasulullah bersabda,

“Janganlah saling hasad dan berbuat najasy dan janganlah saling bermusuhan serta saling mendiamkan dan jadilah kalian bersaudara.” (HR. Muslim).

10. Hidupnya tidak pernah tenang dan tentram, apalagi bahagia. Orang yang hasad selalu dalam keadaan gundah gulana dan resah melihat orang lain lebih darinya. Padahal mesti ada orang ;ain yang memiliki kelebihan darinya.

Oleh karena itu, Rasulullah melarang kita melakukan perbuatan hasad ini.

Alangkah mengerikan bahaya dan kerusakan yang timbul dari dengki (sifad hasad) ini. Oleh karena itu, marilah kita berusaha menanggalkan dan menghilangkannya dari diri kita.

10 Kiat menghindari dan mencegah sifat Hasad.

Setelah mengetahui bahayanya, tentunya kita harus berusaha menghindari dan manjauhkan diri dari sifat yang satu ini. Untuk itu perlu melihat kiat-kiat berikut ini:

1. Belajar dan memahami akidah islam yang benar, baik tentang keimanan ataupun syari’at serta nmengamalkannya. Kebenaran aqidah merupakan sumber segala perbaikan dan kebaikan. Hal ini dilakukan dengan terus senantiasa menggali isi kandungan Alquran dan Hadits.

2. Memahami dengan benar konsep takdir menurut syari’at Islam, sehingga faham kalau segala kenikmatan dan rezeki serta yang lainnya tidak lepas dari ketentuan takdir Allah. Dengan memahami ini diharapkan tidak timbul dalam diri kita rasa iri dan dengki terhadap orang lain, karena tahu itu semua tidak lepas dari ketetapan takdir Allah.

3. Meyakini dengan benar dan kokoh bahwa semua kenikmatan tersebut berasal dari Allah dan diberikan kepada setiap orang sesuai dengan hikmah yang diinginkan-Nya. Sebab tidak semua kenikmatan yang Allah berikan kepada orang lain itu baik untuknya.

4. Membersihkan hati dengan berusaha mengamalkan seluruh syari’at islam.

5. Memandang dunia dengan segala perhiasannya sebagai sesuatu yang akan punah dengan cepat dan sesuatu yang tidak seberapa dibanding akherat. Demikian juga memandang tujuan akhir kehidupannya adalah akhirat yang kekal abadi, sebagaimana firman Allah,

“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman di bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berfikir. Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam).” (QS. Yunus, 10: 24-25)

6. Selalu mengingat bahaya sifat hasad bagi kehidupan dunia dan akhiratnya.

7. Selalu mencanangkan dalam hatinya kewajiban mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cinta untuk dirinya, sehingga tidak merasa panas melihat saudaranya lebih baik darinya dalam permasalahan dunia. Rasulullah bersabda,

“Tidaklah seorang dari kalian sempurna imannya sampai mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” (Mutafaqun Alaihi).

8. Berusaha memenuhi hak-hak saudaranya sesama muslim dan mencari teman baik yang mengingatkan dan menasihatinya.

9. Selalu mengingat kematian dan pembalasan Allah atas kezaliman dan kerusakan yang ditumbulkan sifat hasad tersebut.

10. Mengingat keutamaan zuhud dan lapang dada terhadap nikmat yang Allah anugrahi kepada orang lain serta kewajiban bersyukur terhadap nikmat yang dianugrahkan kepadanya. Sebab semua ini akan menimbulkan sifat qana’ah dan kaya diri. Sifat qana’ah dan kaya diri ini yang akan membawanya kepada sifat iffah dan takwa.

Mudah-mudahan dengan selalu berusaha menjauhi dan meninggalkan sifat hasad ini kita semua dimudahkan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Penulis Ustadz Kholid Syamhudi, L.c.

Artikel http://www.UstadzKholid.com

,

Leave a comment

Shalat Tarawih (1): Jumlah Raka’at Pilihan Nabi

Shalat Tarawih (1): Jumlah Raka’at Pilihan Nabi

Kategori Ramadhan | 05-08-2010

Shalat ini dinamakan tarawih yang artinya istirahat karena orang yang melakukan shalat tarawih beristirahat setelah melaksanakan shalat empat raka’at. Shalat tarawih termasuk qiyamul lail atau shalat malam. Akan tetapi shalat tarawih ini dikhususkan di bulan Ramadhan. Jadi, shalat tarawih ini adalah shalat malam yang dilakukan di bulan Ramadhan.[1]

Adapun shalat tarawih tidak disyariatkan untuk tidur terlebih dahulu dan shalat tarawih hanya khusus dikerjakan di bulan Ramadhan. Sedangkan shalat tahajjud menurut mayoritas pakar fiqih adalah shalat sunnah yang dilakukan setelah bangun tidur dan dilakukan di malam mana saja.[2]

Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Bahkan menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan Malikiyyah, hukum shalat tarawih adalah sunnah mu’akkad (sangat dianjurkan). Shalat ini dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan. Shalat tarawih merupakan salah satu syi’ar Islam.[3]

Imam Asy Syafi’i, mayoritas ulama Syafi’iyah, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa lebih afdhol shalat tarawih dilaksanakan secara berjama’ah sebagaimana dilakukan oleh ‘Umar bin Al Khottob dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Kaum muslimin pun terus menerus melakukan shalat tarawih secara berjama’ah karena merupakan syi’ar Islam yang begitu nampak sehingga serupa dengan shalat ‘ied.[4]

Keutamaan Shalat Tarawih

Pertama, akan mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759). Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh An Nawawi.[5] Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan dosa dengan syarat karena iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala dari Allah, bukan karena riya’ atau alasan lainnya.[6]

Yang dimaksud “pengampunan dosa” dalam hadits ini adalah bisa mencakup dosa besar dan dosa kecil berdasarkan tekstual hadits, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Mundzir. Namun An Nawawi mengatakan bahwa yang dimaksudkan pengampunan dosa di sini adalah khusus untuk dosa kecil.[7]

Kedua, shalat tarawih bersama imam seperti shalat semalam penuh.

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda,

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً

“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.”[8] Hal ini sekaligus merupakan anjuran agar kaum muslimin mengerjakan shalat tarawih secara berjama’ah dan mengikuti imam hingga selesai.

Ketiga, shalat tarawih adalah seutama-utamanya shalat.

Ulama-ulama Hanabilah (madzhab Hambali) mengatakan bahwa seutama-utamanya shalat sunnah adalah shalat yang dianjurkan dilakukan secara berjama’ah. Karena shalat seperti ini hampir serupa dengan shalat fardhu. Kemudian shalat yang lebih utama lagi adalah shalat rawatib (shalat yang mengiringi shalat fardhu, sebelum atau sesudahnya). Shalat yang paling ditekankan dilakukan secara berjama’ah adalah shalat kusuf (shalat gerhana) kemudian shalat tarawih.[9]

Shalat Tarawih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.”[10]

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – خَرَجَ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ ، فَصَلَّى فِى الْمَسْجِدِ ، فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا ، فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّوْا مَعَهُ ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَصَلَّوْا بِصَلاَتِهِ ، فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ ، فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ ، فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ « أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَىَّ مَكَانُكُمْ ، لَكِنِّى خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا »

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam keluar di tengah malam untuk melaksanakan shalat di masjid, orang-orang kemudian mengikuti beliau dan shalat di belakangnya. Pada waktu paginya orang-orang membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat dengan beliau. Dan pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang hadir di masjid semakin bertambah banyak lagi, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk shalat dan mereka shalat bersama beliau. Kemudian pada malam yang keempat, masjid sudah penuh dengan jama’ah hingga akhirnya beliau keluar hanya untuk shalat Shubuh. Setelah beliau selesai shalat Fajar, beliau menghadap kepada orang banyak membaca syahadat lalu bersabda: “Amma ba’du, sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku takut shalat tersebut akan diwajibkan atas kalian, sementara kalian tidak mampu.”[11]

As Suyuthi mengatakan, “Telah ada beberapa hadits shahih dan juga hasan mengenai perintah untuk melaksanakan qiyamul lail di bulan Ramadhan dan ada pula dorongan untuk melakukannya tanpa dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu. Dan tidak ada hadits shahih yang mengatakan bahwa jumlah raka’at tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 20 raka’at. Yang dilakukan oleh beliau adalah beliau shalat beberapa malam namun tidak disebutkan batasan jumlah raka’atnya. Kemudian beliau pada malam keempat tidak melakukannya agar orang-orang tidak menyangka bahwa shalat tarawih adalah wajib.” [12]

Ibnu Hajar Al Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat tarawih 20 raka’at. Adapun hadits yang mengatakan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat (tarawih) 20 raka’at”, ini adalah hadits yang sangat-sangat lemah.”[13]

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadhan 20 raka’at ditambah witir, sanad hadits itu adalah dho’if. Hadits ‘Aisyah yang mengatakan bahwa shalat Nabi tidak lebih dari 11 raka’at juga bertentangan dengan hadits Ibnu Abi Syaibah ini. Padahal ‘Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk-beluk kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu malam daripada yang lainnya. Wallahu a’lam.”[14]

Jumlah Raka’at Shalat Tarawih yang Dianjurkan

Jumlah raka’at shalat tarawih yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 raka’at. Inilah yang dipilih oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang telah lewat.

Juga terdapat riwayat dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

كَانَ صَلاَةُ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً . يَعْنِى بِاللَّيْلِ

“Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764). Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari[15]. Di antara dalilnya adalah ‘Aisyah mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ لِيُصَلِّىَ افْتَتَحَ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika hendak melaksanakan shalat malam, beliau buka terlebih dahulu dengan melaksanakan shalat dua rak’at yang ringan.”[16] Dari sini menunjukkan bahwa disunnahkan sebelum shalat malam, dibuka dengan 2 raka’at ringan terlebih dahulu.

-Bersambung insya Allah-

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://www.muslim.or.id

[1] Lihat Al Jaami’ Li Ahkamish Sholah, 3/63 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9630.
[2] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9630.

[3] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9631.

[4] Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/39.

[5] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/39.

[6] Lihat Fathul Bari, 4/251.

[7] Idem.

[8] HR. An Nasai no. 1605, Tirmidzi no. 806, Ibnu Majah no. 1327, Ahmad dan Tirmidzi. Tirmidzi menshahihkan hadits ini. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ no. 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[9] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9633.

[10] HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738.

[11] HR. Bukhari no. 924 dan Muslim no. 761.

[12] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9635

[13] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9635

[14] Fathul Bari, 4/254.

[15] Fathul Bari, 3/21.

[16] HR. Muslim no. 767.

, ,

Leave a comment

Shalat Tarawih (3): Aturan Shalat Tarawih

Shalat Tarawih (3): Aturan Shalat Tarawih

Kategori Ramadhan | 07-08-2010

Salam Setiap Dua Raka’at

Para pakar fiqih berpendapat bahwa shalat tarawih dilakukan dengan salam setiap dua raka’at. Karena tarawih termasuk shalat malam. Sedangkan shalat malam dilakukan dengan dua raka’at salam dan dua raka’at salam. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى

“Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at.”[1] [2]

Istrihat Tiap Selesai Empat Raka’at

Para ulama sepakat tentang disyariatkannya istirahat setiap melaksanakan shalat tarawih empat raka’at. Inilah yang sudah turun temurun dilakukan oleh para salaf. Namun tidak mengapa kalau tidak istirahat ketika itu. Dan juga tidak disyariatkan untuk membaca do’a tertentu ketika melakukan istirahat. Inilah pendapat yang benar dalam madzhab Hambali.[3]

Dasar dari hal ini adalah perkataan ‘Aisyah yang menjelaskan tata cara shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat 4 raka’at, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya. Kemudian beliau melaksanakan shalat 4 raka’at lagi, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya.”[4] Yang dimaksud dalam hadits ini adalah shalatnya dua raka’at salam, dua raka’at salam, namun setiap empat raka’at ada duduk istrirahat.

Sebagai catatan penting, tidaklah disyariatkan membaca dzikir-dzikir tertentu atau do’a tertentu ketika istirahat setiap melakukan empat raka’at shalat tarawih, sebagaimana hal ini dilakukan sebagian muslimin di tengah-tengah kita yang mungkin saja belum mengetahui bahwa hal ini tidak ada tuntunannya dalam ajaran Islam.[5]

Ulama-ulama Hambali mengatakan, “Tidak mengapa jika istirahat setiap melaksanakan empat raka’at shalat tarawih ditinggalkan. Dan tidak dianjurkan membaca do’a-do’a tertentu ketika waktu istirahat tersebut karena tidak adanya dalil yang menunjukkan hal ini.”[6]

“Ash Sholaatul Jaami’ah” untuk Menyeru Jama’ah dalam Shalat Tarawih?

Tidak ada tuntunan untuk memanggil jama’ah dengan ucapan Ash Sholaatul Jaami’ah. Ini termasuk perkara yang diada-adakan (baca: bid’ah). Juga dalam shalat tarawih tidak ada seruan adzan ataupun iqomah untuk memanggil jama’ah karena adzan dan iqomah hanya ada pada shalat fardhu.[7]

Surat yang Dibaca Ketika Shalat Tarawih

Tidak ada riwayat mengenai bacaan surat tertentu dalam shalat tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, surat yang dibaca boleh berbeda-beda sesuai dengan keadaan. Imam dianjurkan membaca bacaan surat yang tidak sampai membuat jama’ah bubar meninggalkan shalat. Seandainya jama’ah senang dengan bacaan surat yang panjang-panjang, maka itu lebih baik berdasarkan riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan.

