Satu Ayat Banyak Tafsir

Ayat-ayat Al-Qur’an terutama dalam masalah hukum akan terbagi menjadi dua bagian yaitu ayat-ayat yang bersifat qath’i (pasti) dan zhanni (multi tafsir). Dalam hal ini kami beri beberapa contoh mengenai ayat-ayat yang bersifat zhanni dimana akan menghasilkan banyak penafsiran di bidang hukum Islam.

1. “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru“. (Al-Baqarah: 228)

Menurut imam Abu Hanifah dan pengikutnya, iddah (masa menunggu) bagi wanita yang ditalak adalah tiga kali haid yang diselingi dua kali suci. Sedangkan menurut imam Syafi’i dan pengikutnya, iddah wanita yang ditalak adalah tiga kali suci yang diselingi dua kali haid. Penyebab perbedaan pendapat ini adalah lafazh alqur’u yang dalam bahasa arab mempunyai dua makna, yaitu masa suci dan masa haid. Karenanya, masing-masing mujtahid tersebut berpendapat dengan didasarkan indikator-indikator yang kiat menurut mereka masing-masing yang bisa membantu memahami pendapat yang mereka pegangi itu.

2. “Dan usaplah kepala kalian.” (Al-Ma’idah: 6)

Menurut imam Malik yang wajib diusap adalah seluruh rambut kepala. Menurut imam Syafi’i yang wajib diusap hanya sebagiannya saja. Sedangkan menurut imam Abu Hanifah yang wajib diusap hanya seperempatnya saja. Adapun penyebab perbedaan pendapat itu adalah huruf ba‘ yang terdapat pada ayat tersebut ‘bi ru ‘usikum‘ dalam bahasa arab mempunyai dua arti: alilshaq (menempelkan) dan athtab’idh (bagian). Menurut mereka yang memahami bahwa huruf ba‘ tersebut bermakna alilshaq (menempelkan), mereka mewajibkan mengusap seluruh kepala. Sedangkan mereka yang memahami bahwa huruf ba’ tersebut bermakna athtab’idh (bagian), mereka mewajibkan mengusap sebagian kepala.

Sumber:

Buku “Ijtihad dalam Syariat Islam” karya Syaikh Abdul Wahab Khallaf hal. 45-46.

Leave a comment

Toleransi ala Imam Malik

Coba kita lihat bagaimana sikap apresiatif dan toleran Imam Malik ketika khalifah pada masanya memintanya untuk menjadikan kitabnya yang berjudul al-Muwaththa’ sebagai rujukan bagi seluruh umat Islam. Imam Malik mengisahkan bahwa ketika Khalifah al-Manshur berhaji, dia mengundangku ke tempatnya. Aku pun mendatanginya dan berbincang-bincang. Dia berkata, “Saya ingin agar buku yang kau tulis ini –al-Muwaththa’- disalin menjadi banyak naskah dan akan kukirim ke setiap kota kaum muslim, sehingga mereka dapat mempelajari dan mengamalkan serta meninggalkan semua riwayat hadis selain yang ada di buku ini. Sebab, menurutku akar ilmu itu terdapat pada riwayat penduduk Madinah.” Aku berkata kepadanya, ” Ya Amir al-Mukminin, jangan lakukan hal seperti itu. dalam setiap masyarakat sudah berlaku berbagai pendapat. Mereka telah mendengar hadis-hadis. Mereka telah menyampaikan riwayat-riwayat. Setiap kaum telah mengambil dari pendahulunya dan sudah beramal berdasarkan itu. Jika anda mengubahnya dari apa yang mereka ketahui kepada apa yang tidak mereka ketahui, mereka akan menganggapnya sebagai kekafiran. Biarlah setiap negeri berpegang kepada ilmu ini, ambillah untuk dirimu saja. Para sahabat Rasulullah Saw. telah berikhtilaf pada hal-hal yang furu’ dan tersebar di berbagai penjuru. Semuanya benar.” Al-Manshur berkata, “Jika Anda menyetujuinya, sungguh aku akan memerintahkannya.”

Sumber:

Thabaqat al-Kabir, Ibn Sa’ad

Leave a comment

Kebijakan Umar atas Penerapan Hukum Potong Tangan

Salah satu kebijakan khalifah Umar bin Khatab yaitu dihentikan atau ditundanya hukum potong tangan bagi pencuri karena pencurian dilakukan pada saat masyarakat sedang dilanda paceklik (gagal panen). Padahal, Al-Qur’an sebagaimana diketahui dalam ayat 38 surat Al-Ma’idah menegaskan bahwa,”Lelaki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang telah mereka kerjakan, dan sebagai bagian dari siksa Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Ayat di atas merupakan dasar hukum potong tangan bagi pencuri. Akan tetapi, mengapa Umar bin Khatab menghentikan atau menunda potong tangan bagi pencuri pada musim paceklik? Apakah keputusan itu bertentangan dengan ayat di atas?

