Posts Tagged Tafsir

Tafsir Surat An-Naas

Tafsir Surat An-Naas

Tafsir Ayat
27/9/2010 | 18 Syawal 1431 H
Oleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah

dakwatuna.com – Surat An-Nas ini Makkiyah menurut pendapat paling benar, terdiri dari 6 ayat. Ini merupakan ayat perlindungan yang kedua.

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ﴿١﴾ مَلِكِ النَّاسِ ﴿٢﴾ إِلَٰهِ النَّاسِ ﴿٣﴾ مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ ﴿٤﴾ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ ﴿٥﴾ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ ﴿٦﴾

1. Katakanlah, “Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
2. Raja manusia.
3. Sembahan manusia.
4. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
5. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,
6. Dari (golongan) jin dan manusia.”

Syarah:
Katakan kepada mereka, “Aku berlindung kepada Allah agar menjagaku dari kejahatan makhluk yang berbisik kepadaku. Aku berlindung kepada Tuhan manusia yang mendidik dan mengambil sumpah kepada mereka di kala mereka kecil atau lemah. Allah telah menguasai urusan mereka dan Dialah Pemilik Manusia. Dia Ilah mereka dan mereka budak-Nya. Dia yang layak disembah, ditunduki, dan dituju. Sebab Dialah Allah Taala yang menciptakan manusia, menumbuhkembangkan mereka, serta menguasai urusan mereka. Karena Dialah tempat berlindung dan meminta pertolongan. Bernaung kepada-Nya dari kejahatan bisikan di dalam hati yang biasa menghiasi kejahatan dan menampakkan keburukan dengan bentuk kebaikan. Itulah bisikan yang kebanyakan mengajak kepada larangan, baik dari bangsa jin, makhluk yang tersembunyi, yang mereka itu anak-anak dan tentara iblis atau dari bangsa manusia seperti halnya teman-teman buruk.
Mudah-mudahan kita dipelihara Allah dari kejahatan setan jin dan setan manusia. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan. Dia juga Maha Kuasa atas segala sesuatu. Allah sendiri telah mengajarkan kita bagaimana berlindung diri dari kejahatan lahir maupun batin.”

Wallahu A’lam.

, ,

Leave a comment

Tafsir Surat Al-Falaq

Tafsir Surat Al-Falaq

Tafsir Ayat
11/10/2010 | 03 Zulqaedah 1431 H
Oleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah

dakwatuna.com – Surat An-Falaq ini Makkiyah. Ada yang mengatakan Madaniyyah. Terdiri dari 5 ayat, dan merupakan salah satu dari dua ayat perlindungan.

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ ﴿١﴾ مِن شَرِّ مَا خَلَقَ ﴿٢﴾ وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ ﴿٣﴾ وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ ﴿٤﴾ وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ ﴿٥﴾

1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh,
2. Dari kejahatan makhluk-Nya,
3. Dan dari kejahatan malam apabila Telah gelap gulita,
4. Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul,
5. Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.”

Syarah:

Diriwayatkan bahwa ada orang Yahudi menyihir Nabi saw. Hingga beliau sakit sampai tiga hari. Sakit beliau sangat parah sampai-sampai tidak sadar terhadap apa yang dilakukan. Kemudian Jibril datang dan memberitahu tentang bagian yang terkena sihir. Setelah itu beliau dibacakan surat An-Nas dan Al-Falaq akhirnya kembali sadar seperti semula.
Menurutku riwayat ini tidak benar sebagaimana pendapat para ulama. Ia hanya celoteh orang-orang Yahudi dengan tujuan agar manusia ragu terhadap Nabi saw. Dan menganggap beliau terkena sihir. Padahal Allah berfirman,

إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِئِينَ
﴿٩٥﴾

“Sesungguhnya kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan (kamu).” (QS. Al-Hijr: 95).

Katakan kepada mereka, ya Muhammad, “Aku berlindung kepada Tuhan seluruh Alam yang dapat membelah tanah dan langit, aku berlabuh kepada-Nya dari semua kejahatan yang menimpaku, keluargaku, dakwahku, dan sahabatku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan malam jika telah menjadi gelap gulita dan menutupi seluruh alam. Karena kegelapan malam bisa menjadi tabir bagi setiap orang yang melampaui batas dan pendosa. Aku juga berlindung kepada-Mu dari para wanita peniup buhul tali yang mereka ikat.” Sebagaimana yang dijelaskan tadi. Namun maksud yang sebenarnya adalah, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan para pengadu domba yang memutuskan hubungan cinta kasih. Dengan demikian ta’ pada kata,

النفاثة

bermakna hiperbol dan tidak menujukkan ta’nits (feminim). Yakni orang yang berusaha mengadu domba, mengerahkan segenap upayanya untuk menyakiti orang yang dipuji. Tidak ada jalan untuk mendapatkan keridhaan orang semacam ini. Maka tidak ada cara lain menghadapi orang tersebut selain menghadap kepada Allah agar berkenan memelihara kita dari kejahatannya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

, ,

Leave a comment

Tafsir Surat Al-Ikhlash

Tafsir Surat Al-Ikhlash

Tafsir Ayat
1/11/2010 | 24 Zulqaedah 1431 H
Oleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah

dakwatuna.com – Surat ini Makkiyah, terdiri dari 4 ayat. Merupakan surat tauhid dan pensucian nama Allah Taala. Ia merupakan prinsip pertama dan pilar tama Islam. Oleh karena itu pahala membaca surat ini disejajarkan dengan sepertiga Al-Qur’an. Karena ada tiga prinsip umum: tauhid, penerapan hudud dan perbuatan hamba, serta disebutkan dahsyatnya hari Kiamat. Ini tidaklah mengherankan bagi orang yang diberi karunia untuk membacanya dengan tadabbur dan pemahaman, hingga pahalanya disamakan dengan orang membaca sepertiga Al-Qur’an.