Ada anjuran dari sebagian ulama semacam ulama Hanafiyah dan Hambali untuk mengkhatamkan Al Qur’an di bulan Ramadhan dengan tujuan agar manusia dapat mendengar seluruh Al Qur’an ketika melaksanakan shalat tarawih.[8]

Mengerjakan Shalat Tarawih Bersama Imam Hingga Imam Selesai Shalat

Sudah selayaknya bagi makmum untuk menyelesaikan shalat malam hingga imam selesai. Dan kuranglah tepat jika jama’ah bubar sebelum imam selesai. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً

“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.”[9] Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut menyelesaikan bersama imam. Itulah yang lebih tepat.

Shalat Tarawih bagi Wanita

Jika menimbulkan godaan ketika keluar rumah (ketika melaksanakan shalat tarawih), maka shalat di rumah lebih utama bagi wanita daripada di masjid. Hal ini berdasarkan hadits dari Ummu Humaid, istri Abu Humaid As Saa’idiy. Ummu Humaid pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata bahwa dia sangat senang sekali bila dapat shalat bersama beliau. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاَةَ … وَصَلاَتُكِ فِى دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاَتُكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِى

”Aku telah mengetahui bahwa engkau senang sekali jika dapat shalat bersamaku. … (Namun ketahuilah bahwa) shalatmu di rumahmu lebih baik dari shalatmu di masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.”[10]

Namun jika wanita tersebut merasa tidak sempurna mengerjakan shalat tarawih tersebut di rumah atau malah malas-malasan, juga jika dia pergi ke masjid akan mendapat faedah lain bukan hanya shalat (seperti dapat mendengarkan nasehat-nasehat agama atau pelajaran dari orang yang berilmu atau dapat pula bertemu dengan wanita-wanita muslimah yang sholihah atau di masjid para wanita yang saling bersua bisa saling mengingatkan untuk banyak mendekatkan diri pada Allah, atau dapat menyimak Al Qur’an dari seorang qori’ yang bagus bacaannya), maka dalam kondisi seperti ini, wanita boleh saja keluar rumah menuju masjid. Hal ini diperbolehkan bagi wanita asalkan dia tetap menutup aurat dengan menggunakan hijab yang sempurna, keluar tanpa memakai harum-haruman (parfum)[11], dan keluarnya pun dengan izin suami. Apabila wanita berkeinginan menunaikan shalat jama’ah di masjid (setelah memperhatikan syarat-syarat tadi), hendaklah suami tidak melarangnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

“Janganlah kalian melarang istri-istri kalian untuk ke masjid, namun shalat di rumah mereka (para wanita) tentu lebih baik.”[12]

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ إِلَى الْمَسَاجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ

“Jika istri kalian meminta izin pada kalian untuk ke masjid, maka izinkanlah mereka.”[13] Inilah penjelasan Syaikh Musthofa Al Adawi hafizhohullah yang penulis sarikan.[14]

Dari penjelasan para ulama di atas dapat kita simpulkan bahwa shalat tarawih untuk wanita lebih baik adalah di rumahnya apalagi jika dapat menimbulkan fitnah atau godaan. Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih mengatakan bahwa shalat bagi wanita di rumahnya lebih baik daripada di masjidnya yaitu Masjid Nabawi. Padahal kita telah mengetahui bahwa pahala yang diperoleh akan berlipat-lipat apabila seseorang melaksanakan shalat di masjid beliau yaitu Masjid Nabawi.

Namun apabila pergi ke masjid tidak menimbulkan fitnah (godaan) dan sudah berhijab dengan sempurna, juga di masjid bisa dapat faedah lain selain shalat seperti dapat mendengar nasehat-nasehat dari orang yang berilmu, maka shalat tarawih di masjid diperbolehkan dengan memperhatikan syarat-syarat ketika keluar rumah. Di antara syarat-syarat tersebut adalah: (1) menggunakan hijab dengan sempurna ketika keluar rumah sebagaimana perintah Allah agar wanita memakai jilbab dan menutupi seluruh tubuhnya selain wajah dan telapak tangan, (2) minta izin kepada suami atau mahrom terlebih dahulu dan hendaklah suami atau mahrom tidak melarangnya, dan (3) tidak menggunakan harum-haruman dan perhiasan yang dapat menimbulkan godaan.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://www.muslim.or.id

, ,

Leave a comment

Shalat Tarawih (2): 11 atau 23 Raka’at?

Shalat Tarawih (2): 11 atau 23 Raka’at?

Kategori Ramadhan | 06-08-2010

Bolehkah Menambah Raka’at Shalat Tarawih Lebih dari 11 Raka’at?

Mayoritas ulama terdahulu dan ulama belakangan, mengatakan bahwa boleh menambah raka’at dari yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.”[1]

Yang membenarkan pendapat ini adalah dalil-dalil berikut.

Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai shalat malam, beliau menjawab,

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى

“Shalat malam itu dua raka’at-dua raka’at. Jika salah seorang di antara kalian takut masuk waktu shubuh, maka kerjakanlah satu raka’at. Dengan itu berarti kalian menutup shalat tadi dengan witir.”[2] Padahal ini dalam konteks pertanyaan. Seandainya shalat malam itu ada batasannya, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya.

Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ

“Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).”[3]

Ketiga, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً

“Sesungguhnya engkau tidaklah melakukan sekali sujud kepada Allah melainkan Allah akan meninggikan satu derajat bagimu dan menghapus satu kesalahanmu.”[4] Dalil-dalil ini dengan sangat jelas menunjukkan bahwa kita dibolehkan memperbanyak sujud (artinya: memperbanyak raka’at shalat) dan sama sekali tidak diberi batasan.

Keempat, pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memilih shalat tarawih dengan 11 atau 13 raka’at ini bukanlah pengkhususan dari tiga dalil di atas.

Alasan pertama, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengkhususkan ucapan beliau sendiri, sebagaimana kaedah yang diterapkan dalam ilmu ushul.

Alasan kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang menambah lebih dari 11 raka’at. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at, akan tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. … Barangsiapa yang mengira bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki bilangan raka’at tertentu yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh ditambahi atau dikurangi dari jumlah raka’at yang beliau lakukan, sungguh dia telah keliru.”[5]

Alasan ketiga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan shalat malam dengan 11 raka’at. Seandainya hal ini diperintahkan tentu saja beliau akan memerintahkan sahabat untuk melaksanakan shalat 11 raka’at, namun tidak ada satu orang pun yang mengatakan demikian. Oleh karena itu, tidaklah tepat mengkhususkan dalil yang bersifat umum yang telah disebutkan di atas. Dalam ushul telah diketahui bahwa dalil yang bersifat umum tidaklah dikhususkan dengan dalil yang bersifat khusus kecuali jika ada dalil yang bertentangan.

Kelima, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat malam dengan bacaan yang panjang dalam setiap raka’at. Di zaman setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang begitu berat jika melakukan satu raka’at begitu lama. Akhirnya, ‘Umar memiliki inisiatif agar shalat tarawih dikerjakan dua puluh raka’at agar bisa lebih lama menghidupkan malam Ramadhan, namun dengan bacaan yang ringan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.”[6]

Keenam, manakah yang lebih utama melakukan shalat malam 11 raka’at dalam waktu 1 jam ataukah shalat malam 23 raka’at yang dilakukan dalam waktu dua jam atau tiga jam?

Yang satu mendekati perbuatan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam dari segi jumlah raka’at. Namun yang satu mendekati ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari segi lamanya. Manakah di antara kedua cara ini yang lebih baik?

Jawabannya, tentu yang kedua yaitu yang shalatnya lebih lama dengan raka’at yang lebih banyak. Alasannya, karena pujian Allah terhadap orang yang waktu malamnya digunakan untuk shalat malam dan sedikit tidurnya. Allah Ta’ala berfirman,

كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ

“Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.” (QS. Adz Dzariyat: 17)

وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا

“Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang dimalam hari.” (QS. Al Insan: 26)

Oleh karena itu, para ulama ada yang melakukan shalat malam hanya dengan 11 raka’at namun dengan raka’at yang panjang. Ada pula yang melakukannya dengan 20 raka’at atau 36 raka’at. Ada pula yang kurang atau lebih dari itu. Mereka di sini bukan bermaksud menyelisihi ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun yang mereka inginkan adalah mengikuti maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu dengan mengerjakan shalat malam dengan thulul qunut (berdiri yang lama).

Sampai-sampai sebagian ulama memiliki perkataan yang bagus, “Barangsiapa yang ingin memperlama berdiri dan membaca surat dalam shalat malam, maka ia boleh mengerjakannya dengan raka’at yang sedikit. Namun jika ia ingin tidak terlalu berdiri dan membaca surat, hendaklah ia menambah raka’atnya.”

Mengapa ulama ini bisa mengatakan demikian? Karena yang jadi patokan adalah lama berdiri di hadapan Allah ketika shalat malam.[7]

Berbagai Pendapat Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih

Jadi, shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat.

Pendapat pertama, yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena inilah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pendapat Syaikh Al Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawaih.

Pendapat kedua, shalat tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk witir). Inilah pendapat mayoritas ulama semacam Ats Tsauri, Al Mubarok, Asy Syafi’i, Ash-haabur Ro’yi, juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan sahabat lainnya. Bahkan pendapat ini adalah kesepakatan (ijma’) para sahabat.

Al Kasaani mengatakan, “’Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”

Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.”

Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”

‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus dilakukan hingga sekarang ini di berbagai negeri.”

Al Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah banyak.”[8]

Pendapat ketiga, shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk witir. Inilah pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil dari riwayat Daud bin Qois, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih.

Pendapat keempat, shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk witir. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat malam sebanyak 40 raka’at dan beliau witir 7 raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan jumlah raka’at yang tak terhitung sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah, anaknya[9].[10]

Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.

Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.

Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.”[11]

Dari penjelasan di atas kami katakan, hendaknya setiap muslim bersikap arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan ini. Sungguh tidak tepatlah kelakuan sebagian saudara kami yang berpisah dari jama’ah shalat tarawih setelah melaksanakan shalat 8 atau 10 raka’at karena mungkin dia tidak mau mengikuti imam yang melaksanakan shalat 23 raka’at atau dia sendiri ingin melaksanakan shalat 23 raka’at di rumah.

Yang Paling Bagus adalah Yang Panjang Bacaannya

Setelah penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun berdirinya agak lama. Dan boleh juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas ulama.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ

“Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.”[12]

Dari Abu Hurairah, beliau berkata,

عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.”[13] Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan hadits di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar khusu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan sujud.[14]

Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan. Karena ingatlah bahwa thuma’ninah (bersikap tenang) adalah bagian dari rukun shalat.

-Bersambung insya Allah-

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://www.muslim.or.id

[1] At Tamhid, 21/70.
[2] HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749, dari Ibnu ‘Umar.

[3] HR. Muslim no. 489

[4] HR. Muslim no. 488

[5] Majmu’ Al Fatawa, 22/272.

[6] Majmu’ Al Fatawa, 22/272

[7] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/414-416 dan At Tarsyid, hal. 146-149.

[8] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9636

[9] Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 3/267

[10] Lihat perselisihan pendapat ini di Shahih Fiqh Sunnah, 1/418-419.

[11] Majmu’ Al Fatawa, 22/272

[12] HR. Muslim no. 756

[13] HR. Bukhari no. 1220 dan Muslim no. 545.

[14] Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3.

, ,

Leave a comment

Menentukan Awal Ramadhan Dengan Hilal dan Hisab

Menentukan Awal Ramadhan Dengan Hilal dan Hisab

Kategori Ramadhan | 21-07-2010

Menentukan awal ramadhan dilakukan dengan salah satu dari dua cara berikut:

1. Melihat hilal ramadhan.
2. Menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.

Melihat Hilal Ramadhan

Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ

”Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”[1]

Menurut mayoritas ulama, jika seorang yang ‘adl (sholih) dan terpercaya melihat hilal Ramadhan, beritanya diterima. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

“Orang-orang berusaha untuk melihat hilal, kemudian aku beritahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar berpuasa.”[2]

Sedangkan untuk hilal syawal mesti dengan dua orang saksi. Inilah pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا

“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”[3] Dalam hadits ini dipersyaratkan dua orang saksi ketika melihat hilal Ramadhan dan Syawal. Namun untuk hilal Ramadhan cukup dengan satu saksi karena hadits ini dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat.[4]

Menentukan Awal Ramadhan dengan Ru’yah Bukan dengan Hisab

Perlu diketahui bersama bahwasanya mengenal hilal adalah bukan dengan cara hisab. Namun yang lebih tepat dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengenal hilal adalah dengan ru’yah (yaitu melihat bulan langsung dengan mata telanjang). Karena Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi contoh dalam kita beragama telah bersabda,

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا

”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis)[5] dan tidak pula mengenal hisab[6]. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).”[7]

Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah menerangkan,

“Tidaklah mereka –yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu. Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang setelah generasi terbaik membuat hal baru (baca: bid’ah) dalam masalah ini. Jika kita melihat konteks yang dibicarakan dalam hadits, akan nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab. Bahkan hal ini semakin terang dengan penjelasan dalam hadits,

فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ

“Jika mendung (sehingga kalian tidak bisa melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Tanyakanlah pada ahli hisab”. Hikmah kenapa mesti menggenapkan 30 hari adalah supaya tidak ada peselisihihan di tengah-tengah mereka.