Kalau dilihat secara tekstual, keputusan Khalifah Umar bin Khatab bertentangan dengan ayat di atas. Tetapi, jika dilihat secara kontekstual, justru keputusan Khalifah Umart ini sesuai dengan prinsip-prinsip universal Al-Qur’an, yaitu prinsip memelihara dan menyelamatkan jiwa manusia lebih utama daripada memenuhi tuntutan hukum. Sebab, khalifah Umar bukan menentang hukum potong tangan, melainkankan mempertimbangkan secara obyektif kondisi sosio-masyarakat yang tidak kondusif untuk melaksanakanhukum potong tangan tersebut. Argumen Umar didasarkan pada kenyataan bahwa boleh jadi orang yang mencuri itu terdesak oleh keadaan hidup yang teramat sulit sehingga dia terpaksa mencuri untuk mempertahankan hidup dan keluarganya; jika tidak, maka nyawa mereka akan melayang. Kalau kondisi sosialnya semacam ini, apakah Allah Yang Mahabijak itu tega membiarkan hamba-Nya yang mencuri dihukum dengan hukuman potong tangan, padahal mereka mencuri karena kelaparan?

Lebih dari itu, persoalan tangan mana dan batas mana tangan seorang pencuri harus dipotong, juga masih menjadi polemik. hadis Nabi pun tidak ada yang dapat dijadikan acuan tentang batasan jumlah barang curian yang mewajibkan ditegakkannya hukum potong tangan itu. Semua itu mencerminkan dilema-dilema hukum potong tangan itu sendiri. Adapun yang menjadi rujukan dalam soal ini adalah hasil ijtihad para ulama terdahulu belaka. Karena itu, mungkinkah hukum potong tangan ini dapat dipahami secara majazi?

Sumber:

Buku “Kapita Selekta Mozaik Islam: Ijtihad, Tafsir, dan Isu-Isu Kontemporer” karya Prof. Dr. Umar Shihab, hal 56-57, Penerbit Mizan Pustaka, cet. I, Oktober 2014

Leave a comment

Kritik Ibn Araby atas Asy’ariyah dan Mujassimah

Ibn Araby merasa heran kepada dua kelompok besar Asy’ariyah dan Mujassimah, betapa mereka salah dalam mengartikan “lafal polisemi” (lafz musytarak) dalam Al-Qur’an dan hadis dan menyebutnya sebagai pengakuan akan “keserupaan” (tasybih). Padahal, adanya keserupaan hanya terjadi jika terdapat kata “misl” (seperti) atau huruf “kaf penyifatan” di antara dua perkara dalam bahasa Arab, dan hal semacam ini jarang sekali ditemukan dalam ayat Al-Qur’an atau hadis mana pun yang mereka jadikan sebagai dalil akan adanya keserupaan.

Kaum Asy’ariyah mengira bahwa ketika mereka menakwilkan sebuah kata, mereka telah terhindar dari pernyataan adanya keserupaan, padahal sebenarnya mereka belum terlepas darinya. Mereka hanyalah berpindah dari menyerupakan Allah dengan benda-benda jasmani (ajsam) kepada penyerupaan dengan makna-makna baru (al-ma’ani al-muhdasah) yang jelas berbeda dengan sifat-sifat qadim baik dari segi hakikat maupun definisinya. Dengan ini, mereka tidak benar-benar terlepas dari menyerupakan Allah dengan benda-benda baru.

Jika kita mengutip pendapat mereka, kami tidak akan mengubah pengertian kata, misalnya,”duduk di atas” (istiwa‘) dalam firman Allah: “Ar-Rahman duduk (istiwa’) di atas ‘Arsy” (QS. 20:5) dengan arti “menetap” (istiqrar) menjadi “duduk di atas” dengan arti “menguasai” (istila‘) sebagaimana mereka mengubahnya. Apalagi kata ‘Arsy (singgasana) disebutkan berkaitan dengan istiwa‘, maka makna “menguasai” menjadi batal melalui penyebutan “singgasana” (‘Arsy). Sehingga mustahil untuk mengubahnya menjadi makna lain yang menafikan makna “menetap”.