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴿٤﴾

1. Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”

Syarah:
Inilah prinsip pertama dan tugas utama yang diemban Nabi saw. Beliau pun menyingsingkan lengan baju dan mulai mengajak manusia kepada tauhid dan beribadah kepada Allah yang Esa. Oleh karena itu di dalam surat ini Allah memerintahkan beliau agar mengatakan, “Katakan, ‘Dialah Allah yang Esa.” Katakan kepada mereka, ya Muhammad, “Berita ini benar karena didukung oleh kejujuran dan bukti yang jelas. Dialah Allah yang Esa. Dzat Allah satu dan tiada berbilang. Sifat-Nya satu dan selain-Nya tidak memiliki sifat yang sama dengan sifat-Nya. Satu perbuatan dan selain-Nya tidak memiliki perbuatan seperti perbuatan-Nya.

Barangkali pengertian kata ganti ‘dia’ pada awal ayat adalah penegasan di awal tentang beratnya ungkapan berikutnya dan penjelasan tentang suatu bahaya yang membuatmu harus mencari dan menoleh kepadanya. Sebab kata ganti tersebut memaksamu untuk memperhatikan ungkapan berikutnya. Jika kemudian ada tafsir dan penjelasannya jiwa pun merasa tenang. Barangkali Anda bertanya, tidakkah sebaiknya dikatakan, “Allah yang Esa” sebagai pengganti dari kata, “Allah itu Esa.” Jawabannya, bahwa ungkapan seperti ini adalah untuk mengukuhkan bahwa Allah itu Esa dan tiada berbilang Dzat-Nya.

Kalau dikatakan, “Allah yang Maha Esa,” tentu implikasinya mereka akan meyakini keesaan-Nya namun meragukan eksistensi keesaan itu. Padahal maksudnya adalah meniadakan pembilangan sebagaimana yang mereka yakini. Oleh karena itu Allah berfirman,

هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾
“Dia-lah Allah, Dia itu Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.”

Artinya tiada sesuatu pun di atas-Nya dan Dia tidak butuh kepada sesuatu pun. Bahkan selain-Nya butuh kepada-Nya. Semua makhluk perlu berlindung kepada-Nya di saat sulit dan krisis mendera. Maha Agung Allah dan penuh berkah semua nikmat-Nya.

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾
“Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan”

Ini merupakan pensucian Allah dari mempunyai anak laki-laki, anak perempuan, ayah, atau ibu. Allah tidak mempunyai anak adalah bantahan terhadap orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa malaikat itu anak-anak perempuan Allah, terhadap orang-orang Nasrani dan Yahudi yang mengatakan ‘Uzair dan Isa anak Allah. Dia juga bukan anak sebagaimana orang-orang Nasrani mengatakan Al-Masih itu anak Allah lalu mereka menyembahnya sebagaimana menyembah ayahnya. Ketidakmungkinan Allah mempunyai anak karena seorang anak biasanya bagian yang terpisah dari ayahnya. Tentu ini menuntut adanya pembilangan dan munculnya sesuatu yang baru serta serupa dengan makhluk. Allah tidak membutuhkan anak karena Dialah yang menciptakan alam semesta, menciptakan langit dan bumi serta mewarisinya. Sedangkan ketidakmungkinan Allah sebagai anak, karena sebuah aksioma bahwa anak membutuhkan ayah dan ibu, membutuhkan susu dan yang menyusuinya. Maha Tinggi Allah dari semua itu setinggi-tingginya.

وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴿٤﴾
“Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”

Ya. Selama satu Dzat-Nya dan tidak berbilang, bukan ayah seseorang dan bukan anaknya, maka Dia tidak menyerupai makhluk-Nya. Tiada yang menyerupai-Nya atau sekutu-Nya. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sekutukan.

Meskipun ringkas, surat ini membantah orang-orang musyrik Arab, Nasrani, dan Yahudi. Menggagalkan pemahaman Manaisme (Al-Manawiyah) yang mempercayai tuhan cahaya dan kegelapan, juga terhadap Nasrani yang berpaham trinitas, terhadap agama Shabi’ah yang menyembah bintang-bintang dan galaksi, terhadap orang-orang musyrik Arab yang mengira selain-Nya dapat diandalkan di saat membutuhkan, atau bahwa Allah mempunyai sekutu. Maha Tinggi Allah dari semua itu.

Surat ini dinamakan Al-Ikhlas, karena ia mengukuhkan keesaan Allah, tiada sekutu bagi-Nya, Dia sendiri yang dituju untuk memenuhi semua kebutuhan, yang tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tiada yang menyerupai dan tandingan-Nya. Konsekuensi dari semua itu adalah ikhlas beribadah kepada Allah dan ikhlas menghadap kepada-Nya saja.