Sebagian kelompok memang ada yang sering merujuk pada ahli astronom dalam berpatokan pada ilmu hisab yaitu kaum Rofidhoh. Sebagian ahli fiqh pun ada yang satu pendapat dengan mereka. Namun Al Baaji mengatakan, “Cukup kesepakatan (ijma’) ulama salaf (yang berpedoman dengan ru’yah, bukan hisab, -pen) sebagai sanggahan untuk meruntuhkan pendapat mereka.” Ibnu Bazizah pun mengatakan, “Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil. Sunguh syariat Islam elah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini kecuali sedikit”.[8]

Apabila pada Malam Ketigapuluh Sya’ban Tidak Terlihat Hilal

Apabila pada malam ketigapuluh Sya’ban belum juga terlihat hilal karena terhalangi oleh awan atau mendung maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari.

Salah seorang ulama Syafi’i, Al Mawardi rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berpuasa ketika diketahui telah masuk awal bulan. Untuk mengetahuinya adalah dengan salah satu dari dua perkara. Boleh jadi dengan ru’yah hilal untuk menunjukkan masuknya awal Ramadhan. Atau boleh jadi pula dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Karena Allah Ta’ala menetapkan bulan tidak pernah lebih dari 30 hari dan tidak pernah kurang dari 29 hari. Jika terjadi keragu-raguan pada hari keduapuluh sembilan, maka berpeganglah dengan yang yakin yaitu hari ketigapuluh dan buang jauh-jauh keraguan yang ada.”[9]

Puasa dan Hari Raya Bersama Pemimpin dan Mayoritas Manusia

Jika salah seorang atau satu organisasi melihat hilal Ramadhan atau Syawal, lalu persaksiannya ditolak oleh penguasa apakah yang melihat tersebut mesti puasa atau mesti berbuka? Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di antara para ulama.

Salah satu pendapat menyatakan bahwa ia mesti puasa jika ia melihat hilal Ramadhan dan ia mesti berbuka jika ia melihat hilal Syawal. Namun keduanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi[10] agar tidak menyelisi mayoritas masyarakat di negeri tersebut. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)

Pendapat lainnya menyatakan bahwa hendaklah orang yang melihat hilal sendiri hendaklah berpuasa berdasarkan hilal yang ia lihat. Namun hendaklah ia berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.

Sedangkan pendapat yang terakhir menyatakan bahwa orang tersebut tidak boleh mengamalkan hasil ru’yah, ia harus berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya.Dalil dari pendapat terakhir ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.”[11] Ketika menyebutkan hadits tersebut, Abu Isa At Tirmidzi rahimahullah menyatakan, ”Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, “Puasa dan hari raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah (yaitu pemerintah kaum muslimin) dan mayoritas manusia (masyarakat)”. ”

Pendapat terakhir ini menjadi pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga merupakan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.[12] Pendapat inilah pendapat yang kami nilai lebih kuat. Penjelasannya sebagai berikut.

Perlu diketahui bahwa hilal bukanlah sekedar fenomena alam yang terlihat di langit. Namun hilal adalah sesuatu yang telah masyhur di tengah-tengah manusia, artinya semua orang mengetahuinya.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Hilal asalnya bermakna kata zuhur (artinya: nampak) dan rof’ush shout (meninggikan suara). [Artinya yang namanya hilal adalah sesuatu yang tersebar dan diketahui oleh orang banyak, -pen]. Jika hilal hanyalah nampak di langit saja dan tidak nampak di muka bumi (artinya, diketahui orang banyak, -pen), maka semacam itu tidak dikenai hukum sama sekali baik secara lahir maupun batin. Akar kata dari hilal sendiri adalah dari perbuatan manusia. Tidak disebut hilal kecuali jika ditampakkan. Sehingga jika hanya satu atau dua orang saja yang mengetahuinya lantas mereka tidak mengabarkan pada yang lainnya, maka tidak disebut hilal. Karenanya, tidak ada hukum ketika itu sampai orang yang melihat hilal tersebut memberitahukan pada orang banyak. Berita keduanya yang menyebar luas yang nantinya disebut hilal karena hilal berarti mengeraskan suara dengan menyebarkan berita kepada orang banyak.”[13]

Beliau rahimahullah mengatakan pula, “Allah menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia dan sebagai tanda waktu berhaji. Ini tentu saja jika hilal tersebut benar-benar nampak bagi kebanyakan manusia dan masuknya bulan begitu jelas. Jika tidak demikian, maka bukanlah disebut hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Dasar dari permasalahan ini, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengaitkan hukum syar’i -semacam puasa, Idul Fithri dan Idul Adha- dengan istilah hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Allah Ta’ala berfirman,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS. Al Baqarah: 189)[14]

Ibnu Taimiyah kembali menjelaskan, “Syarat dikatakan hilal dan syahr (masuknya awal bulan) apabila benar-benar diketahui oleh kebanyakan orang dan nampak bagi mereka. Misalnya saja ada 10 orang yang melihat hilal namun persaksiannya tertolak. Lalu hilal ini tidak nampak bagi kebanyakan orang di negeri tersebut karena mereka tidak memperhatikannya, maka 10 orang tadi sama dengan kaum muslimin lainnya. Sebagaimana 10 orang tadi tidak melakukan wukuf, tidak melakukan penyembelihan (Idul Adha), dan tidak shalat ‘ied kecuali bersama kaum muslimin lainnya, maka begitu pula dengan puasa, mereka pun seharusnya bersama kaum muslimin lainnya. Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha”

Imam Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- berkata,

يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ

“Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin lainnya (di negeri kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.”

Imam Ahmad juga mengatakan,

يَدُ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ

“Allah akan senantiasa bersama para jama’ah kaum muslimin”.[15]

Jika Satu Negeri Melihat Hilal, Apakah Berlaku Bagi Negeri Lainnya?

Misalnya ketika di Saudi sudah melihat hilal, apakah mesti di Indonesia juga berlaku hilal yang sama? Ataukah masing-masing negeri berlaku hilal sendiri-sendiri?

Berikut kami nukilkan keterangan dari para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia).

Pertanyaan: “Bagaimana menurut Islam mengenai perbedaan kaum muslimin dalam berhari raya Idul Fithri dan Idul Adha? Mengingat jika salah dalam menentukan hal ini, kita akan berpuasa pada hari yang terlarang (yaitu hari ‘ied) atau akan berhari raya pada hari yang sebenarnya wajib untuk berpuasa. Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai masalah yang krusial ini sehingga bisa jadi hujah (argumen) bagi kami di hadapan Allah. Apabila dalam penentuan hari raya atau puasa ini terdapat perselisihan, ini bisa terjadi ada perbedaan dua sampai tiga hari. Jika agama Islam ini ingin menyelesaikan perselisihan ini, apa jalan keluar yang tepat untuk menyatukan hari raya kaum muslimin?

Jawab: Para ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di setiap tempat itu bisa berbeda-beda dan hal ini terbukti secara inderawi dan logika. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat mengenai teranggapnya atau tidak hilal di tempat lain dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Dalam masalah ini ada dua pendapat. Pendapat pertama adalah yang menyatakan teranggapnya hilal di tempat lain dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan walaupun berbeda matholi’ (wilayah terbitnya hilal). Pendapat kedua adalah yang menyatakan tidak teranggapnya hilal di tempat lain. Masing-masing dari dua kubu ini memiliki dalil dari Al Kitab, As Sunnah dan qiyas. Terkadang dalil yang digunakan oleh kedua kubu adalah dalil yang sama. Sebagaimana mereka sama-sama berdalil dengan firman Allah,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)

Begitu juga firman Allah,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ

“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (QS. Al Baqarah: 189)

Mereka juga sama-sama berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Perbedaan pendapat menjadi dua kubu semacam ini sebenarnya terjadi karena adanya perbedaan dalam memahami dalil. Kesimpulannya bahwa dalam masalah ini masih ada ruang untuk berijtihad. Oleh karena itu, para pakar fikih terus berselisih pendapat dalam masalah ini dari dahulu hingga saat ini.

Tidak mengapa jika penduduk suatu negeri yang tidak melihat hilal pada malam ke-30, mereka mengambil ru’yah negeri yang berbeda matholi’ (beda wilayah terbitnya hilal). Namun, jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya. Namun, jika penguasa di negeri tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat majelis ulama di negeri tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka menyatukan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan dan melaksanakan shalat ‘ied.

Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.[16]

Semoga sajian kali ini bermanfaat.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://www.muslim.or.id

, ,

Leave a comment

Menyoal Metode Hisab

Menyoal Metode Hisab

Kategori Fiqh dan Muamalah, Ramadhan | 31-07-2011 | 13 Komentar

Oleh: Syaikh Abdul Aziz Ar Rays

بسم الله الرحمن الرحيم

Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh, Amma Ba’du,

Ketahuilah bahwa sesungguhnya Agama Islam itu telah ditetapkan oleh Allah yang memiliki sifat Al Hakim dan Al Alim. Sebagaimana firman-Nya:

وَإِنَّكَ لَتُلَقَّى الْقُرْآنَ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ عَلِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al Qur’an dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui” (QS. An Naml: 6)

Dan juga firman-Nya:

وَهُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ

“Dan Dialah Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui” (QS. Az Zukhruf: 84)

Allah Ta’ala juga berfirman:

أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ

“Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?” (QS. At Tiin: 8)

yang sulit menurut kita untuk dikerjakan, tetap harus dikerjakan. Yang mudah pun demikian. Karena kita ini hanyalah hamba, dan seorang hamba sepatutnya mengikuti keinginan sayyid-nya, dalam hal ini adalah Allah Subhanahu Wata’ala. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dari Abdullah bin Syukhair Radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

السيد الله تبارك تعالى

“As Sayyid adalah Allah Tabaaraka Wa Ta’ala”

Dua Metode Yang Ditetapkan Syari’at

Sehubungan dengan hal tersebut, syariat telah menetapkan bahwa untuk menentukan masuknya bulan Ramadhan itu dengan 2 cara:

Ru’yatul hilal (melihat hilal dengan mata). Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Barangsiapa di antara kamu melihat bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”

Juga hadits yang terdapat dalam Shahihain, dari Ibnu Umar Radhiallahu’anhu , Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته

“Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya”

Jika hilal tidak nampak, bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Sebagaimana hadits dalam Shahih Bukhari, dari Abu Hurairah ia berkata, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوماً

“(Jika hilal tidak tampak), genapkanlah bulan sya’ban menjadi 30 hari”

Para Ulama Telah Ber-Ijma

Para ulama telah ber-ijma‘ bahwa dua metode ini lah yang dipakai, dan mereka tidak pernah memperselisihkan lagi. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab beliau, Fathul Baari (4/123), mengatakan:

وقال ابن الصباغ أما بالحساب فلا يلزمه بلا خلاف بين أصحابنا قلت ونقل بن المنذر قبله الإجماع على ذلك فقال في الأشراف صوم يوم الثلاثين من شعبان إذا لم ير الهلال مع الصحو لا يجب بإجماع الأمة

“Ibnu As Sabbagh berkata: ‘Adapun metode hisab, tidak ada ulama mazhab kami (Maliki) yang membolehkannya tanpa adanya perselisihan‘. Sebelum beliau, juga telah dinukil dari Ibnul Mundzir dalam Al Asyraf: ‘Puasa di hari ketiga puluh bulan Sya’ban tidaklah wajib jika hilal belum terlihat ketika cuaca cerah, menurut ijma para ulama‘”

Lalu orang-orang membuat metode baru dalam masalah ini, yang tidak diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu menjadikan hisab falaki (perhitungan astronomis) sebagai acuan untuk menentukan awal bulan Ramadhan. Penggunaan metode ini dalam hal menentukan 1 Ramadhan adalah metode yang baru yang bid’ah dan haram hukumnya, disebabkan beberapa hal di bawah ini:

Pertama, metode ini bertentangan dengan banyak nash yang membahas tentang cara menentukan masuknya Ramadhan, yaitu dengan salah satu dari dua cara di atas

Kedua, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, para sahabat beliau dan para tabi’in, tidak pernah menggunakan metode ini padahal ilmu hisab falaki sudah ada di masa mereka. Kaidah mengatakan, setiap sarana yang mampu dimanfaatkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam namun mereka tidak memanfaatkannya, maka hukum memanfaatkan sarana tersebut di zaman ini adalah bid’ah. Sebagaimana sudah dijelaskan oleh Syaikhul Islam di kitabnya, Iqtidha Shiratil Mustaqim.

Ketiga, para ulama telah ber-ijma‘ untuk tidak menggunakan metode hisab falaki dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Sebagaimana yang dikatakan Ibnul Mundzir dan Ibnu As Sabbagh yang disebut oleh Ibnu Hajar di atas, juga Ibnu ‘Abdil Barr, Abul Walid Al Baaji dan Ibnu Taimiyah.

Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (14/325) menuturkan:

ولم يتعلق أحد من فقهاء المسلمين – فيما علمت – باعتبار المنازل في ذلك ، وإنما هو شيء روي عن مطرف بن الشخير وليس بصحيح عنه – والله أعلم – ولو صح ما وجب اتباعه لشذوذه ولمخالفة الحجة له ، وقد تأول بعض فقهاء البصرة في معنى قوله في الحديث فاقدروا له – نحو ذلك . والقول فيه واحد ، وقال ابن قتيبة في قوله: فاقدروا له . أي فقدروا السير والمنازل وهو قول قد ذكرنا شذوذه ومخالفة أهل العلم له ، وليس هذا من شأن ابن قتيبة ، ولا هو ممن يعرج عليه في هذا الباب

“Tidak ada satupun ahli fiqih, sepengetahuan saya, yang mengaitkan masuknya Ramadhan dengan posisi bulan. Memang hal ini (metode hisab) berasal dari hadits yang diriwayatkan dari Mathraf bin Asy Syukhair, namun tidak shahih, wallahu’alam. Andaikan hadits tersebut shahih, ia harus memiliki mutaba’ah karena syadz dan bertentangan dengan dalil yang lain. Sebagian ahli fiqih dari Bashrah ada yang memaknai lafadz hadits فاقدروا له (‘Perkirakanlah’), maksudnya adalah ‘perkirakanlah sekitar itu‘. Artinya, pendapat para ulama dalam hal ini hanya satu saja (tidak ada perselisihan). Adapun yang dikatakan oleh Ibnu Qutaibah bahwa makna فاقدروا له adalah ‘perkirakanlah orbit dan posisi bulan‘, ini adalah pendapat yang nyeleneh dan bertentangan dengan para ulama. Permasalahan ini bukanlah bidangnya Ibnu Qutaibah. Beliau bukanlah orang yang kompeten dalam masalah ini (fiqih)”.

Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (25/132) berkata:

فإنا نعلم بالاضطرار من دين الإسلام أن العمل في رؤية هلال الصوم أو الحج أو العدة أو الإبلاء أو غير ذلك من الأحكام المعلقة بالهلال بخبر الحاسب أنه يرى أو لا يرى لا يجوز . والنصوص المستفيضة عن النبي صلى الله عليه وسلم بذلك كثيرة . وقد أجمع المسلمون عليه . ولا يعرف فيه خلاف قديم أصلاً ولا خلاف حديث ؛ إلا أن بعض المتأخرين من المتفقهة الحادثين بعد المائة الثالثة زعم أنه إذا غم الهلال جاز للحاسب أن يعمل في حق نفسه بالحساب فإن كان الحساب دل على الرؤية صام وإلا فلا . وهذا القول وإن كان مقيداً بالإغمام ومختصاً بالحاسب فهو شاذ مسبوق بالإجماع على خلافه . فأما اتباع ذلك في الصحو أو تعليق عموم الحكم العام به فما قاله مسلم ا.هـ

“Kita semua, secara gamblang sudah mengetahui bersama bahwa dalam Islam, penentuan awal puasa, haji, iddah, batas bulan, atau hal lain yang berkaitan dengan hilal, jika digunakan metode hisab dalam kondisi hilal terlihat maupun tidak, hukumnya adalah haram. Banyak nash dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang mendasari hal ini. Para ulama pun telah bersepakat akan hal ini. Tidak ada perselisihan diantara para ulama terdahulu maupun di masa sesudahnya, kecuali sebagian ulama fiqih mutaakhirin setelah tahun 300H yang menganggap bolehnya menggunakan hisab jika hilal tidak nampak, untuk keperluan diri sendiri. Menurut mereka, jika sekiranya perhitungan hisab sesuai dengan ru’yah maka mereka puasa, jika tidak maka tidak. Pendapat ini, jika memang hanya digunakan ketika hilal tidak nampak dan hanya untuk diri sendiri, ini tetaplah merupakan pendapat nyeleneh yang tidak teranggap karena sudah adanya ijma’. Adapun menggunakan perhitungan hisab secara mutlak, padahal cuaca cerah, dan digunakan untuk masyarakat secara umum, tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat demikian”.

Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (4/127) berkata:

وقد ذهب قوم إلى الرجوع إلى أهل التسيير في ذلك وهم الروافض، ونقل عن بعض الفقهاء موافقتهم. قال الباجي: وإجماع السلف الصالح حجة عليهم ا.هـ

“Sebagian orang ada yang merujuk pada para ahlut tas-yir (penjelajah) dalam masalah ini, yaitu kaum syi’ah rafidhah. Sebagian ahli fiqih pun ada yang membeo kepada mereka. Al Baaji berkata: ‘Ijma salafus shalih sudah cukup sebagai bantahan bagi mereka’”.

Beberapa Syubhat

Ada beberapa syubhat yang cukup berpengaruh dalam hal ini, dan sepatutnya kita tidak tertipu olehnya karena syubhat semestinya dikembalikan kepada yang muhkam (jelas). Demikianlah metode para ahli ilmu yang dipuji oleh Allah, berbeda dengan orang yang memiliki penyakit hati di dalamnya, sebagaimana firman Allah:

فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal” (QS. Al Imran: 7)

Berkaitan dengan ayati ini, Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya, I’laamul Muwaqqi’in, memberikan 99 permisalan. Silakan membacanya karena sangat bermanfaat dalam hubungannya dengan pembahasan ini. Adapun syuhbat-syubhat tersebut ialah:

Syubhat pertama, metode hisab falaki itu lebih akurat daripada ru’yah. Sebab, terkadang hilal sudah muncul namun tidak terlihat atau kebetulan bertepatan dengan munculnya sinar bintang yang dikira sebagai hilal.

Jawaban terhadap syubhat ini, yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala sebagai patokan adalah penglihatan kita terhadap hilal, bukan posisi aktual (waqi’ al haal) dari hilal. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته

“Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya”

Mafhum mukhalafah dari hadits ini, jika kita tidak melihat hilal maka tidak puasa, itulah yang diperintahkan. Adapun orang yang menggunakan hisab falaki, mereka mempersulit diri dengan sesuatu yang tidak diinginkan oleh Allah dan tidak diisyaratkan oleh Allah sedikit pun. Padahal Allah Maha Tahu apa yang akan terjadi di masa depan, andaikan Allah Ta’ala menginginkan hisab falaki digunakan dalam hal ini, tentu Allah akan mengisyaratkan dalam dalil. Namun nyatanya dalil-dalil yang ada tidak ada yang mengisyaratkan demikian.

Taruhlah, andaikan sinar bintang muncul bertepatan di tempat seharusnya hilal muncul, lalu orang-orang melihatnya dan mengira itu hilal. Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak membebani manusia kecuali sebatas apa yang dilihat dan menjadi dugaan kuat bahwa itu hilal. Para sahabat pun dahulu ketika melihat hilal dari tempat mereka, sangat mungkin yang mereka lihat terkadang meteor atau sinar bintang, namun Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tetap menjadikan penglihatan itu sebagai patokan. Inilah syariat Islam yang mudah dan gamblang, yang syariat ini pun telah menjelaskan bahwa jika hilal tidak terlihat maka bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari, selesai. Lalu mengapa menolak hukum Allah ini dengan aturan lain yaitu metode hisab falaki?

Syubhat kedua, hisab falaki dalam penentuan awal Ramadhan itu sama saja seperti hisab dalam penjadwalan waktu-waktu shalat. Kalau untuk tujuan itu dibolehkan, maka untuk penentuan awal Ramadhan pun seharusnya boleh.

Jawabannya, yang dibebankan oleh syariat kepada kita dalam penentuan waktu-waktu shalat adalah menyesuaikan dengan posisi aktual (waqi’ al haal), misalnya maghrib adalah ketika matahari sudah tenggelam, dst. Perhitungan hisab dalam hal ini memberi informasi posisi aktual (waqi’ al haal) bahwa pada jam sekian matahari dalam posisi sudah tenggelam, atau semacamnya. Berbeda dengan masalah menentukan awal bulan, yang dibebankan syari’at kepada kita adalah melihat hilalnya bukan mengetahui posisi aktual (waqi’ al haal) -nya. Ini sama sekali berbeda.

Syubhat ketiga, hisab falaki dapat membantu kita memperkirakan apakah hilal nantinya bisa dilihat ataukah tidak

Jawabannya, syari’at hanya memerintahkan kita untuk melihat hilal. Jika kita melihat hilal, maka kita puasa. Jika tidak maka tidak. Kita tidak diperintahkan lebih dari itu, sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya.

Waspada Terhadap Pendapat Nyeleneh

Telah kami jelaskan tentang tidak bolehnya menggunakan hisab falaki dalam menentukan awal Ramadhan, serta kami jelaskan pula bahwa pendapat yang menyatakan demikian adalah pendapat yang nyeleneh, bertentangan dengan ijma’ ulama. Dan salah satu ciri pendapat nyeleneh adalah bertentangan dengan ijma’ ulama. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui ciri-ciri pendapat nyeleneh serta memilih pendapat yang sesuai dengan kaidah syar’iyyah, agar terhindar dari budaya ikut-ikutan, salah kaprah, atau ganatik golongan.

Jika permasalahan agama tidak mengikuti kaidah syar’iyyah, manusia menjadi goncang. Terkadang membuat mereka berbuat bid’ah dan terkadang membuat mereka berlebih-lebihan dari syar’iat. Misalnya masalah yang kita bahas ini, menggunakan hisab falaki adalah nyeleneh dan bertentangan dengan ijma‘. Namun, sebagian orang mencoba membuat pendapat nyeleneh ini menjadi nampak biasa, yaitu membandingkannya dengan masalah pembolehan melempar jumrah sebelum matahari terbit pada tanggal 12 Dzulhijjah di Mina. Padahal pembolehan ini tidak bertentangan dengan ijma‘, sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf seperti Al Fakihi dari Abdullah bin Zubair Radhiallahu’anhuma. Demikian juga pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat.

Khilafiyah Seputar Ru’yah Hilal

Adapun kaitannya dengan hukum seputar ru’yah hilal, para ulama berselisih pendapat mengenai apakah ru’yah hilal penduduk suatu negeri juga berlaku bagi seluruh negeri yang lain ataukah hanya bagi negeri itu sendiri. Yang lebih kuat, wallahu’alam, ru’yah hilal setiap negeri berlaku bagi negeri itu sendiri saja, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Kuraib, ia berkata:

دمت الشام ، واستهل علي هلال رمضان ، وأنا بالشام ، فرأينا الهلال ليلة الجمعة ، ثم قدمت المدينة في آخر الشهر ، فسألني ابن عباس ثم ذكر الهلال فقال: متى رأيتم الهلال؟ قلت: رأيناه ليلة الجمعة. فقال: أنت رأيته ليلة الجمعة؟ قلت: نعم ، ورآه الناس وصاموا وصام معاوية . فقال: لكن رأيناه ليلة السبت ، فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه . فقلت: ألا تكتفي برؤية معاوية وصيامه؟ فقال: لا هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Saya datang ke Syam, lalu melihat hilal bulan Ramadhan ketika saya di sana. Kami melihat hilal itu pada malam Jum’at. Kemudian saya pergi ke Madinah pada akhir bulan. Ibnu ‘Abbas bertanya kepada saya tentang hilal: ‘Kapan engkau melihat hilal?’. Saya katakan: ‘Kami di Syam melihatnya pada malam Jum’at’. Ibnu Abbas berkata: ‘Engkau melihatnya malam Jum’at?’. Kujawab: ‘Ya, orang-orang melihatnya kemudian berpuasa, dan Mu’awiyah pun berpuasa’. Ia berkata lagi: Tapi orang-orang di sini melihatnya pada malam Sabtu. Kami tidak puasa hingga sya’ban genap 30 hari atau karena kami melihatnya’. Aku berkata kepadanya: ‘Mengapa engkau tidak mengikuti ru’yah Mu’awiyah dan berpuasa bersama mereka (penduduk Syam)?’. Ia menjawab: ‘Tidak, demikianlah yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam’”.

Dari atsar ini bisa kita lihat bahwa penduduk Syam berpuasa mengikuti pemerintah mereka sendiri, yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu’anhuma. Sedangkan penduduk Madinah berpuasa mengikuti pemerintah mereka, yaitu Ali bin Abi Thalin Radhiallahu’anhu. Ini juga merupakan pendapat Al Qasim bin Muhammad, Ikrimah, Ishaq bin Rahawaih dan yang lainnya.

Dengan demikian, setiap penduduk suatu negeri berpuasa mengikuti ru’yah masing-masing negerinya. Jika mereka tidak bisa melihat hilal, bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Adapun jika negara mereka menggunakan acuan metode hisab falaki, maka penetapan awal Ramadhan yang demikian tidak dianggap. Kaum muslimin di negara itu dianggap tidak melihat hilal sehingga hendaknya mereka menggenapkan sya’ban menjadi 30 hari. Sedangkan jika tinggal di negeri kafir, hendaknya mereka membentuk sebuah lembaga atau tim yang menjadi rujukan untuk melakukan ru’yah. Kemudian kaum muslimin di sana beracuan pada ketetapan dan hasil ru’yah dari tim atau lembaga ini, dengan syarat tim ini haruslah menggunakan ru’yah syar’iyyah. Jika tidak ada tim atau lembaga semacam ini, hendaknya mereka menggenapkan bulan sya’ban menjadi 30 hari.