Menurut Ibn Araby, sesungguhnya pengakuan akan keserupaan tidak terjadi pada “apa yang diduduki” yang merupakan benda jasmani. Istiwa‘ adalah sebuah realitas yang dapat dipikirkan dan bersifat maknawi yang dapat dinisbahkan kepada setiap zat sejauh apa yang diberikan oleh hakikat zat tersebut. Tidak perlu bagi kita untuk membebani diri dengan mengubah makna “duduk” dari makna lahiriahnya. Karena hal itu adalah sebuah kesalahan nyata yang jelas-jelas terlihat.

Adapun para pengikut Mujassimah, seharusnya mereka tidak perlu melampaui makna lafal yang telah diturunkan itu kepada salah satu makna ihtimalnya, padahal mereka mengimani dan menyadari adanya firman Allah Swt.: Tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya.” (QS. 42:11)

Sumber:

Buku “Al-Futuhat Al-Makkiyyah” karya Ibn al-Arabi jilid I hal. 157-158 terbitan Darul Futuhat, 2017

Leave a comment

Penilaian Hadis antara Ulama Hadis, Fikih dan Tasawuf

Di kalangan ulama hadis dan ahli ushul, pembahasan tentang hadis harus berawal dari sanad. Meskipun matan juga mendapatkan perhatian, perhatian terhadap sanad hadis jauh lebih mendalam, sehingga kajian sanad hadis merupakan hal yang
cukup melelahkan. Pembahasan tentang matan baru dilakukan apabila sanad hadis yang diteliti dinyatakan tidak ada masalah. Dalam hubungan ini, Muhammad ibn Sirin menyatakan,”Sesungguhnya pengetahuan (hadis) ini adalah agama, maka perhatikanlah dari mana kamu mengambil agamamu.

Walaupun begitu, kriteria kesahihan hadis yang dipegang oleh ahli hadis dan ahli ushul sangat berbeda dengan kriteria yang dipegang oleh ulama tasawuf. Karena itulah, dalam kajian agama, suatu hadis sangat populer dan dijadikan rujukan di kalangan ulama tasawuf, tetapi dinyatakan lemah atau bahkan dianggap bukan hadis oleh ulama hadis dan ahli ushul. Sebagaicontoh sejatinya dapat dikemukakan hadis, “Siapa yang mengenal dirinya, ia telah mengenal Tuhannya.

Secara umum, di kalangan ulama fikih dan ulama hadis, hadis ini dinyatakan sebagai hadis yang tidak memiliki dasar yang kuat. Bahkan lbn Taimiyah menyatakan hadis ini mawdhu. Sementara itu, al-Nawawi memberikan penilaian terhadap hadis ini dengan menyatakan laysa bi sabit (tidak kuat). Penilaian yang berbeda dinyatakan oleh ulama tasawuf seperti dikatakan oleh Syaikh Muhyiddin ibn ‘Araby bahwa meskipun hadis ini tidak sahih dilihat dari segi metode periwayatan hadis, tetapi bagi kami hadis ini sahih dilihat dari segi metode kasyf (penyingkapan).

Berdasarkan keterangan di atas, dapat diketahui bahwa dalam menilai kesahihan hadis, ulama fikih dan ulama hadis memulai dari sanad dan periwayatan hadis. Jika sanad dan periwayat hadis bermasalah, maka pembahasan tidak dapat dilanjutkan kepada kajian matan, karena hadis tersebut pasti tidak mencapai tingkatan sahih. Sementara, ulama tasawuf cenderung menfokuskan pada matan hadis, sehingga sebuah hadis yang dinyatakan tidak sahih dari aspek kajian sanad, tidak otomatis dinyatakan sebagai hadis daif, karena kesahihan sebuah hadis juga dapat dilihat dari aspek matan dan kandungan hadis.

Sumber:

Buku “Kapita Selekta Mozaik Islam: Ijtihad, Tafsir dan Isu-Isu Kontemporer” hal. 178-179 karya Prof. Dr. Umar Shihab, 2014

Leave a comment

Awal Keilmuan Imam Abu Hanifah

Di awal perjalanan hidupnya, Abu Hanifah tidak ingin menjadi seorang faqih, apalagi bercita-cita menjadi seorang pendiri mazhab tertentu dalam Islam. Awal perjalanan hidup sang Imam dimulai sebagai pedagang. sampai pada suatu hari, Imam Sya’bi memanggilnya. Sebab, ia melihat ada talenta besar pada diri Abu Hanifah. Imam Sya’bi bertanya,”Dengan siapa saja kau sering berinteraksi”Abu Hanifah menjawab,’Aku sering berinteraksi dengan orang-orang di pasar. ” Imam Sya’bi berkata,”Yang aku maksud bukan kegiatan di pasar, melainkan interaksi dengan para ulama. ” Abu Hanifah menjawab,”Aku jarang berinteraksi dengan ulama.’Sya’bi melanjutkan, “Jangan lupa :: Sering-seringlah belajar dan mengikuti pengajian para ulama. Sebab, aku melihat semangat dalam dirimu begitu tinggi. “Abu Hanifah berkata, “Kata-kata Sya’bi tersebut sangat membekas dalam hati. Setelah itu, aku meninggalkan aktivitas di pasar dan menggantinya dengan aktivitas keilmuan. Sungguh, Allah telah memberikan manfaat padaku melalui perkataannya.