(hdn)

, ,

Leave a comment

Tafsir Surat ‘Abasa, Bagian ke-2: Pengarahan Allah SWT kepada Nabi SAW

Tafsir Surat ‘Abasa, Bagian ke-2: Pengarahan Allah SWT kepada Nabi SAW

Tafsir Ayat
12/8/2011 | 13 Ramadhan 1432 H
Oleh: Tim dakwatuna.com

Pengarahan Allah SWT kepada Nabi SAW ketika Menghadapi Para Pembesar Quraisy dan Ibnu Ummi Maktum, dan Refleksi Para Sahabat dalam Mengimplementasikan Pelajaran darinya

۞ عَبَسَ وَتَوَلَّىٰ﴿١﴾أَن جَاءَهُ الْأَعْمَىٰ﴿٢﴾وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّىٰ﴿٣﴾أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنفَعَهُ الذِّكْرَىٰ﴿٤﴾أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَىٰ﴿٥﴾فَأَنتَ لَهُ تَصَدَّىٰ﴿٦﴾وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّىٰ﴿٧﴾وَأَمَّا مَن جَاءَكَ يَسْعَىٰ﴿٨﴾وَهُوَ يَخْشَىٰ﴿٩﴾فَأَنتَ عَنْهُ تَلَهَّىٰ﴿١٠﴾كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ﴿١١﴾فَمَن شَاءَ ذَكَرَهُ﴿١٢﴾فِي صُحُفٍ مُّكَرَّمَةٍ﴿١٣﴾مَّرْفُوعَةٍ مُّطَهَّرَةٍ﴿١٤﴾بِأَيْدِي سَفَرَةٍ﴿١٥﴾كِرَامٍ بَرَرَةٍ﴿١٦﴾

Artinya:
1. Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,
2. Karena telah datang seorang buta kepadanya.
3. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
4. Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
5. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup,
6. Maka kamu melayaninya.
7. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
8. Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
9. Sedang ia takut kepada (Allah).
10. Maka kamu mengabaikannya.
11. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,
12. Maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya,
13. Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan,
14. Yang ditinggikan lagi disucikan,
15. Di tangan para penulis (malaikat),
16. Yang mulia lagi berbakti.
(QS. ‘Abasa: 1-16)

dakwatuna.com – Pengarahan yang turun berkenaan dengan peristiwa ini merupakan persoalan sangat besar yang jauh lebih besar dari apa yang tampak di luar. Sesungguhnya ini adalah mukjizat dan hakikat yang hendak ditetapkan Allah di muka bumi, beserta dampak penetapan ini terhadap perbuatan manusia di dalam kehidupan. Barangkali ia adalah mukjizat Islam yang pertama dan sekaligus terbesar. Akan tetapi, pengarahan ini datang sedemikian rupa, sebagai komentar atas peristiwa individual, menurut metode Ilahi dalam Al-Qur’an dalam menjadikan peristiwa perseorangan dan dalam konteks terbatas sebagai kesempatan untuk menetapkan hakikat yang mutlak dan manhaj yang bakal diberlakukan.

Jika tidak demikian, maka hakikat yang menjadi sasaran penetapan di sini beserta dampak-dampak praktis yang ditimbulkannya di dalam kehidupan umat Islam merupakan inti Islam. Itulah hakikat yang dikehendaki Islam dan semua risalah langit sebelumnya untuk ditanamkan di bumi.
Hakikat ini bukan semata mata bagaimana seseorang bermuamalah dengan orang lain, atau bagaimana sekelompok orang bergaul dengan kelompok lain sebagaimana makna yang dekat dengan peristiwa beserta komentarnya itu. Akan tetapi, hakikat benar-benar lebih jauh dan lebih besar daripada ini. Ikatannya ialah bagaimana manusia menimbang semua urusan kehidupan, dan dari sumber mana mereka mengembangkan dan menentukan nilai -nilai yang mereka pergunakan untuk menimbang sesuatu.

Hakikat yang menjadi sasaran penetapan ini ialah manusia di bumi harus mengembangkan tata nilai dan tata norma mereka dengan semata-mata berpedoman pada kalimat IIahi dari langit (wahyu). Mereka tidak terikat oleh lingkungan-lingkungan bumi, tidak terikat dengan tempat-tempat hidup mereka, serta tidak bersumber dari pemikiran-pemikiran mereka yang sangat terikat dengan tempat-tempat dan lingkungan-lingkungan itu. Ini adalah persoalan yang sangat besar, tetapi juga sangat sulit. Sulit bagi manusia yang hidup di bumi, tetapi menggunakan norma-norma dan nilai-nilai yang datang dari langit. Yakni, terlepas dari per timbangan-pertimbangan bumi, dan terbebas dari tekanan-tekanan berbagai pertimbangan tersebut.

Kita mengetahui kebesaran dan kesulitan persoalan ini ketika kita mengetahui besarnya realitas manusia, perpindahannya kepada perasaan, dan tekanannya pada jiwa. Juga sulitnya lepas dari lingkungan sekitar dan tekanan-tekanan yang timbul dari realitas kehidupan masyarakat, yang bersumber dari kondisi-kondisi penghidupan, ikatan-ikatan kehidupan, warisan budaya, sisa-sisa sejarah, dan semua hal yang mengikat mereka erat-erat dengan bumi (budaya, peradaban, lingkungan, situasi, kondisi, dan sebagainya). Ditambah dengan tekanan-tekanan terhadap jiwa karena pertimbangan-pertimbangan, tata norma, tata nilai, pandangan, dan ideologi. Inilah satu-satunya nilai dan tolok ukur untuk menilai dan mengukur berbobot ataukah tidaknya seorang manusia. Ini adalah norma langit yang murni, tidak ada hubungannya dengan tempat, situasi, dan lingkungan bumi.