Beberapa Fatwa Ulama

Berikut ini beberapa fatwa dari para ulama di masa ini seputar hal yang kita bicarakan:

Fatwa Lajnah Ad Da’imah Saudi Arabia (10/104) :

ولم يكلفنا معرفة بدء الشهر القمري بما لا يعرفه إلا النزر اليسير من الناس، وهو علم النجوم، أو علم الحساب الفلكي، وبهذا جاءت نصوص الكتاب والسنة بجعل رؤية الهلال ومشاهدته أمارة على بدء صوم المسلمين شهر رمضان، والإفطار منه برؤية هلال شوال، وكذلك الحال في ثبوت عيد الأضحى ويوم عرفات قال الله تعالى: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ }وقال تعالى :{ يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ }وقال النبي صلى الله عليه وسلم : « إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين » فجعل عليه الصلاة والسلام الصوم لثبوت رؤية هلال شهر رمضان، والإفطار منه لثبوت رؤية هلال شوال، ولم يربط ذلك بحساب النجوم وسير الكواكب، وعلى هذا جرى العمل زمن النبي صلى الله عليه وسلم وزمن الخلفاء الراشدين والأئمة الأربعة والقرون الثلاثة التي شهد لها النبي صلى الله عليه وسلم بالفضل والخير، فالرجوع في إثبات لشهور القمرية إلى علم النجوم في بدء العبادات والخروج منها دون الرؤية من البدع التي لا خير فيها، ولا مستند لها من الشريعة

“Dalam mengetahui awal bulan hijriah, kita tidak dibebani dengan sesuatu yang hanya dimiliki oleh sebagian kecil manusia saja, yaitu ilmu astronomi atau hisab falaki. Oleh karena itu, dalil-dalil Al Qur’an dan sunnah menetapkan ru’yah hilal sebagai pertanda datangnya awal bulan puasa, juga dalam penentuan hari lebaran, dengan melihat hilal Syawal. Hal ini juga berlaku dalam penentuan Idul Adha dan hari Arafah. Allah Ta’ala berfirman:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

‘Barangsiapa di antara kamu melihat bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu‘ (QS. Al Baqarah: 185)

Allah Ta’ala juga berfirman:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

‘Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji‘ (QS. Al Baqarah: 189)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين

‘Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya. Jika hilal tidak tampak, genapkanlah bulan sya’ban menjadi 30 hari‘

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam telah menetapkan ru’yah hilal sebagai pertanda datangnya awal bulan Ramadhan, dan menetepkan Idul Fitri dengan ru’yah hilal syawal. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam sama sekali tidak mengkaitkannya dengan perhitungan astronomis atau perjalanan bintang-bintang. Oleh karena itulah, yang diamalkan pada masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, masa khulafa ar rasyidin, pada masa imam empat mazhab juga pada masa salafus shalih adalah sebagaimana yang ditetapkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang tentu lebih utama dan lebih baik. Adapun, menjadikan ilmu astronomi sebagai acuan untuk menentukan awal dimulainya suatu ibadah dan berakhirnya, ini adalah bid’ah yang sama sekali tidak memiliki kebaikan, dan tidak memiliki sandaran hukum dalam syari’at”

Juga fatwa Lajnah Ad Daimah yang lain (3127):

لا يعتبر الحساب الفلكي أصلا يثبت به بدء صيام شهر رمضان ونهايته، بل المعتبر في ذلك رؤية الهلال، فإن لم يروا هلال رمضان ليلة ثلاثين من شعبان أكملوا شعبان ثلاثين يوما من تاريخ رؤيته أول الشهر، وكذا إذا لم يروا هلال شوال ليلة ثلاثين من رمضان أكملوا عدة رمضان ثلاثين يوما

“Hisab falaki jika digunakan sebagai acuan dalam penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan, yang demikian tidak teranggap. Yang dianggap adalah menggunakan ru’yah hilal, dan jika hilal tidak nampak pada malam ke 30, maka bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari dihitung dari tanggal 1 Sya’ban. Demikian juga jika hilal syawal tidak terlihat, maka bulan Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari”.

Syaikh Al Allamah ‘Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah, sebagaimana yang tercantum dalam Majmu’ Fatawa beliau (15/110), berkata:

ومن هذا يتبين أن المعول عليه في إثبات الصوم والفطر وسائر الشهور هو الرؤية، أو إكمال العدة، ولا عبرة شرعا بمجرد ولادة القمر في إثبات الشهر القمري بدءا وانتهاء بإجماع أهل العلم المعتد بهم ، ما لم تثبت رؤيته شرعا. وهذا بالنسبة لتوقيت العبادات، ومن خالف في ذلك من المعاصرين فمسبوق بإجماع من قبله وقوله مردود ؛ لأنه لا كلام لأحد مع سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، ولا مع إجماع السلف. أما حساب سير الشمس والقمر فلا يعتبر في هذا المقام ؛ لما ذكرنا آنفا ، ولما يأتي:
أ- أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بالصوم لرؤية الهلال والإفطار لها في قوله: « صوموا لرؤيته وأفطروارؤيته » وحصر ذلك فيها بقوله: « لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه »
وأمر المسلمين إذا كان غيم ليلة الثلاثين أن يكملوا العدة، ولم يأمر بالرجوع إلى علماء النجوم. ولو كان قولهم هو الأصل وحده، أو أصلا آخر مع الرؤية في إثبات الشهر لبين ذلك. فلما لم ينقل ذلك ، بل نقل ما يخالفه ، دل ذلك على أنه لا اعتبار شرعا لما سوى الرؤية، أو إكمال العدة ثلاثين في إثبات الشهر، وأن هذا شرع مستمر إلى يوم القيامة. قال الله تعالى : { وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا }
ودعوى أن الرؤية في الحديث يراد بها العلم، أو غلبة الظن بوجود الهلال، أو إمكان رؤيته لا التعبد بنفس الرؤية مردودة ؛ لأن الرؤية في الحديث متعدية إلى مفعول واحد ، فكانت بصرية لا علمية، ولأن الصحابة فهموا أنها رؤية بالعين، وهم أعلم باللغة ومقاصد الشريعة من غيرهم. وإن تعليق إثبات الشهر القمري بالرؤية يتفق مع مقاصد الشريعة السمحة ؛ لأن رؤية الهلال أمرها عام يتيسر لأكثر الناس من العامة والخاصة في الصحاري والبنيان ، بخلاف ما لو علق الحكم بالحساب فإنه يحصل به الحرج ويتنافى مع مقاصد الشريعة؛ لأن أغلب الأمة لا يعرف الحساب، ودعوى زوال وصف الأمية بعلم النجوم عن الأمة غير مسلمة

“Dari sini, jelaslah sudah bahwa yang menjadi acuan dalam penentuan awal bulan puasa dan lebaran, juga bulan-bulan lainnya adalah ru’yah. Sedangkan kemunculan bulan baru secara aktual tanpa menggunakan ru’yah syar’iyyah tidaklah teranggap, ini berdasarkan ijma‘ para ulama yang dijadikan pegangan ummat. Ini dalam hal penetapan waktu-waktu yang berkaitan dengan ibadah. Adapun sebagian orang dimasa ini yang engga memakai ru’yah, ijma‘ ulama menjadi jawaban bagi mereka. Karena tidak boleh ada yang mendebat sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan tidak boleh ada yang mendebat ijma‘ salaf. Perjalanan matahari atau bulan dalam hal ini tidak teranggap karena sebab yang kami sebutkan barusan, dan juga beberapa sebab lain yaitu:

Pertama, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kita berpuasa jika melihat hilal dan berlebaran jika melihat hilal, dalam sabda beliau

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته

‘Berpuasalah karena jika melihat hilal, dan berlebaran lah jika melihatnya‘

Lalu beliau menafsirkan sendiri perkataan beliau:

لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه

‘Jangan berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan berlebaran hingga kalian melihat hilal‘

Kedua, beliau Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kita, jika langit tertutup awan pada malam ke 30 sya’ban, maka bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Beliau tidak memerintahkan manusia untuk bertanya kepada para ahli astronomi. Andaikata, hasil perhitungan dari ahli astronomi itu sudah cukup untuk menetapkan bulan puasa dan lebaran, atau andaikan perhitungan ini dijadikan bahan pertimbangan lain selain ru’yah, tentu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentu akan menjelaskannya. Selama tidak ada riwayat yang menyatakan demikian, maka selain metode ru’yah dan penggenapan bulan tidaklah teranggap secara syar’i. Karena aturan agama yang sudah ada itu terus berlaku hingga hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

‘Dan Rabb-mu itu tidak pernah lupa‘ (QS. Maryam: 64)

Ketiga, anggapan bahwa yang dimaksud ru’yah hilal dalam hadits di atas maknanya adalah ‘mengetahui hilal’ atau sangkaan kuat mengenai kemunculan hilal, dan ru’yah (melihat) di sini bukanlah esensi yang diperintahkan, anggapan ini tertolak. Karena ru’yah dalam hadits ini adalah fi’il muta’addi yang mengacu pada satu maf’ul saja, yang menunjukkan makna ‘penglihatan’ bukan ‘pengilmuan’. Para sahabat Nabi sangat paham sekali bahwa yang disebut ru’yah itu menggunakan mata. Dan merekalah yang paling paham terhadap bahasa arab dan maqashid syar’iyyah dibanding orang yang lain. Justru perintah ru’yah hilal lebih pas dengan maqashid syar’iyyah bahwa Islam itu agama yang mudah. Karena ru’yah hilal itu diperintahkan kepada umat muslim secara umum, yang dapat dengan mudah dilakukan oleh orang-orang, baik yang di gurun maupun di gedung-gedung. Berbeda keadaanya jika hisab falaki yang menjadi acuan, akan menimbulkan kesulitan dan bertentangan dengan maqashid syar’iyyah. Karena umumnya manusia tidak paham ilmu astronomi. Lebih lagi klaim bahwa orang zaman sekarang sudah tidak awam lagi terhadap ilmu astronomi, klaim tersebut berasal dari orang-orang non-muslim”

Aku memohon kepada Allah agar melimpahkan nikmat-Nya dengan diizinkannya kami bertemu Ramadhan dan aku memohon agar kita semua dijadikan hamba yang dapat menegakkan shalat malam dan berpuasa karena iman dan mengaharap pahala.

Abdul Aziz Ar Rays
Pengasuh situs http://islamancient.com
28 / 8 / 1431هـ

Sumber: http://www.al-sunna.net/articles/file.php?id=5904

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel http://www.muslim.or.id

, ,

Leave a comment

Fiqih Ringkas I’tikaf (2)

Fiqih Ringkas I’tikaf (2)

Kategori Fiqh dan Muamalah, Ramadhan | 19-08-2011

Waktu Minimal Beri’tikaf

Waktu minimal seorang untuk ber-i’tikaf adalah setengah hari, dalam artian dia boleh ber-i’tikaf ketika siang hari, dari selepas shalat Subuh hingga matahari terbenam, atau dia boleh memulai ber-i’tikaf ketika malam, yaitu dari matahari terbenam hingga terbit fajar. Hal ini berdasarkan beberapa alasan sebagai berikut[1]:

Pertama, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan ‘Umar radhiallahu ‘anhu untuk menunaikan nadzarnya beri’tikaf selama semalam di Masjid Al-Haram[2].
Kedua, terdapat berbagai riwayat dari para sahabat radhiallahu ‘anhum dan para salaf yang menyatakan puasa sebagai syarat i’tikaf dan sebaliknya terdapat riwayat yang menyatakan puasa bukanlah syarat i’tikaf. Telah diketahui bahwa puasa tidak akan terealisasi ketika dilaksanakan kurang dari setengah hari.
Ketiga, Jika i’tikaf disyari’atkan dilaksanakan dalam waktu kurang dari setengah hari, maka tentu terdapat riwayat valid dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan hal tersebut dan beliau akan memerintahkan para sahabatnya serta hal itu tentu sangat ma’ruf di tengah-tengah mereka, karena mereka senantiasa hilir mudik ke masjid.
Keempat, para sahabat radhiallahu ‘anhum sering duduk di masjid untuk menunggu shalat, mendengarkan khutbah atau siraman ilmu dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kegiatan lainnya, namun tidak terdapat riwayat valid yang menyatakan ketika mereka melakukan kegiatan itu semua, mereka juga berniat untuk beri’tikaf di masjid.

Berdasarkan hal ini, seorang yang masuk masjid dan berniat untuk ber-i’tikaf selama dia berada di dalam masjid tersebut, meski hanya sesaat,-sebagaimana pendapat ulama madzhab Syafi’i dan Hambali-, maka perbuatan tersebut tidaklah disyari’atkan.

Di dalam al Fatawa al Kubra tercantum, “Abu al’Abbas (Ibnu Taimiyah) rahimahullah tidak mendukung pendapat yang menganjurkan agar seorang yang pergi ke masjid untuk shalat atau tujuan selainnya, berniat I’tikaf selama berada di dalam masjid.”[3]

Waktu Maksimal Beri’tikaf

Para ulama sepakat tidak ada batas waktu maksimal bagi seorang untuk ber-i’tikaf.[4] Ibnu Mulaqqin rahimahullahmengatakan, “Di dalam hadits ‘Aisyah yang redaksinya berikut, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga Allah mewafatkannya”[5] memiliki kandungan bahwa I’tikaf tidak dibenci jika dilakukan di setiap waktu dan ulama telah sepakat bahwa tidak ada batas waktu maksimal untuk beri’tikaf.”[6]

Mungkin ada pertanyaan, “ Bukankah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan ber-i’tikaf selama sepuluh hari?“

Hal ini dapat dijawab sebagai berikut:

“Tindakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan tidaklah menunjukkan pengkhususan waktu. Namun, hal tersebut dilakukan karena adanya sebab lain, yaitu dalam rangka mencari Lailat al-Qadr, karena malam tersebut terdapat pada malam-malam tersebut. Oleh karena itu, pada hadits Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu dinyatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari pada pertengahan Ramadhan kemudian diwahyukan kepada beliau bahwa malam tersebut terdapat pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sehingga beliau pun beri’tikaf pada waktu tersebut untuk mencarinya.”[7]

Pertanyaan: “Ketika beri’tikaf di bulan Ramadhan, kapankah seorang dianjurkan untuk memulai i’tikaf?”