Imam Abu Hanifah lantas memutuskan untuk konsentrasi sepenuhnya terhadap ilmu pengetahuan. Langkah pertama yang ia tempuh adalah menghafal al-Qur’an  qira’at Ashim, mengambil riwayat hadits, mempelajari ilmu bahasa Arab, kemudian mempelajari ilmu kalam (teologi), di mana Baghdad pada waktu itu sebagai pusat perkembangan ilmu ini.

Zufar bin Hudzail bercerita dalam riwayat yang disampaikan oleh al-Khathib al-Baghdadi melalui jalur periwayatan al-Khallal, dia berkata,”Aku mendengar Abu Hanifah berkata,’Aku mempelajari ilmu kalam sampai pada derajat yang sangat mahir. Kami biasanya mengadakan halaqah di dekat halaqah Hamad bin Abu Sulaiman. Suatu hari, ada seorang perempuan mendatangiku, lalu dia bertanya, ‘Seorang laki-laki mempunyai istri seorang budak, dia ingin menalaknya-menceraikannya. Berapa kali dia boleh menalaknya?’ Abu Hanifah berkata, ‘Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Lalu, aku menyuruhnya untuk bertanya ke Hamad. Setelah mendapat jawaban, aku suruh dia kembali lagi menemuiku.’Dia bertanya kepada Hamad. Hamad menjawab,’Suami menalaknya ketika dia sedang suci dari haid dan tidak digauli sebelumnya dengan satu kali talak. Setelah itu, dia meninggalkannya sampai dia mengalami haid dua kali. Jika sudah mandi besar dari haid yang kedua, dia boleh diperistri lagi.’

Setelah selesai, dia kembali kepadaku dan memberitahukan jawabannya. Aku berkata, ‘Aku tidak berkepentingan dengan ilmu kalam, seketika aku ambil sandal dan duduk dalam pengajian Hamad. Aku selalu mendengar masalah-masalah yang diajarkan oleh Hamad terus menghafalnya. Kemudian mengulanginya di esok hari, sehingga aku dapat menghafalnya dan mengoreksi kesalahan murid-murid yang lain. Hamad berkata, ‘Tidak ada yang boleh duduk di depan kecuali Abu Hanifah.’Abu Hanifah berkata, ‘Aku belajar kepadanya selama sepuluh tahun. Setelah itu, muncul keinginan dalam hati untuk meninggalkan halaqah Hamad dan membuat halaqah sendiri. Suatu hari, aku keluar malam-malam dan berniat melakukannya. Ketika masuk masjid, aku melihat Hamad dan muncul perasaan tidak enak dalam hati untuk meninggalkannya. Aku datang dan duduk di majelisnya. Pada malam itu datang berita kematian saudaranya di Bashrah, dia meninggalkan harta dan tidak memiliki ahli waris selain dirinya. Lantas dia memerintahkan, agar aku menggantikan dirinya mengajar. Pada waktu dia pergi, masalah-masalah yang belum pernah aku dengar darinya berdatangan. Aku menjawab dan menulisnya. Dua bulan ia pergi kemudian kembali lagi. Setelah ia datang, aku perlihatkan masalah-masalah yang ada selama ia pergi. Jumlahnya ada sekitar 6o masalah. Ia setuju dengan 4o jawaban dan sisanya ia tidak setuju. Setelah itu, aku bersumpah untuk tidak berpisah dari majelisnya sampai ia wafat.’Imam Abu Hanifah belajar kepada Hamad selama 18 tahun.