Ya, yang demikian ini saja rasanya sudah cukup. Karena, kebesaran, ketinggian, dan keluhuran jiwa yang menjadikan urusan yang hendak dicapainya sampai membutuhkan peringatan dan pengarahan itu, merupakan urusan yang lebih besar daripada kebesaran itu sendiri, dan lebih tinggi daripada ketinggiannya itu. Inilah hakikat persoalan itu, yang menjadi tujuan pengarahan IIahi untuk menetapkan dan memantapkannya di muka bumi, melalui peris tiwa unik ini. Yakni, agar manusia mengabaikan norma-norma dan timbangan-timbangan mereka kepada norma-norma dan pertimbangan-pertimbangan dari langit, terlepas dari nilai-nilai dan timbangan -timbangan bumi yang bersumber dari realitas (budaya, tradisi, lingkungan) mereka. Inilah persoalan yang besar dan agung itu. Kita juga mengetahui besarnya hakikat urusan ini dan kesulitannya ketika kita mengetahui bahwa jiwa Muhammad bin Abdullah saw. sangat memerlukan agar sampai kepadanya pengarahan dari Tuhannya. Bahkan, memerlukan celaan keras ini, yang sampai batas keheranan terhadap tindakannya. Dengan demikian, untuk menggambarkan besarnya suatu urusan di dunia ini, cukup kiranya kalau dikatakan bahwa jiwa Muhammad bin Abdullah saw. sangat membutuhkan peringatan dan pengarahan. Sesungguhnya timbangan yang diturunkan Allah bersama para rasul untuk meluruskan semua tata nilai itu adalah,

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.“ (a1-Hujuraat: 13)

Akan tetapi, manusia hidup di bumi serta berhubungan dan berinteraksi dengan sesamanya dengan berbagai macam hubungan yang mempunyai timbangan, bobot, dan daya tarik terhadap kehidupannya. Mereka bergaul dan bermuamalah dengan nilai-nilai lain seperti nasab (keturunan), kekuatan (kekuasaan), dan harta benda (kekayaan). Termasuk juga nilai-nilai yang timbul dari hubungan kerja, perekonomian ataupun non perekonomian. Dalam semua hal itu, pertimbangan sebagian manusia berbeda dengan sebagian yang lain. Sehingga, yang sebagian lebih unggul dalam timbangan-tim bangan bumi.

Kemudian Islam datang untuk mengatakan, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. “Lalu, ditutupnya lembaran yang berisi nilai-nilai yang berat timbangannya dalam kehidupan manusia, keras tekanannya terhadap perasaan mereka, dan kuat daya tariknya ke bumi. Semuanya diganti dengan nilai-nilai yang bersumber langsung dari langit, yang hanya ini saja yang diakui dalam timbangan langit.

Kemudian datanglah peristiwa ini untuk menetapkan nilai itu dalam sebuah peristiwa yang terbatas. Juga untuk menetapkan prinsip dasar bahwa “timbangan yang sebenarnya adalah timbangan langit, dan nilai yang sebenarnya adalah nilai langit. Umat Islam harus meninggalkan semua tradisi yang menjadi kebiasaan manusia; dan harus meninggalkan segala sesuatu yang bersumber dari ikatan- ikatan bumi seperti tata nilai, pandangan hidup, ideologi, norma-norma, dan pemikiran-pemikiran. Sehingga, mereka hanya berpegang pada nilai-nilai dari langit saja dan menimbangnya dengan tim bangan langit saja”.

Datanglah seorang tuna netra yang miskin, bernama Ibnu Ummi Maktum, kepada Rasulullah saw yang sedang sibuk mengurusi sejumlah pembesar Quraisy, yaitu Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Abu Jahal Amr bin Hisyam, Umayyah bin Khalaf, dan Al-Walid ibnul-Mughirah, bersama Abbas bin Abdul Muthalib. Waktu itu Rasulullah saw. sedang mengajak mereka memeluk Islam. Beliau berharap bahwa masuk Islamnya mereka akan membawa kebaikan bagi Islam yang selama ini dipersulit dan ditekan di Mekah.

Mereka itulah yang biasa menghambat jalan Islam dengan menggunakan harta, kedudukan, dan kekuatannya. Mereka menghalang-halangi manusia dari Islam, dan melakukan berbagai macam tipu daya untuk membekukan Islam di Mekah. Sedangkan, yang lainnya melakukan penghalangan dan penghambatan di luar Mekah. Mereka tidak mau menerima dakwah yang disampaikan oleh orang yang paling dekat persahabatannya dengan mereka dan paling kuat ikatan kekeluargaannya. Pasalnya, mereka hidup di dalam lingkungan jahiliah yang sarat dengan fanatisme kabilah, yang menjadikan sikap kabilah sebagai pusat nilai dan pemikiran.

Lelaki tuna netra yang fakir ini datang kepada Rasulullah saw. ketika beliau sedang sibuk mengurusi pemuka-pemuka Quraisy. Beliau sedang mengurusi sesuatu bukan untuk dirinya dan kepentingannya sendiri, melainkan untuk Islam dan kepentingan Islam. Karena seandainya mereka masuk Islam, maka akan tersingkirkanlah hambatan-hambatan yang sulit dan duri-duri yang tajam dari jalan dakwah di Mekah. Sehingga, Islam tentu akan berkembang di sekitarnya, sesudah masuk Islamnya tokoh-tokoh dan pembesar-pembesar tersebut

Lelaki ini datang, lalu berkata kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, tolong bacakan dan ajarkan kepadaku apa yang telah diajarkan Allah kepadamu!” Ia mengulang-ulang perkataan ini padahal ia mengetahui kesibukan Rasulullah saw. dalam menghadapi urusan ini. Maka, Rasulullah saw. tidak senang kalau pembicaraan dan perhatian beliau terhadap tokoh -tokoh Quraisy itu terputus. Ketidaksenangan beliau tampak di wajahnya, yang sudah tentu tidak terlihat oleh lelaki tuna netra itu, yaitu beliau bermuka masam dan berpaling. Berpaling dari lelaki fakir yang sendirian tetapi dapat mengganggunya dari urusan yang sangat penting ini. Yakni, urusan yang di belakangnya terdapat harapan yang banyak bagi dakwah dan agamanya. Atau, urusan yang didorong oleh keinginannya untuk membela agamanya, ketulusannya terhadap urusan dakwahnya, kecintaannya terhadap kemaslahatan Islam, dan keinginannya terhadap perkembangan dan penyebarannya.