Jawab:

Seorang dianjurkan untuk masuk ke dalam masjid ketika matahari terbenam pada malam ke-21 Ramadhan. Hal ini berdasarkan pendapat ulama ketika meneliti berbagai dalil terkait hal ini.

Dalilnya adalah hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada para sahabat,

إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ ». فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ

“Sesungguhnya saya beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dalam rangka mencari malam Lailat al-Qadr. Kemudian saya beri’tikaf di sepuluh hari pada pertengahan Ramadhan, dan saya didatangi oleh (Jibril) dan diberitahu bahwa malam tersebut terletak pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Oleh karena itu, siapa diantara kalian yang ingin beri’tikaf, silahkan beri’tikaf. Maka para sahabat pun beritikaf bersama beliau.”[8]

Dalam satu riwayat tercantum dengan lafadz,

مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِى فَلْيَعْتَكِفِ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ

“Barangsiapa yang (ingin) beri’tikaf, hendaknya beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.”[9]

Sepuluh hari pertama yang dimaksud dimulai pada malam ke-21 Ramadhan karena malam ke-21 Ramadhan termasuk malam ganjil yang turut dinyatakan sebagai malam turunnya Lailatul Qadr.[10] Oleh karena itu, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam –sebagaimana tersebut dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri di atas-, beri’tikaf semenjak pertengahan Ramadhan untuk mencari malam tersebut dan dilanjutkan pada sepuluh hari terakhir Ramadhan.

Pertanyaan: Bukankah disana terdapat hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang redaksinya

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ

Apabila rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin beri’tikaf, beliau melaksanakan shalat Subuh kemudian masuk ke tempat i’tikafnya.[11]
Sebagian ulama berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan bahwa I’tikaf dimulai ketika selesai Shalat Subuh pada hari ke-21?

Jawab:

Hal ini telah dijawab oleh dua ulama ternama, yaitu imam an Nawawi dan al ‘Allamah Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahumallah. Berikut jawaban mereka berdua,

An Nawawi rahimahullah menjawab hal tersebut dengan mengatakan sebenarnya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamtelah lebih dahulu beri’tikaf di masjid. Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha tersebut bukanlah menunjukkan nabi memulai I’tikaf pada saat itu, namun nabi sebenarnya telah beri’tikaf dan tinggal di masjid sebelum waktu Maghrib, tatkala beliau melaksanakan shalat Subuh (pada hari setelahnya) barulah beliau menyendiri di tempat I’tikaf yang khusus dibuatkan untuk beliau (mu’takaf).[12]

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,

“Seorang yang beri’tikaf mulai beri’tikaf ketika terbenamnya matahari pada malam ke-21 Ramadhan, karena pada saat itulah sepuluh hari terakhir yang dimaksud dalam hadits dimulai. Hal ini tidaklah bertentangan dengan hadits ‘Aisyah dan hadits Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu, meskipun redaksi kedua hadits tersebut memiliki perbedaan.

(Ketika terjadi hal seperti ini), maka (redaksi hadits) yang dijadikan pegangan adalah redaksi yang lebih dekat pada indikasi (kandungan) bahasa, yaitu hadits yang diriwayatkan Bukhari dari ‘Aisyah yang merupakan hadits pertama dalam bab “Al I’tikaf fi Syawwal” hal 382 juz 4 yang terdapat dalam kitab Fathul Baari. ‘Aisyah radhiallahu ‘anhamengatakan,

انَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ

“Rasulullah senantiasa beri’tikaf di bulan Ramadhan. Apabila beliau melaksanakan shalat Subuh, beliau masuk ke dalam tempat I’tikaf yang digunakan untuk beri’tikaf.”

Demikian pula hadits Abu Sa’id, hadits kedua pada bab “Taharri Lail al Qadr fi al Witr min Al ‘Usyr al Awakhir hal. 952″, dia mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُجَاوِرُ فِى رَمَضَانَ الْعَشْرَ الَّتِى فِى وَسَطِ الشَّهْرِ ، فَإِذَا كَانَ حِينَ يُمْسِى مِنْ عِشْرِينَ لَيْلَةً تَمْضِى ، وَيَسْتَقْبِلُ إِحْدَى وَعِشْرِينَ ، رَجَعَ إِلَى مَسْكَنِهِ وَرَجَعَ مَنْ كَانَ يُجَاوِرُ مَعَهُ . وَأَنَّهُ أَقَامَ فِى شَهْرٍ جَاوَرَ فِيهِ اللَّيْلَةَ الَّتِى كَانَ يَرْجِعُ فِيهَا ، فَخَطَبَ النَّاسَ ، فَأَمَرَهُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ ، ثُمَّ قَالَ « كُنْتُ أُجَاوِرُ هَذِهِ الْعَشْرَ ، ثُمَّ قَدْ بَدَا لِى أَنْ أُجَاوِرَ هَذِهِ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ ، فَمَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِى فَلْيَثْبُتْ فِى مُعْتَكَفِهِ ، وَقَدْ أُرِيتُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا فَابْتَغُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ وَابْتَغُوهَا فِى كُلِّ وِتْرٍ ، وَقَدْ رَأَيْتُنِى أَسْجُدُ فِى مَاءٍ وَطِينٍ » . فَاسْتَهَلَّتِ السَّمَاءُ فِى تِلْكَ اللَّيْلَةِ ، فَأَمْطَرَتْ ، فَوَكَفَ الْمَسْجِدُ فِى مُصَلَّى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – لَيْلَةَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ ، فَبَصُرَتْ عَيْنِى رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَنَظَرْتُ إِلَيْهِ انْصَرَفَ مِنَ الصُّبْحِ ، وَوَجْهُهُ مُمْتَلِئٌ طِينًا وَمَاءً

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah beri’tikaf di sepuluh hari pada pertengahan Ramadhan. Ketika berada pada waktu sore di hari ke-20, malam menjelang dan hari ke-21 akan segera tiba, beliau kembali ke rumah dan orang-orang yang beri’tikaf bersama beliau juga turut kembali.

Pada malam itu,-dimana beliau beri’tikaf dan kemudian kembali ke rumah-, beliau berkhutbah kepada manusia kemudian memerintahkan mereka dengan apa yang dikehendaki Allah, beliau kemudian berkata kepada mereka, “Semula, saya beri’tikaf pada sepuluh hari ini (yaitu pada pertengahan Ramadhan), kemudian diwahyukan kepadaku agar beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir (agar memperoleh Lailat al-Qadr). Barangsiapa yang ingin beri’tikaf bersamaku, maka hendaklah dia tetap tinggal di tempat i’tikafnya. Sesungguhnya malam tersebut telah diperlihatkan kepadaku, namun aku terlupa. Oleh karena itu, carilah malam tersebut pada sepuluh hari terakhir, di malam yang ganjil, dan sungguh (pada saat Lailatul Qadr tersebut) saya melihat diriku sujud di atas tanah dan air.”

Anas mengatakan, “Pada malam tersebut (yakni ketika beliau berkhutbah kepada para sahabat-pen), langit menurunkan hujan yang sangat lebat dan air hujan menembus atap masjid dan mengucur di tempat shalat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (saat itu) pada malam ke-21. Pandangan saya memperhatikan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saya melihat ketika beliau selesai menunaikan shalat Subuh, wajahnya dipenuhi tanah dan air.”

(Syaikh Utsaimin mengatakan), “Pada hadits ‘Aisyah tercantum redaksi berikut ” دخل مكانه الذي اعتكف فيه “. Redaksi ini berkonsekuensi bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah terlebih dahulu berada di masjid sebelum masuk ke dalam mu’takaf[13], karena perkataan ‘Aisyah “اعتكف” merupakan fi’il madhi (kata kerja lampau) dan hukum asalnya kata tersebut digunakan sesuai dengan hakikatnya.

Pada hadits Abu Sa’id tercantum redaksi:

فإذا كان حين يمسي من عشرين ليلة تمضي ويستقبل إحدى وعشرين

sore merupakan akhir siang dan merupakan waktu tiba bagi malam selanjutnya. Berdasarkan hal ini, khutbah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi di akhir siang pada hari ke-20 Ramadhan, hal ini dikuatkan oleh riwayat kedua dalam hadits beliau, yaitu hadits ketiga pada bab “Al I’tikaf fi al ‘Usyr al Awakhir wa Al I’tikaf fi Al Masajid Kulliha” hlm. 172. Anas mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah beri’tikaf pada suatu tahun kemudian pada malam ke-21 beliau mengatakan, “Barangsiapa yang ingin beri’tikaf bersamaku, hendaklah dia beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir. Sungguh telah diwahyukan kepadaku waktu Lailatul Qadr, namun kemudian saya dilupakan mengenai waktunya. Dan sungguh (pada saat Lailatul Qadr tersebut), saya melihat diriku bersujud di air dan tanah (dalam kondisi becek-pen) pada waktu Subuh.” Anas mengatakan, “Maka pada malam tersebut, turunlah hujan yang sangat lebat, dan di waktu Subuh pada hari ke-21, saya melihat dahi rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat bekas air dan tanah.”[14]

Dari pemaparan di atas, kita bisa melihat bahwa I’tikaf dianjurkan dilakukan pada malam ke-21 Ramadhan. Inilah pendapat yang paling hati-hati dalam masalah ini sebagaimana dikemukakan oleh Syaikh Dr. Khalid al Musyaiqih hafizhahullah.[15]

Pertanyaan: “Ketika beri’tikaf di bulan Ramadhan, kapankah seorang dianjurkan mengakhiri I’tikaf?”

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin mengatakan, “Seorang yang beri’tikaf mengakhiri i’tikafnya apabila bulan Ramadhan telah berakhir, dan bulan Ramadhan berakhir ketika matahari terbenam pada malam ‘Ied.”[16]

Sebagian ulama salaf menganjurkan agar seorang tetap tinggal beri’tikaf pada malam ‘Ied dan baru mengakhirinya ketika hendak melaksanakan shalat ‘Ied. Imam Malik menyatakan bahwa dia melihat sebagian ulama apabila beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, mereka tidak pulang ke keluarga mereka hingga mereka menghadiri shalat ‘Ied bersama manusia.”[17]

Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Asy Syafi’i dan murid-murid beliau mengatakan, “Barangsiapa yang ingin mengikuti tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka hendaknya dia memasuki masjid sebelum matahari terbenam pada malam ke-21 agar dia tidak terluput (untuk memperoleh Lailat al-Qadr). Dan dia keluar dari masjid setelah terbenamnya matahari pada malam ‘Ied, baik bulan Ramadhan telah berakhir sempurna, atau tidak. Dan yang lebih afdhal, dia tetap tinggal di masjid (pada malam ‘Ied) sampai menunaikan shalat “Ied di masjid atau dia (tetap tinggal di masjid di malam ‘Ied) dan keluar dari masjid ketika hendak menuju tanah lapang untuk mengerjakan shalat ‘Ied, jika dia mengerjakannya disana.”[18]

-bersambung insya Allah-

[1] Fiqh Al I’tikaf hlm. 54-55.

[2] HR. Bukhari: 1927.

[3] Al Fatawa al Kubra 5/380

[4] Fath al-Baari 4/272, al Minhaj Syarh Shahih Muslim 8/78, Bidayah al Mujtahid 1/445.

[5] HR. Bukhari: 1922 dan Muslim: 1172.

[6] Al I’lam bi Fawaid ‘Umdah al Ahkam 5/430; dikutip dari Fiqh al I’tikaf hlm. 56.

[7] Fiqh al-I’tikaf hlm. 56.

[8] HR. Muslim: 1167.

[9] HR. Bukhari: 1923.

[10] HR. Ahmad: 22815, Tirmidzi: 792.

[11] HR. Muslim: 1172.

[12] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim 4/207.

[13] Tempat yang digunakan orang yang beri’tikaf untuk menyendiri agar bisa beribadah di dalamnya.

[14] Majmu’ Fatawa wa Rasaa-il Ibn ‘Utsaimin 20/121; Asy Syamilah.

[15] Fiqh al-I’tikaf hlm. 61

[16] Majmu’ Fatawa wa Rasaa-il Ibn ‘Utsaimin 20/119; Asy Syamilah.

[17] Al Muwaththa:1/315.

[18] Al Majmu 6/475; Asy Syamilah.

Penulis: M. Nur Ichwan Muslim
Artikel Muslim.Or.Id

, ,

Leave a comment

Fiqih Ringkas I’tikaf (1)

Fiqih Ringkas I’tikaf (1)

Posted: 18 Aug 2011 06:35 PM

Definisi I’tikaf
Secara literal (lughatan), kata “الاعْتِكاف” berarti “الاحتباس” (memenjarakan)[1]. Ada juga yang mendefinisikannya dengan:

حَبْسُ النَّفْسِ عَنْ التَّصَرُّفَاتِ الْعَادِيَّةِ

“Menahan diri dari berbagai kegiatan yang rutin dikerjakan” [2].