Dikutip dari buku “Biografi Imam Bukhari” karya Prof. Dr. Yahya Ismail, hal 221-222, penerbit Keira Publishing

Leave a comment

Periodisasi Kehidupan Imam Syafi’i

Periode pertama. Bermula dari pengajaran yang ia sampaikan di Masjidil Haram, sekembalinya ia dari Baghdad, hingga sembilan tahun setelahnya. Periodisasi seperti ini dilontarkan oleh Imam Abu Zahrah. Dalam periode ini, karya Imam Syafi ‘i yang berjudul ar-Risalah lahir. Kitab ushul fiqih pertama ini, lahir dari permintaan Abdurrahman bin Mahdi ketika dirinya meminta Imam Syafi’i untuk membuat sebuah kitab yang dapat menjelaskan makna al-Qur’an, mengumpulkan fan-fan hadits, legalitas ijmak, dan penjelasan tentang nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an dan sunnah.

Periode kedua. Bermula dari kedatangan Imam Syafi’i ke Baghdad untuk kedua kalinya dengan membawa karya ilmiah pertamanya dalam bidang ushul fiqih atas permintaan ulama Baghdad. Imam Syafi’i menilai banyak perubahan yang terjadi dalam masalah furu’dan ushul. Hal ini mendorongnya menyebarkan ilmunya secara luas. Imam al- Karabisi berkata, “Kami tidak mengetahui kitab itu apa, sunnah itu apa, dan ijmak itu apa sampai kami mendengar perkataan Imam Syafi’i, ‘Al-Kitab, as-Sunnah, al-Ijmak‘. Mereka-ulama sebelumnya-sibuk dengan persoalan riwayat dan furu’sehingga mereka tersentak oleh perkataan Imam Syafi’i,’Terkadang Allah menyebutkan redaksi lafazh umum, tetapi yang dikehendaki adalah khusus menyebutkan redaksi khusus, tetapi yang dikehendaki adalah makna umum.’Mereka berkata, ‘Kami tidak mengetahuinya sampai mereka mendengar Imam Syafi’i berkata,’Allah telah berfirman,’Orang-orang Quraisy telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu.'(QS. Ali Imran [3] : 173). Yang dimaksud kata ‘orang-orang (an-nasy dalam ayat tersebut bukanlah orang Quraisy
secara keseluruhan, melainkan yang dimaksud adalah Abu Sufyan saja. ” Dalam firman-Nya,”Wahai Nabi Apabila kamu ceraikan istri-istrimu. ” (QS. Ath-Thalaq [65] 1). Redaksi”Wahai Nabi”adalah lafazh khash, tetapi yang dimaksud adalah lafazh’am. Mereka tidak mengetahui hal tersebut sampai Imam Syafi’i datang menjelaskannya. Periode ini dimulai tahun 195 H sebagaimana dikatakan oleh Imam Abu Zahrah- sampai tahun 198 H. pada periode ini, Imam Syafi’i mengetengahkan pendapat para fuqaha pada zamannya, pendapat para sahabat, dan pendapat para tabiin disertai ragam perbedaannya, seperti pendapat Ali bin Abu Thalib, lbnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, dan lain sebagainya. Setelah itu, ia juga mengetengahkan khilafiyah mazhab dalam mazhab Abu Hanifah dan Abu Laila dengan riwayat Abu Yusuf yang terkenal dengan nama perbedaan para ahli fiqih di Irak (lkhtilaf ‘Iraqiyyin)”, dan juga mengemukakan Sirah al-Waqidi, fiqih Auza’i, dan beberapa pendapat lain. Lebih dari itu, ia menerapkan masalah yang ada dengan kaidah dan ushul mazhab yang ia bangun, lalu memilih pendapat mana yang lebih dekat dengan ushul yang ia pakai atau meninggalkannya dan mengambil pendapat yang baru.

Periode ketiga. Dimulai pada tahun 199 H. ketika ia hijrah ke Mesir sampai ia meninggal. Pada periode ini, keilmuan Imam Syafi’i benar-benar sudah matang. Setelah tinggal di Mesir, Imam Syafi’i melihat hal-hal baru yang belum pernah dilihatnya, baik yang berkaitan dengan adat kebiasaan, peradaban, maupun pengaruh ulama tabiin di sana. la merekonstruksi kitab ar-Risalah ; mengurangi dan menambah kontennya, dan melihat kembali hasil-hasil ijtihadnya. Periode ini bagi Imam Syafi’i adalah periode pembaharuan dan penelitian ulang atas pemikirannya sendiri.

Dikutip dari buku “Biografi Imam Bukhari” karya  Prof. Dr. Yahya Ismail, hal. 219-220, penerbit Keira Publishing

Leave a comment

al-Hikam (21)

“Meminta kepada Allah berarti menuduh-Nya. Mencari Allah berarti mengghibah-Nya. Mencari selain Allah pertanda tak punya malu kepada-Nya dan meminta kepada selain Allah pertanda jauh dari-Nya” (Ibnu Atha’illah al-Iskandari)

Penjelasan:

Dalam perjalanannya menuju Allah, seorang murid harus sibuk melakukan amal-amal saleh yang diridhai Tuhannya. Hatinya tidak boleh sibuk mencari sesuatu yang lain karena itu tercela dan bisa memutus jalannya menuju Allah.