Di sinilah langit campur tangan untuk mengatakan kata pasti dalam urusan ini, untuk menaruh rambu-rambu dan semua petunjuk jalan, dan untuk menetapkan timbangan untuk menimbang semua norma dan nilai, tanpa menghiraukan semua jenis lingkungan dan pemikiran. Termasuk pemikiran tentang kemaslahatan dakwah menurut pandangan manusia, bahkan menurut pandangan penghulu semua manusia yakni Nabi Muhammad saw.

Datanglah celaan dari Allah Yang Mahatinggi lagi Maha Luhur kepada Nabi-Nya yang mulia, pemilik akhlaq yang luhur, dengan uslub yang keras dan tegas. Hanya satu kali ini saja di dalam seluruh Al -Qur’an dikatakan kepada Rasul tercinta dan dekat dengan Allah suatu perkataan, ‘sekali-kali jangan!, yaitu perkataan untuk membentak. Hal itu disebabkan besarnya urusan yang kepadanya agama ini bertumpu.

”Dia bermuka masam dan berpaling karena telah datang seseorang tuna netra kepadanya.” (‘Abasa: 1-2).

Uslub yang dipergunakan Al-Qur’an di dalam menyampaikan celaan IIahi ini merupakan uslub yang tidak mungkin dapat diterjemahkan ke dalam bahasa tulis manusia. Karena, bahasa tulis itu memiliki ikatan-ikatan, aturan-aturan, dan tradisi -tradisi, yang menurunkan suhu pengarahan dalam bentuknya yang hidup secara langsung. Uslub Qur’ani ini juga unik dengan kemampuan pemaparannya dalam bentuk ini dalam sentuhan-sentuhan sekilas, kalimat-kalimat yang terputus-putus, dan ungkapan-ungkapan yang seakan-akan berupa kesan-kesan, dengan intonasi-intonasi, sifat-sifat, dan kilasan-kilasan yang hidup. Ayat ini menggunakan bentuk cerita tentang gang ketiga yang bukan lawan bicara. Di dalam uslub ‘metode’ ini terdapat isyarat yang mengesankan bahwa persoalan ini menjadi topik pembicaraan yang disertai ketidaksenangan di sisi Allah. Dia tidak suka mengarahkan secara langsung perkataan ini kepada Nabi-Nya dan kekasih-Nya, karena kasih sayang-Nya dan untuk menghormatinya. Sehingga, tidak diucap kan langsung sesuatu yang tidak menyenangkan ini kepadanya.

Kemudian diputarlah pernyataan ini, sesudah ditutupnya perbuatan yang menyebabkan datangnya celaan ini, kepada celaan kepada lawan bicara. Maka, dimulailah celaan ini dengan sedikit tenang,

‘Tahukah kamu tahu barangkali ia ingin membersihkan diri (dari dosa), atau dia ingin mendapatkan pengajaran, atau pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?” (`Abasa: 3-4)

Tahukah kamu, barangkali akan terealisir kebaikan yang besar ini? Yaitu, lelaki tuna netra yang datang kepadamu karena mengharapkan kebaikan dari sisimu ini ingin membersihkan diri nya, menyadarkan hatinya, dan mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu bermanfaat baginya? Tahukah kamu barangkali hatinya akan bersinar dengan secercah cahaya dari Allah, karena tidak mungkin mercusuar di bumi menerima cahaya langit?

Ini adalah suatu hal yang dapat terwujud apabila hati sudah terbuka terhadap petunjuk, dan hakikat iman sudah sempurna di dalamnya. Ini adalah persoalan besar dan berat dalam timbangan Allah.

Kemudian intonasi celaannya naik lagi, nadanya keras, dan beralih kepada sikap keheranan terhadap tindakan itu, yang menggantikan celaan,

‘Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal, tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut (kepada Allah), maka kamu mengabaikannya. ” (‘Abasa: 5-10)

Tentang orang yang sudah menampakkan ke tidakbutuhannya kepada dirimu, agamamu, petunjuk, kebaikan, cahaya, dan kesucian yang ada di sisimu; kamu layani dia, perhatikan urusannya, serius untuk menunjukkannya, dan hadapi dia, sedang dia berpaling darimu! “Apakah kerugianmu kalau dia tidak membersihkan dirinya (beriman)?”Apakah kerugianmu kalau dia tetap di dalam kekotoran dan kejorokannya? Toh kamu tidak akan dimintai per tanggungjawaban tentang dosanya. Kamu tidak dapat ditolong olehnya, dan kamu juga tidak berkewajiban melaksanakan urusannya.
‘Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran) “yang datang dengan penuh kepatuhan dan kesadaran, “serta takut (kepada Allah)”dan berusaha menjaga dirinya, “maka kamu mengabaikannya”. Sikap mengabaikan orang yang beriman dan menginginkan kebaikan serta bertaqwa itu, disebut dengan “talahhiy ” sebagai sifat yang keras dan kasar.