Dalam terminologi syar’i (syar’an), para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan i’tikaf dikarenakan perbedaan pandangan dalam penentuan syarat dan rukun i’tikaf[3]. Namun, kita bisa memberikan definisi yang umum bahwa i’tikaf adalah:

الْمُكْث فِي الْمَسْجِد لعبادة الله مِنْ شَخْص مَخْصُوص بِصِفَةٍ مَخْصُوصَة

“Berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah yang dilakukan oleh orang tertentu dengan tata cara tertentu” [4].

Dalil Pensyari’atan

I’tikaf disyari’atkan berdasarkan dalil dari Al Quran, sunnah, dan ijma’. Berikut dalil-dalil pensyari’atannya.

Dalil dari Al Quran

a. Firman Allah ta’ala,

وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (Al Baqarah: 125).

b. Firman Allah ta’ala,

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (Al Baqarah: 187).

Penyandaran i’tikaf kepada masjid yang khusus digunakan untuk beribadah dan perintah untuk tidak bercampur dengan istri dikarenakan sedang beri’tikaf merupakan indikasi bahwa i’tikaf merupakan

ibadah.[5]

Dalil dari sunnah

a. Hadits dari Ummu al-Mukminin, ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.”[6]

b. Hadits dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.”[7]

Dalil Ijma’

Beberapa ulama telah menyatakan bahwa kaum muslimin telah berijma’ bahwa i’tikaf merupakan ibadah yang disyari’atkan. Diantara mereka adalah:

a. Ibnul Mundzir rahimahullah dalam kitab beliau Al Ijma’. Beliau mengatakan,

وأجمعوا على أن الاعتكاف لا يجب على الناس فرضا إلا أن يوجبه المرء على نفسه فيجب عليه

“Ulama sepakat bahwa i’tikaf tidaklah berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf, dengan demikian dia wajib untuk menunaikannya.”[8]

b. An Nawawi rahimahullah mengatakan,

فالاعتكاف سنة بالاجماع ولا يجب إلا بالنذر بالاجماع

“Hukum i’tikaf adalah sunnah berdasarkan ijma dan ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf.”[9]

c. Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “I’tikaf tidaklah wajib berdasarkan ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf.”[10]

Hukum I’tikaf

Hukum asal i’tikaf adalah sunnah (mustahab) berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ ». فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ

“Sungguh saya beri’tikaf di di sepuluh hari awal Ramadhan untuk mencari malam kemuliaan (lailat al-qadr), kemudian saya beri’tikaf di sepuluh hari pertengahan Ramadhan, kemudian Jibril mendatangiku dan memberitakan bahwa malam kemuliaan terdapat di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Barangsiapa yang ingin beri’tikaf, hendaklah dia beri’tikaf (untuk mencari malam tersebut). Maka para sahabat pun beri’tikaf bersama beliau.”[11]

Dalam hadits di atas, nabi memberikan pilihan kepada para sahabat untuk melaksanakan i’tikaf. Hal ini merupakan indikasi bahwa i’tikaf pada asalnya tidak wajib.

Status sunnah ini dapat menjadi wajib apabila seorang bernadzar untuk beri’tikaf berdasarkan hadits ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ

“Barangsiapa bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, dia wajib menunaikannya.”[12]

‘Umar radhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai rasulullah! Sesungguhnya saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf selama satu malam di Masjid al-Haram.” Nabi pun menjawab, “Tunaikanlah nadzarmu itu!”[13]

Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, “I’tikaf tidaklah wajib berdasarkan ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf.”[14][15]

Pertanyaan: Bagaimanakah hukum i’tikaf bagi wanita?

Jawab:

Dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat ulama.

Pendapat pertama adalah pendapat jumhur yang menyatakan itikaf dianjurkan juga bagi wanita sebagaimana dianjurkan bagi pria. Dalil bagi pendapat pertama ini diantaranya adalah:

Keumuman berbagai dalil mengenai pensyari’atan i’tikaf yang turut mencakup pria dan wanita. Asalnya, segala peribadatan yang ditetapkan bagi pria, juga ditetapkan bagi wanita kecuali terdapat dalil yang mengecualikan.
Firman Allah ta’ala,
كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ

“Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab…” (Ali ‘Imran: 37).

dan firman-Nya,
فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُونِهِمْ حِجَابًا

“Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka…” (Maryam: 17).
Ayat ini memberitakan bahwa Maryam telah membaktikan dirinya untuk beribadah dan berkhidmat kepada-Nya. Dia mengadakan tabir dan menempatkan dirinya di dalam mihrab untuk menjauhi manusia. Hal ini menunjukkan bahwa beliau beri’tikaf. Meskipun perbuatan Maryam itu merupakan syari’at umat terdahulu, namun hal itu juga termasuk syari’at kita selama tidak terdapat dalil yang menyatakan syari’at tersebut telah dihapus.

Hadits Ummul Mukminin, ‘Aisyah dan Hafshah radhiallahu ‘anhuma, yang keduanya memperoleh izin untuk beri’tikaf sedang mereka berdua masih dalam keadaan belia saat itu.[16]
Pendapat kedua menyatakan bahwa i’tikaf dimakruhkan bagi pemudi. Dalil yang menjadi patokan bagi pendapat ini diantaranya adalah sebagai berikut:

Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu yang menerangkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melepas kemah-kemah istrinya ketika mereka hendak beri’tikaf bersama beliau[17]
Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
لَوْ أَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِى إِسْرَائِيلَ

“Seandainya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui apa kondisi wanita saat ini tentu beliau akan melarang mereka (untuk keluar menuju masjid) sebagaimana Allah telah melarang wanita Bani Israil.”[18]

Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur yang menyatakan bahwa i’tikaf juga disunnahkan bagi wanita berdasarkan beberapa alasan berikut:

Berbagai dalil menyatakan bahwasanya wanita juga turut beri’tikaf dan tidak terdapat dalil tegas yang menerangan bahwa pemudi dimakruhkan untuk beri’tikaf.
Hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melepas kemah para istri beliau ketika mereka beri’tikaf bukanlah menunjukkan ketidaksukaan beliau apabila para pemudi turut beri’tikaf. Namun, motif beliau memerintahkan hal tersebut adalah kekhawatiran jika para istri beliau saling cemburu dan berebut untuk melayani beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, dalam hadits tersebut beliau mengatakan, “Apakah kebaikan yang dikehendaki oleh mereka dengan melakukan tindakan ini?”. Akhirnya beliau pun baru beri’tikaf di bulan Syawwal.
Hadits ‘Aisyah ini justru menerangkan bolehnya pemudi untuk beri’tikaf, karena ‘Aisyah dan Hafshah di dalam hadits ini diizinkan nabi untuk beri’tikaf dan pada saat itu keduanya berusia belia.
Adapun perkataan ‘Aisyah yang menyatakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melarang wanita untuk keluar ke masjid apabila mengetahui kondisi wanita saat ini, secara substansial, bukanlah menunjukkan bahwa i’tikaf tidak disyari’atkan bagi pemudi. Namun, perkataan beliau tersebut menunjukkan akan larangan bagi wanita untuk keluar ke masjid apabila dikhawatirkan terjadi fitnah.
Hikmah I’tikaf

Seluruh peribadatan yang disyari’atkan dalam Islam pasti memiliki hikmah, baik itu diketahui oleh hamba maupun tidak. Tidak terkecuali ibadah i’tikaf ini, tentu mengandung hikmah. Hikmah yang terkandung di dalamnya berusaha diuraikan oleh imam Ibn al-Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau Zaadul Ma’ad[19]. Beliau mengatakan, “Kebaikan dan konsistensi hati dalam berjalan menuju Allah tergantung kepada terkumpulnya kekuatan hati kepada Allah dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati secara total kepada-Nya, -karena hati yang keruh tidak akan baik kecuali dengan menghadapkan hati kepada Allah ta’ala secara menyeluruh-, sedangkan makan dan minum secara berlebihan, terlalu sering bergaul, banyak bicara dan tidur, merupakan faktor-faktor yang mampu memperkeruh hati, dan semua hal itu bisa memutus perjalanan hati menuju kepada-Nya, atau melemahkan, menghalangi, dan menghentikannya.

(Dengan demikian), rahmat Allah yang Maha Perkasa dan Maha Penyayang menuntut pensyari’atan puasa bagi mereka, yang mampu menyebabkan hilangnya makan dan minum yang berlebih.

(Begitupula) hati yang keruh tidak dapat disatukan kecuali dengan menghadap kepada Allah, padahal (kegiatan manusia banyak yang memperkeruh hati seperti) makan dan minum secara berlebih, terlalu sering bergaul dengan manusia, serta banyak bicara dan tidur. (Semua hal itu) memporakporandakan hati, memutus, atau melemahkan, atau mengganggu dan menghentikan hati dari berjalan kepada Allah. Maka rahmat Allah kepada hamba-Nya menuntut pensyari’atan puasa untuk mereka yang mampu mengikis makan dan minum yang berlebih serta mengosongkan hati dari campuran syahwat yang menghalangi jalan kepada Allah. Allah mensyariatkannya sesuai dengan kadar kemaslahatan yang dapat bermanfaat bagi hamba di dunia dan akhirat. Namun, tidak merugikan dan memutus kemaslahatan dunia dan akhiratnya.

Demikian pula, Allah mensyariatkan i’tikaf bagi mereka yang bertujuan agar hati dan kekuatannya fokus untuk beribadah kepada-Nya, berkhalwat dengan-Nya, memutus diri dari kesibukan dengan makhluk dan hanya sibuk menghadap kepada-Nya. Sehingga, berdzikir, kecintaan, dan menghadap kepada-Nya menjadi ganti semua faktor yang mampu memperkeruh hati. Begitupula, kesedihan dan kekeruhan hati justru akan akan terhapus dengan mengingat-Nya dan berfikir bagaimana cara untuk meraih ridha-Nya dan bagaimana melakukan amalan yang mampu mendekatkan diri kepada-Nya. Berkhalwat dengan-Nya menjadi ganti dari kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena (mengharapkan) kelembutan-Nya pada hari yang mengerikan di alam kubur, tatkala tidak ada lagi yang mampu berbuat lembut kepadanya dan tidak ada lagi yang mampu menolong (dirinya) selain Allah. Inilah maksud dari i’tikaf yang agung itu.“

Waktu I’tikaf

Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat i’tikaf dianjurkan setiap saat untuk dilakukan dan tidak terbatas pada bulan Ramadhan atau di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. [20] Berikut beberapa dalil yang menunjukkan hal tersebut:

a. Terdapat riwayat yang shahih dari Ummu al-Mukminin, yang menyatakan bahwasanya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari pertama bulan Syawwal dan dalam satu riwayat beliau melaksanakannya di sepuluh hari terakhir bulan Syawwal.[21]

b. Hadits Ibnu ‘Umar yang menceritakan bahwa ‘Umar radhiallahu ‘anhu, bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

“Pada masa jahiliyah, saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf semalam di Masjid al-Haram.” Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkannya untuk menunaikan nadzar tersebut.[22]

c. Hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

إِذَا كَانَ مُقِيماً اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ وَإِذَا سَافَرَ اعْتَكَفَ مِنَ الْعَامِ الْمُقْبِلِ عِشْرِينَ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ketika dalam kondisi mukim. Apabila beliau bersafar, maka beliau beri’tikaf pada tahun berikutnya selama dua puluh hari.”[23]

Begitupula hadits Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَعْتَكِفُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَسَافَرَ سَنَةً فَلَمْ يَعْتَكِفْ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْماً

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Kemudian beliau pernah bersafar selama setahun dan tidak beri’tikaf, akhirnya beliau pun beri’tikaf pada tahun berikutnya selama dua puluh hari.”[24]

Sisi argumen dari hadits di atas adalah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf selama dua puluh hari. Hal ini menunjukkan pensyari’atan beri’tikaf pada selain sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Tindakan beliau ini bukanlah qadha, karena kalau terhitung sebagai qadha tentu nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bersegera menunaikannya sebagaimana kebiasaan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

d. Adanya berbagai riwayat dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhu yang menyatakan puasa sebagai syarat i’tikaf dan sebaliknya terdapat riwayat yang menyatakan puasa bukanlah syarat i’tikaf. Hal ini mengisyaratkan bahwa i’tikaf disyari’atkan di setiap waktu, tidak hanya di bulan Ramadhan atau pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Karena jika I’tikaf tidak boleh dilaksanakan kecuali pada bulan Ramadhan atau sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka adanya perbedaan pendapat dalam penentuan puasa sebagai syarat atau tidak tidak akan mencuat.

Tujuan i’tikaf adalah mengumpulkan hati kepada Allah ta’ala, menghadap kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya dan hal ini tentunya dapat terealisasi di segala waktu. Namun, pada waktu-waktu tertentu, seperti di bulan Ramadhan terutama pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, ibadah I’tikaf lebih ditekankan untuk dilakukan.

-bersambung insya Allah-

[1] Mukhtar ash-Shihhah 1/467.

[2] Al Mishbah al Munir 2/424.

[3] Fiqh al-I’tikaf hal.24.

[4] Syarh Shahih Muslim 8/66, dikutip dari al-Inshaf fi Hukm al-I’tikaf hlm. 5.