Bila kaumeminta kepada Allah agar Dia memberimu rezeki dan makanan yang dapat membantumu berjalan atau agar Dia meluaskan rezekimu, sama dengan menuduh-Nya tidak pernah memberimu rezeki. Jika kaupercaya bahwa Dia Maha Mengetahui kebutuhanmu dan Mahakuasa memberimu tanpa kauminta, tentu kau tidak akan meminta sesuatu pun dari-Nya.

Bila kau mencari-cari Allah agar kaudidekatkan kepada-Nya, dihilangkan hijab antara dirimu dengan-Nya dan dapat melihat-Nya, tindakan ini sama saja dengan melakukan ghibah terhadap-Nya (membicarakan-Nya di belakang) karena Dzat Yang Mahahadir tidak perlu lagi dicari-cari.

Bila kau mencari selain Tuhanmu, baik berupa harta, kedudukan, kehormatan maupun yang lainnya, itu membuktikan sedikitnya rasa malumu kepada-Nya. Jika kau malu kepada-Nya, tentu kau tidak akan mencari selain-Nya.

Bila kau meminta kepada selain-Nya, seperti meminta kepada seorang manusia untuk mengatasi persoalan-persoalanmu dan saat meminta itu kau lupa kepada Tuhanmu, itu menandakan bahwa kau begitu jauh dari-Nya. Jika kau dekat dengan-Nya, pasti kau akan jauh dari selain-Nya. Sekiranya kau menyadari kedekatan-Nya denganmu, niscaya kau akan menghindari makhluk-makhluk-Nya. Namun karena kejauhanmu dengan-Nya, kau merasa butuh kepada selain-Nya untuk kaujadikan tempat berlindung dan meminta.

Bagi kalangan murid, meminta kepada sang Khaliq adalah hal yang lumrah. Bahkan meminta kepada makhluk pun adalah hal yang wajar, kecuali meminta dalam kerangka ibadah, etika, mengikuti perintah atau menyatakan kebutuhan. Sementara itu, orang-orang arif hanya memandang kepada Allah. Permintaan mereka, walaupun secara lahir tampak kepada makhluk, namun sebenarnya kepada sang Khaliq.

Dikutip dari buku “Al-Hikam” karya Ibnu Atha’illah al-Iskandari, hal 37-38, penerbit Turos Pustaka.

Leave a comment

Introspeksi Diri

Allah swt selalu mengawasi segala gerak-gerik hamba-Nya. Allah juga senantiasa menghitung semua amalan yang dilakukan hamba-Nya baik yang miskin maupun yang kaya.

Orang-orang yang cerdas akan memahami bahwa Allah selalu mengawasi gerak-gerik mereka dan sesungguhnya kelak akan diinterogasi tentang pikiran-pikiran dan lintasan-lintasan hati. Mereka menyimpulkan bahwa tidak ada sesuatu yang dapat menyelamatkannya kecuali terus berintrospeksi diri dalam setiap napas lintasan hati.

Jika kita melakukan introspeksi diri sebelum dihisap kelak, akan semakin ringanlah hisabnya pada hari kiamat. Ia akan selalu dapat memberikan jawaban terhadap setiap pertanyaan dan akan mendapat akhir yang baik. Orang yang enggan instropeksi diri, akan mengalami penyesalan yang tiada akhir. Urusannya akan panjang pada hari perhitungan tersebut dan ia akan diseret pada kehinaan dan murka Tuhan karena kejahatan-kejahatannya.

Oleh karena itu, hendaknya orang yang berakal selalu mengintrospeksi dirinya agar memperoleh budi pekerti yang luhur dan bebas dari budi pekerti yang tercela.

Khalifah Umar bin Khaththab r.a. pernah mengatakan,”Instropeksilah diri kalian sebelum kalian dihisab dan berhiaslah diri (dengan amal saleh) untuk menghadapi hari yang paling agung (hari kiamat) karena sesungguhnya perhitungan amal menjadi ringan bagi orang yang telah melakukan instropeksi diri di dunia.” (HR. Tirmidzi; hadits mauquf)

Dikutip dari buku “Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW” karya Mahmud al-Mishri hal 952-953, penerbit Pena

Leave a comment

Jebakan Istidraj

“Yang dikhawatirkan atas dirimu adalah dosa yang dilakukan secara berantai sehingga menjebakmu dan mengokohkan dirimu di dalamnya. Allah berfirman,’Kami akan menjebak mereka dari arah yang tidak mereka ketahui (al-Qalam: 44).'” (Ibnu ‘Athaillah)

Istidraj atau jebakan Allah kepada pelaku maksiat adalah dengan memberi mereka kesehatan dan kenikmatan yang kemudian mereka pergunakan sebagai sarana untuk semakin banyak melakukan kemaksiatan dan dosa.