Kemudian tekanan celaan ditinggikan lagi hingga menjadi bentakan dan gertakan, “‘sekali-kali jangan demikian’.” Jangan sekali-kali begitu! Suatu pernyataan yang menarik perhatian dalam hal ini.

Lalu dijelaskanlah hakikat dakwah ini beserta kemuliaan, keagungan, ketinggiannya, dan ketidakbutuhannya kepada seorang pun dan sandaran apa pun. Juga pemfokusan perhatiannya kepada orang yang menginginkan dakwah itu, apa pun kedudukan dan timbangannya dalam timbangan-timbangan dunia,

“Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan. Barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, di dalam kitab-kitab yang dimuliakan dan ditinggikan serta disucikan, di tangan para penulis (malaikat) yang mulia lagi berbakti.” (‘Abasa.: 11-16)

Peringatan itu sangat mulia kalimat dan lembarannya (kitabnya), ditinggikan, disucikan, dan diserahkan kepada para utusan dari kalangan makhluk tertinggi untuk menyampaikannya kepada orang -orang pilihan di muka bumi, agar disampaikan lagi kepada umat manusia. Di samping itu para utusan (malaikat) tersebut adalah mulia dan sangat berbakti. Karena itu, peringatan (wahyu Allah) itu adalah mulia dan suci mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengannya, dan sesuatu yang bersentuhan dengan nya, dari dekat ataupun jauh. Ia adalah terhormat, tidak pantas digunakan melayani orang-orang yang berpaling dan menampakkan ketidakbutuhannya kepadanya. Maka, peringatan (dakwah, Al-Qur’an) ini hanya untuk orang yang mengenal kemuliaannya dan mencari penyucian diri dengannya.

Inilah timbangan Allah, yang dipergunakan untuk menimbang semua tata nilai dan pemikiran, untuk mengukur manusia dan semua peraturan. Inilah kalimat Allah yang menjadi muara semua perkataan, hukum, dan keputusan.

Di manakah dia berada? Kapan? Di Mekah, dakwah dilakukan dengan mengendap-endap, dan jumlah kaum muslimin minoritas. Adapun melayani pembesar-pembesar Quraisy yang dilakukan Nabi saw. itu bukan didorong oleh kepentingan pribadi, dan sikap tidak menghiraukan lelaki tuna netra yang fakir itu juga tidak dimotivasi oleh pertimbangan pribadi, melainkan untuk kepentingan dakwah sejak awal hingga akhir. Akan tetapi, dakwah ini sendiri merupakan timbangan dan nilai. Ia datang untuk menetapkan timbangan dan nilai ini di dalam ke hidupan manusia. Maka, ia tidak akan menjadi kokoh dan kuat, serta memperoleh kemenangan kecuali dengan ditetapkannya timbangan dan nilai-nilai ini.

Sesungguhnya urusan ini, sebagaimana sudah dikemukakan, lebih agung dan lebih kompleks daripada peristiwa personal dan persoalan langsungnya. Akan tetapi, ia hendak menyampaikan kepada manusia timbangan-timbangan dan nilai-nilai serta kalimat-kalimat langit, bukan dari bumi. Yaitu,

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertaqwa. “

Orang yang paling bertaqwa di sisi Allah ialah orang yang berhak mendapatkan perlindungan dan perhatian, meskipun ia lepas dari semua unsur dan pemikiran-pemikiran lain, yang dikenal manusia di bawah tekanan realitas bumi (duniawi) dan kesepakatan-kesepakatan mereka. Nasab (keturunan), kekuatan, harta, dan semua tata nilai tidak ada bobotnya apabila lepas dari iman dan takwa. Satu-satunya hal yang layak mendapatkan timbangan dan penilai an ialah apabila diperhitungkan dengan perhitungan iman dan takwa.

Inilah hakikat besar yang menjadi sasaran pengarahan Ilahi yang ditetapkan dalam konteks ini. Pengarahan itu berdasarkan metode Al-Qur’an dalam menjadikan peristiwa personal dan dalam konteks terbatas, sebagai sarana untuk menetapkan hakikat yang mutlak dan manhaj yang berlaku.

Jiwa Rasulullah saw. sangat terkesan oleh pengarahan dan celaan ini. Ia memperoleh kesan yang kuat dan hangat juga termotivasi untuk menetapkan hakikat ini di dalam seluruh kehidupan beliau dan kehidupan masyarakat Islam, dengan menyifatinya sebagai hakikat Islam yang pertama.

Maka, aktivitas pertama yang dilakukan Rasulullah saw. ialah mengumumkan pengarahan dan celaan yang turun berkenaan dengan peristiwa tersebut. Pengumuman ini merupakan sesuatu yang besar dan luar biasa serta tidak dapat dilakukan ke cuali oleh seorang Rasulullah, dari sisi mana pun kita melihatnya.

Ya, tidak ada seorang pun yang mampu kecuali Rasulullah untuk mengumumkan kepada manusia bahwa, dia dicela demikian keras dengan bentuk yang unik ini karena suatu kekeliruan yang dilakukannya. Cukuplah bagi orang besar mana pun, selain Rasulullah, untuk mengakui kesalahan ini dan memperbaikinya pada masa yang akan datang. Akan tetapi, ini adalah persoalan nubuwwah ‘kenabian’, persoalan yang lain, dan ufuk yang lain pula.