[5] Fiqh al-I’tikaf hal. 31

[6] HR. Bukhari dan Muslim

[7] HR. Bukhari dan Muslim

[8] Al Ijma’ hlm. 7; Asy Syamilah.

[9] Al Majmu’ 6/475; Asy Syamilah

[10] Fath al-Baari 4/271

[11] HR. Muslim: 1167.

[12] HR. Bukhari: 6318.

[13] HR. Bukhari: 1927.

[14] Fath al-Baari 4/271

[15] Ibnu Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid 1/312 menyatakan bahwa imam Malik menganggap makruh ibadah i’tikaf. Imam Malik berganggapan tidak ada sahabat yang melakukan I’tikaf. Namun, kita dapat mengetahui bahwa pendapat beliau tersebut bertentangan dengan dalil-dalil yang telah dipaparkan. Silahkan melihat Fiqh al-Itikaf hal. 34-37 untuk melihat pembahasan yang lebih luas.

[16] HR. Bukhari: 1940.

[17] HR. Ibnu Khuzaimah: 2224.

[18] HR. Bukhari: 831 dan Muslim: 445

[19] Zaad al-Ma’ad 2/82.

[20] Badai’ ash-Shanai’ 2/273, Kifayah al Akhyar 1/297, Al Mughni 3/122.

[21] HR. Bukhari: 1936 dan Muslim: 1172. Hal ini dilakukan karena beliau pernah meninggalkan i’tikaf di bulan Ramadhan dan menggantinya di bulan Syawwal.

[22] HR. Bukhari: 1927.

[23] HR. Ahmad: 12036.

[24] HR. Ahmad: 21314.

Penulis: M. Nur Ichwan Muslim
Artikel Muslim.Or.Id

, ,

Leave a comment

Serbuk Kopi Mencegah Kanker Kulit

Serbuk Kopi Mencegah Kanker Kulit

KOMPAS.com – Satu lagi penelitian menunjukkan bahwa kopi adalah tanaman yang memiliki manfaat bagi kesehatan. Riset terbaru di Amerika Serikat mengindikasikan, meminum kopi atau bahkan mengoleskan serbuk kopi di atas kulit mungkin dapat menjadi cara supaya terlindung dari risiko terkena kanker. Penelitian yang dilakukan Dr Allan Conney dari Rutgers University di New Jersey AS, menunjukkan, kafein dalam kopi dapat membantu mencegah timbulnya kanker kulit non-melanoma dengan cara membantu membunuh sel-sel yang rusak yang berpeluang menjadi tumor.

Kesimpulan itu diambil setelah melakukan percobaan menggunakan tikus di laboratorium. Hewan pengerat ini direkayasa secara genetik sehingga tubuhnya kekurangan produksi sejenis enzim bernama ATR. Para peneliti mampu membuktikan, tikus tersebut dapat terhindar dari kanker bahkan ketika terpapar sinar ultraviolet. Sejumlah penelitian sebelumnya telah mengindikasikan bahwa minum secangkir kopi mengandung kafein setiap hari memiliki efek menekan enzim ATR dan memicu kematian sel-sel yang rusak oleh paparan sinar UV. Conney dan timnya mampu mengkonfirmasi hipotesis mereka bahwa kopi yang mengandung kafein – baik diminum atau dioleskan pada kulit – mampu bekerja menghambat ATR.

Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk melihat bagaimana teori yang sama mungkin dapat juga berlaku pada manusia. “Kami ingin melihat apakah kafein memiliki efek pada manusia bila diberikan secara berkala,” kata Conney, yang mempublikasi risetnya dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences. “Kafein mungkin menjadi senjata dalam pencegahan karena mampu menghambat ATR dan juga bertindak sebagai tabir surya serta langsung menyerap sinar UV yang merusak,” tambahnya Kanker kulit jenis non-melanoma, termasuk jenis sel basal dan sel skuamosa, adalah jenis kanker kulit yang paling sering ditemukan.

Kanker ini sebagian besar dapat disembuhkan jika terdeteksi di tahap awal. Penelitian sebelumnya menunjukkan peminum kopi cenderung memiliki resiko lebih rendah menderita kanker payudara, rahim, prostat dan usus besar, namun efek yang bermanfaat tidak terlihat pada orang yang minum kopi tanpa kafein.

Leave a comment

12 Manfaat Tersembunyi Mentimun

12 Manfaat Tersembunyi Mentimun

KOMPAS.com – Sebagian besar di antara kita mungkin sering mengonsumsi buah mentimun atau ketimun. Buah yang dalam bahasa latin bernama Cucumis sativus ini sering kita jumpai dalam setiap hidangan makanan terutama pada lalapan, salad atau acar. Mentimun memiliki kandungan air yang cukup tinggi di dalamnya sehingga berfungsi menyejukkan. Potongan buah mentimun juga kerap digunakan untuk membantu melembabkan wajah serta banyak dipercaya dapat menurunkan tekanan darah tinggi. Namun, untuk mengetahui lebih lanjut mengenai nutrisi dan manfaat kesehatan yang terdapat dalam mentimun, mari kita jelajahi area kesehatan apa saja yang didapat dari konsumsi buah yang termasuk suku labu-labuan ini :

1. Perawatan Kulit
Mentimun bersifat diuretik, efek pendingin dan pembersih yang bermanfaat bagi kulit. Kandungan air yang tinggi, Vitamin A, B dan C dan kehadiran mineral seperti magnesium, kalium, mangan dan silika membuat mentimun menjadi bagian penting dalam perawatan kulit.
Masker wajah yang mengandung sari mentimun digunakan untuk mengencangkan kulit. Asam askorbat dan asam caffeic hadir dalam mentimun dapat menurunkan tingkat retensi air yang pada gilirannya mengurangi pembengkakan dan bengkak di sekitar mata.

2. Fungsi pencernaan
Masalah pencernaan seperti maag, gastritis keasaman, dan bahkan tukak dapat disembuhkan dengan mengonsumsi jus mentimun segar setiap hari. Kandungan serat makanan dalam mentimun dapat mengusir racun dari sistem pencernaan sehingga memingkatkan proses pencernaan. Bahkan, mengonsumsi mentimun setiap harinya dinilai sangat ampuh sebagai obat sembelit.

3. Kesehatan sendi
Dalam mentimun terkandung silika yang dapat mempromosikan kesehatan sendi Anda dengan memperkuat jaringan ikat.

4. Pencernaan protein
Mentimun mengandung enzim yang disebut Erepsin yang membantu dalam pencernaan protein.

5. Tekanan darah
Potassium, magnesium dan serat yang hadir pada mentimun dapat membantu Anda dalam menjaga tekanan darah tetap normal.

6. Membunuh cacing pita
Biji mentimun dianggap sebagai obat alami untuk mengusir cacing pita di saluran usus. Bahkan, biji mentimun juga dikenal bermanfaat sebagai anti-inflamasi dan efektif dalam pengobatan pembengkakan selaput lendir (hidung) dan tenggorokan.

7. Perawatan kuku
Mentimun kaya akan kandungan silika, dapat mencegah pecah dan rusaknya kuku-kuku di jari kaki dan tangan.

8. Atasi encok dan rematik
Jus mentimun dengan diperkaya kandungan vitamin A, B1, B6, C dan D, Folat, Magnesium, Kalsium ketika dicampur dengan jus wortel, dapat membantu pasien yang mengalami nyeri sendi dengan cara menurunkan asam urat.

9. Mengobati sakit gigi dan gusi
Penyakit mulut pada gigi dan gusi khususnya pyorrhea dapat diobati secara efektif dengan jus mentimun. Konsumsi mentimun mentah juga dapat meningkat air liur dan berfungsi dalam menetralisasi asam dan basa di dalam rongga mulut.

10. Diabetes
Jus mentimun dikenal dapat membantu kesehatan pasien diabetes. Kandungan mineral mangan bermanfaat dalam sintesis insulin alami di dalam tubuh.

11. Perawatan ginjal
Mentimun menunjukkan manfaat dalam membantu meringankan masalah kandung kemih dan ginjal. Air yang terkandung dalam mentimun membentu fungsi ginjal denga melancarkan proses urinasi. Faktanya, mentimun merupakan diuretik alami terbaik.

12. Suburkan rambut
Mentimun mengandung silika. Dengan membuat jus mentium yang dicampur dengan wortel, bayam dan selada, minuman ini akan membantu penyuburan rambut. Silika terdapat dalam jaringan ikat di dalam tubuh. Senyawa ini membantu pertumbuhan rambut sehingga bila Anda rajin mengonsumsi makanan mengandung silika akan memiliki rambut yang bagus dan tulang yang sehat.

Leave a comment

Tafsir Surat An-Naas

Tafsir Surat An-Naas

Tafsir Ayat
27/9/2010 | 18 Syawal 1431 H
Oleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah

dakwatuna.com – Surat An-Nas ini Makkiyah menurut pendapat paling benar, terdiri dari 6 ayat. Ini merupakan ayat perlindungan yang kedua.

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ﴿١﴾ مَلِكِ النَّاسِ ﴿٢﴾ إِلَٰهِ النَّاسِ ﴿٣﴾ مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ ﴿٤﴾ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ ﴿٥﴾ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ ﴿٦﴾

1. Katakanlah, “Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
2. Raja manusia.
3. Sembahan manusia.
4. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
5. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,
6. Dari (golongan) jin dan manusia.”

Syarah:
Katakan kepada mereka, “Aku berlindung kepada Allah agar menjagaku dari kejahatan makhluk yang berbisik kepadaku. Aku berlindung kepada Tuhan manusia yang mendidik dan mengambil sumpah kepada mereka di kala mereka kecil atau lemah. Allah telah menguasai urusan mereka dan Dialah Pemilik Manusia. Dia Ilah mereka dan mereka budak-Nya. Dia yang layak disembah, ditunduki, dan dituju. Sebab Dialah Allah Taala yang menciptakan manusia, menumbuhkembangkan mereka, serta menguasai urusan mereka. Karena Dialah tempat berlindung dan meminta pertolongan. Bernaung kepada-Nya dari kejahatan bisikan di dalam hati yang biasa menghiasi kejahatan dan menampakkan keburukan dengan bentuk kebaikan. Itulah bisikan yang kebanyakan mengajak kepada larangan, baik dari bangsa jin, makhluk yang tersembunyi, yang mereka itu anak-anak dan tentara iblis atau dari bangsa manusia seperti halnya teman-teman buruk.
Mudah-mudahan kita dipelihara Allah dari kejahatan setan jin dan setan manusia. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan. Dia juga Maha Kuasa atas segala sesuatu. Allah sendiri telah mengajarkan kita bagaimana berlindung diri dari kejahatan lahir maupun batin.”

Wallahu A’lam.

, ,

Leave a comment

Tafsir Surat Al-Falaq

Tafsir Surat Al-Falaq

Tafsir Ayat
11/10/2010 | 03 Zulqaedah 1431 H
Oleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah

dakwatuna.com – Surat An-Falaq ini Makkiyah. Ada yang mengatakan Madaniyyah. Terdiri dari 5 ayat, dan merupakan salah satu dari dua ayat perlindungan.

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ ﴿١﴾ مِن شَرِّ مَا خَلَقَ ﴿٢﴾ وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ ﴿٣﴾ وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ ﴿٤﴾ وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ ﴿٥﴾

1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh,
2. Dari kejahatan makhluk-Nya,
3. Dan dari kejahatan malam apabila Telah gelap gulita,
4. Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul,
5. Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.”

Syarah:

Diriwayatkan bahwa ada orang Yahudi menyihir Nabi saw. Hingga beliau sakit sampai tiga hari. Sakit beliau sangat parah sampai-sampai tidak sadar terhadap apa yang dilakukan. Kemudian Jibril datang dan memberitahu tentang bagian yang terkena sihir. Setelah itu beliau dibacakan surat An-Nas dan Al-Falaq akhirnya kembali sadar seperti semula.
Menurutku riwayat ini tidak benar sebagaimana pendapat para ulama. Ia hanya celoteh orang-orang Yahudi dengan tujuan agar manusia ragu terhadap Nabi saw. Dan menganggap beliau terkena sihir. Padahal Allah berfirman,

إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِئِينَ
﴿٩٥﴾

“Sesungguhnya kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan (kamu).” (QS. Al-Hijr: 95).

Katakan kepada mereka, ya Muhammad, “Aku berlindung kepada Tuhan seluruh Alam yang dapat membelah tanah dan langit, aku berlabuh kepada-Nya dari semua kejahatan yang menimpaku, keluargaku, dakwahku, dan sahabatku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan malam jika telah menjadi gelap gulita dan menutupi seluruh alam. Karena kegelapan malam bisa menjadi tabir bagi setiap orang yang melampaui batas dan pendosa. Aku juga berlindung kepada-Mu dari para wanita peniup buhul tali yang mereka ikat.” Sebagaimana yang dijelaskan tadi. Namun maksud yang sebenarnya adalah, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan para pengadu domba yang memutuskan hubungan cinta kasih. Dengan demikian ta’ pada kata,

النفاثة

bermakna hiperbol dan tidak menujukkan ta’nits (feminim). Yakni orang yang berusaha mengadu domba, mengerahkan segenap upayanya untuk menyakiti orang yang dipuji. Tidak ada jalan untuk mendapatkan keridhaan orang semacam ini. Maka tidak ada cara lain menghadapi orang tersebut selain menghadap kepada Allah agar berkenan memelihara kita dari kejahatannya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

, ,

Leave a comment