Jangan sampai kau lalai dari mengingat Allah sehingga terjerumus dalam kemaksiatan yang terus kaulakukan setiap saat. Jangan sampai engkau melupakan Allah karena Dia terus melimpahimu dengan berbagai karunia-Nya. Ketahuilah, bisa jadi karunia tersebut merupakan istidraj atau jebakan menakutkan yang berakhir pada siksa Allah yang sangat besar.

Orang beriman selalu khawatir ketika pintu-pintu rezeki terbuka untuknya. Ia khawatir itu merupakan jebakan menuju siksa.Karena itu, ia senantiasa bersyukur kepada Allah dengan menjalankan ketaatan dan menunaikan hak-hak harta sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah.

 

Disarikan dari buku “Tajul Arus” karya Ibnu ‘Athaillah hal 144-146, penerbit Zaman

Leave a comment

‘Urf (Tradisi)

Ini merupakan satu sumber hukum yang diambil oleh mazhab Hanafi dan Maliki, yang berada di luar lingkup nash. ‘Urf adalah bentuk-bentuk muamalah yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung konsisten di tengah masyarakat. Dan ini tergolong salah satu sumber hukum dari ushul fiqh yang diambil dari intisari sabda Nabi Muhammad Saw:

“Apa yang dipandang baik kaum muslimin, maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang baik.”

Hadis ini, baik dari segi ibarat maupun tujuannya menunjukkan bahwa setiap perkara yang telah mentradisi di kalangan kaum muslim dan dipandang sebagai perkara yang baik, maka perkara tersebut juga dipandang baik dihadapan Allah. Menentang tradisi yang dipandang baik oleh masyarakat akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan.

Oleh karena itu, ulama mazhab Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf yang shahih sama dengan yang ditetapkan berdasarkan dalil syar’i. ‘Urf dapat dijadikan dalil dalam istinbath hukum apabila tidak ditemukan nash dalam al-Qur’an dan Sunnah.

Masalah-masalah fiqihiyyah adakalanya ditetapkan berdasarkan nash yang jelas dan adakalanya ditetapkan melalui cara ijtihad. Pada umumnya seorang mujtahid menetapkan hukum berdasarkan ‘urf yang berkembang pada zamannya dan seandainya ia berada di zaman lain dengan ‘urf yang baru, niscaya ia akan mengeluarkan pendapat bahwa seorang mujtahid harus mengenali adat-adat yang berlaku di tengah masyarakat. dapat dimengerti kalau terdapat banyak ketetapan hukum yang berbeda-beda lantaran perbedaan zaman. Dengan kata lain, seandainya suatu diktum hukum tetap dipertahankan seperti sediakala, niscaya akan menimbulkan masyaqqat dan kemudharatan terhadap manusia. Juga bertentangan dengan kaidah-kaidah syari’ah yang didasarkan pada takhfif (meringankan) dan taysir (memudahkan) serta dafu adh-dharar wa al-fasad (menghindarkan/menolak kemudharatan dan kerusakan) demi terciptanya tatanan masyarakat yang baik dan kokoh.

Disarikan dari buku “Ushul Fiqih” karya M. Abu Zahrah hal 442-446, penerbit Pustaka Firdaus

Leave a comment

Wahbah az-Zuhaili

Beliau lahir di desa Dir ‘Athiah, Suriah pada tahun 1932. Ia memperoleh ijazah sarjana Syariah dan ijazah Takhassus Pengajaran Bahasa Arab di Al-Azhar pada tahun 1956. Kemudian, ijazah Licence (Lc) bidang hukum diUniversitas ‘Ain Syams pada tahun 1957, Magister Syariah dari Fakultas Hukum Universitas Kairo pada tahun 1959 dan Doktor pada tahun 1963.

Satu catatan penting bahwa, beliau senantiasa menduduki ranking teratas pada semua jenjang pendidikannya. Menurutnya, rahasia kesuksesan dalam belajar terletak pada kesungguhan dalam menekuni pelajaran dan menjauhkan diri dari segala hal yang mengganggu proses belajar.