Tidak ada yang mampu selain Rasulullah untuk menyampaikan hal ini sedemikian rupa di hadapan pembesar-pembesar Quraisy dalam kondisi seperti itu. Yakni, dalam rangka dakwah terhadap orang- orang yang membangga-banggakan nasab, harta, dan kekuatannya, dalam suatu lingkungan yang tidak ada tempat padanya selain pemikiran-pemikir an ini. Sehingga, pada batas di mana mengenai Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim ini mereka mengatakan,

”Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dan salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif)” (Az-Zukhruf: 31)

Itulah nasab beliau di antara mereka. Secara pribadi, beliau tidak memiliki kedudukan apa-apa di kalangan mereka sebelum menjadi rasul.
Kemudian, tidak mungkin hal ini terjadi di lingkungan seperti ini kecuali karena wahyu dari langit. Ini tidak mungkin bersumber dari bumi ini, apalagi pada masa itu.
Itu adalah kekuatan langit yang mendorong urusan seperti itu berjalan di jalannya. Itu tembus dari celah jiwa Rasulullah saw. kepada lingkungan di sekitarnya. Kemudian ia menetap padanya secara dalam, kuat, dan mantap, serta berlaku sepanjang masa di dalam kehidupan umat Islam.

Sungguh ini merupakan kelahiran baru bagi kemanusiaan seperti lahirnya manusia dengan tabiatnya. Adapun yang lebih besar lagi nilainya ialah terimbasnya manusia secara hakiki, dalam perasaan dan realitas, dari semua tata nilai yang sudah dikenal dan diberlakukan di muka bumi. Mereka beralih kepada nilai-nilai lain yang turun dari langit dengan terlepas dari semua tata nilai, pertimbangan-pertimbangan, pandangan, pola pikir, lingkungan kerja, dan ikatan realitas yang memiliki daya tekan yang berat dan hubungan-hubungan daging, darah, urat saraf dan perasaan yang ada di bumi.

Kemudian nilai-nilai baru itu dipahami dan dicerna oleh semua orang. Maka, berubahlah urusan besar yang untuk menyampaikannya ini. Jiwa nabi Muhammad saw. memerlukan peringatan dan pengarahan. Berubahlah sesuatu yang besar ini menjadi terang-benderang di dalam hati nurani orang muslim, menjadi syariat masyarakat Islam, dan men jadi hakikat kehidupan yang utama di dalam kehidupan masyarakat Islam sepanjang masa.

Sesungguhnya kita hampir tidak mengerti hakikat kelahiran baru itu. Karena, kita tidak pernah membayangkan di dalam hati kita hakikat keterbebasan dari semua tata nilai, timbangan-timbangan, dan norma-norma serta pemikiran-pemikiran yang dilahirkan oleh tatanan dunia dan hubungan-hubungannya yang memiliki daya tekan yang besar sehingga menimbulkan persepsi sebagian pengikut mazhab progresif’, bahwa salah satu sisi sistem duniawi , yaitu sistem ekonomi itulah yang menentukan tempat kembalinya manusia beserta aqidah, kebudayaan, peradaban, perundang-undangan, tradisi, dan pandangannya terhadap kehidupan. Sebagaimana yang dikatakan oleh mazhab tafsir materi terhadap sejarah dengan sempitnya wawasan dan kebodohan yang berlebihan terhadap hakikat kehidupan.

Sungguh apa yang diwahyukan Allah kepada Rasulullah ini suatu mukjizat kelahiran baru bagi manusia di tangan Islam pada masa itu.
Sejak kelahiran itu dominanlah nilai-nilai yang menyertai peristiwa besar dunia. Akan tetapi, masalahnya tidak ringan dan tidak mudah di lingkungan bangsa Arab, bahkan di dalam jiwa kaum muslimin sendiri. Hanya saja Rasulullah saw. dengan iradah Allah beserta tindakan-tindakan dan pengarahan pengarahan-Nya yang menimbulkan respon yang hangat dari jiwa Rasulullah, dapat menanamkan hakikat ini di dalam hati nurani dan di dalam ke hidupan. Beliau mampu menjaga dan memelihara nya, hingga akar-akarnya kuat, cabang-cabangnya berkembang, dan menaungi kehidupan umat Islam dalam kurun waktu yang panjang, meskipun golong an-golongan lain menentangnya. Setelah peristiwa ini, Rasulullah saw. senantiasa bersikap lunak kepada Ibnu Ummi Maktum. Setiap kali berjumpa dengannya, beliau berkata, “Selamat bertemu orang yang karenanya aku dicela oleh Tuhan ku.” Bahkan, beliau menjadikannya pengganti beliau dua kali setelah hijrah di Madinah.

Untuk menggugurkan timbangan-timbangan lingkungan dan tata nilainya yang bersumber dari pengakuan dan tradisi-tradisi dunia, Rasulullah saw. mengawinkan putri bibi beliau Zainab binti Jahsy al-Asadiyah dengan mantan budak beliau yang bernama Zaid bin Haritsah. Masalah perkawinan dan persemendaan (periparan) merupakan masalah yang sangat sensitif di lingkungan bangsa Arab khususnya. Sebelumnya, ketika Rasulullah saw. mempersaudarakan antar kaum muslimin pada masa-masa permulaan hijrah, beliau mempersaudarakan paman beliau Hamzah dengan mantan budak beliau Zaid. Juga mempersaudarakan Khalid bin Ruwaihah al -Khats’ami dengan Bilal bin Rabah.