Moto hidupnya:”Inna sirra an-najah fi al-hayah ihsan ash-shilah billah ‘azza wa jalla” (Sesungguhnya, rahasia kesuksesan dalam hidup, adalah membaikkan hubungan dengan Allah ‘Azza wa Jalla).

Karir Akademis

Setelah memperoleh ijazah Doktor, pekerjaan pertama beliau adalah staf pengajar pada Fakultas Syariah, Universitas Damaskus pada tahun 1963, kemudian asisten dosen pada tahun 1969 dan profesor pada tahun 1975. Sebagai guru besar, ia menjadi dosen tamu pada sejumlah universitas di negara-negara Arab, seperti pada Fakultas Syariah dan Hukum serta Fakultas Adab Pascasarjana Universitas Benghazi, Libya dan Universitas Khurtum, Universitas Ummu Darman, Universitas Afrika yang ketiganya berada di Sudan. Ia juga pernah mengajar pada Universitas Uni Emirat Arab.

Ia sering menghadiri berbagai seminar internasional dan mempresentasikan makalah dalm berbagai forum ilmiah di negara-negara Arab, termasuk di Malaysia dan Indonesia. ia juga menjadi anggota tim redaksi berbagai jurnal dan majalah dan staf ahli pada berbagai lembaga riset fiqih dan peradaban Islam di Suriah, Yordania, Arab Saudi, Sudan, India dan Amerika.

Dikutip dari buku “Ensiklopedia Akhlak Muslim” penerbit Noura Books

Leave a comment

Tahqiq dalam Tasawuf

Tahqiq adalah tingkatan dalam sufi dimana kaum sufi yang telah menemukan kesejatian dalam laku kesufian.

Ibadah mereka tidak disifati dengan sifat terpaksa. Ibadah mereka adalah bentuk rasa syukur dengan tidak mengindahkan nilai amal mereka dan hasil-hasilnya. Mereka tak menyuguhkan amal-amal mereka untuk dijadikan sebagai harapan pahala.

Mereka melakukan amalan karena sang Tuan bertitah,”Lakukanlah!” dan mereka segera mengamalkan. Mereka tak pernah mengungkitnya. Terserah apa keinginan sang Tuan: apakah Ia akan menerimanya ataukah akan mencampakkannya. Tak pernah terbersit sedikitpun dalam benak mereka untuk menuntut pahala.

Dikutip dari buku “Biografi Ibn Arabi” hal 313, penerbit Keira Publishing

Leave a comment

Syukur menurut Ibn Arabi

Kerelaan dalam tahapan yang  tinggi adalah ketaatan sebagai rasa syukur.

Syukur akan membentuk ketaatan sebagai kesadaran paling tinggi terhadap wujud para sufi dan Allah Swt yang memberinya wujud. Ia adalah kekuatan dalam diri sufi untuk melenyapkan semua rasa wajib dari sebuah ketaatan.

Artinya, kebanyakan orang melakukan ketaatan sebagai kewajiban memenuhi semua kesadaran mereka atas ibadah kepada Allah Swt. Tetapi kaum sufi dalam kesadaran tinggi tersebut melakukannya dengan suka cita.

Dalam tahapan syukur, kaum sufi akan melakukan ketaatan sebagai suatu kenikmatan.

Syukur adalah kesadaran manusia tertinggi dari seseorang yang beragama. Kesadaran yang menautkan dirinya dengan Allah Swt dalam pertautan yang paling sempurna dan indah.

Dikutip dari buku “Biografi Ibn Arabi” hal 313, penerbit Keira Publishing

Leave a comment

Tasawuf menurut Ibn Arabi

Tasawuf sebagai inti dari Islam merupakan ketaatan yang telah menghadirkan sikap rela terhadap ketaatan itu sendiri.

Ketaatan yang muncul bukan karena terpaksa, takut atau khawatir. Ketaatan itu selalu dilandasi dengan kesadaran yang penuh dari keinginan untuk taat.

Kerelaan ini pada tahap paling sederhana adalah untuk mendapat ridha-Nya. Ridha adalah tujuan ketaatan kepada-Nya. Mesti demikian kerelaan semacam ini telah melampaui bentuk-bentuk kerelaan yang disuguhkan oleh orang-orang pada umunya. Karena kelompok ini mendasarkan kerelaannya pada pahala surga dan semua kenikmatan yang ada didalamnya. Sedangkan kaum sufi hanya menginginkan ridha-Nya. Adapun surga tak lebih dari buah ridha Allah Swt kepadanya.

Dikutip dari buku “Biografi Ibn Arabi” hal 312, penerbit Keira Publishing

Leave a comment