Rasulullah saw. mengangkat Zaid sebagai panglima perang Mu’tah, yaitu sebagai panglima pertama disusul dengan Ja’far bin Abu Thalib dan Abdullah bin Rawahah, untuk memimpin tiga ribu pasukan Muhajirin dan Anshar, termasuk di antaranya Khalid bin Walid.

Rasulullah saw. sendiri juga keluar mengiringkan mereka. Dalam perang ini, ketiga panglima tersebut gugur sebagai syuhada. Mudah-mudahan Allah meridhai mereka. Tindakan terakhir yang dilakukan Rasulullah saw ialah mengangkat Usamah bin Zaid menjadi panglima perang dalam menghadapi pasukan Romawi. Dalam pasukan Islam ini, banyak kalangan Muhajirin dan Anshar yang ikut. Di antaranya Abu Bakar dan Umar yang merupakan dua orang wazir dan sahabat Rasul serta khalifah sepeninggal beliau berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Di antaranya lagi adalah Sa’ad bin Abi Waqqash yang merupakan orang dekat Rasulullah saw. dan termasuk golongan Quraisy angkatan pemula yang masuk Islam. Sebagian orang merasa kurang pas dengan kepemimpinan Usamah karena masih terlalu muda.

Mengenai hal ini, dalam riwayat Bukhari, Muslim, dan at-Tirmidzi disebutkan bahwa Ibnu Umar RA berkata, “Rasulullah saw. mengirim para pasukan di bawah pimpinan Usamah bin Zaid RA, maka se bagian orang mencela kepemimpinan Usamah. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Jika kamu mencela kepemimpinannya, maka sesungguhnya kamu telah mencela kepemimpinan bapaknya sebelumnya. Demi Allah, sesungguhnya dia layak menjadi pemimpin, dan sesungguhnya dia termasuk orang yang paling saya cintai, sesungguhnya dia termasuk orang yang saya cintai.”‘

Dalam hadits riwayat ath-Thabrani dan al-Hakim disebutkan bahwa ketika banyak orang berceloteh mengenai Salman al-Farisi dan mempersoalkan kebangsaan Persia dan kebangsaan Arab, sesuai dengan hukum nasionalisme yang sempit, maka Rasulullah saw. membuat pukulan telak dalam persoalan ini seraya bersabda, “Salman itu termasuk keluarga kami.”

Maka, dilampauilah dengan sabda beliau ini dengan nilai-nilai langit dan timbangan-timbangan nya semua dataran nasab yang mereka bangga banggakan, dan semua batas nasionalisme sempit yang mereka agung-agungkan. Beliau menganggap Salman (yang bukan berkebangsaan Arab) ini sebagai keluarga beliau.

Ketika terjadi peristiwa antara Abu Dzar al-Ghiffari RA dan Bilal bin Rabah RA sehingga dari mulut Abu Dzar terlontar perkataan, “Wahai anak wanita hitam,” maka Rasulullah saw. sangat marah terhadap ucapan itu. Beliau mengecam Abu Dzar dengan keras dan menakutkan dengan sabdanya,

Sebuah kalimat nabawiyah dengan segala kehangatannya, ”Hai Abu Dar, telah dikurangi takaran dan tidak ada keutamaan bagi anak wanita yang berkulit putih dari anak wanita yang berkulit hitam.” (HR Ibnul Mubarak)

Maka, dibedakanlah urusan ini menurut akarnya yang jauh. Adapun Islam adalah nilai-nilai dan timbangan-timbangan langit, sedangkan jahiliah adalah nilai-nilai dan timbangan-timbangan bumi!
Ini meresap ke dalam hati Abu Dzar yang sensitif. Ia sangat terkesan olehnya, dan ia letakkan pipinya ke tanah seraya bersumpah bahwa ia tidak akanmeng angkatnya sebelum diinjak oleh Bilal, untuk menebus perkataannya yang besar implikasinya.

Timbangan yang mengangkat derajat Bilal ialah timbangan langit Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa Abu Hurairah RA ber kata, “Rasulullah saw bersabda,
”Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang amalan yang engkau kerjakan dalam Islam yang lebih diharapkan manfaatnya bagimu. Karena saya mendengar semalam (ketika mi’raj) bunyi sandalmu di hadapan saya di surga.’ Bilal menjawab, Tidaklah saya kerjakan suatu amalan di dalam Islam yang lebih kuharapkan manfaatnya daripada aku bersuci baik pada waktu malam maupun siang. Setelah selesai bersuci itu saya kerjakan shalat (Zhuhur atau shalat sunnah sesudah berwudhu) sesuai yang ditentukan untuknya.”‘

Dalam hadits riwayat at-Tirmidzi, disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda tentang Ammar bin Yasir yang meminta izin kepada beliau, ‘Berilah izin kepada Ammar. Selamat datang bagi orang dan bagus‘ Aku tidak mengetahui berapa lama lagi aku tinggal di antara kamu. Karena itu, ikutilah dua orang sesudahku.”
Beliau juga bersabda tentang Ammar ini ‘Ammar dipenuhi keimanan hingga ke dalam jiwanya. ” (HR an-Nasa’i)

Ibnu Mas’ud dikira keluarga Rasulullah oleh orang luar Madinah. Dalam riwayat Bukhari, Muslim, dan at-Tirmidzi, disebutkan bahwa Abu Musa RA berkata, “Aku datang dari Yaman bersama saudaraku, kemudian kami tinggal di sana beberapa lama. Maka, kami tidak menganggap Ibnu Mas’ud dan ibunya melainkan dari keluarga Rasulullah saw. karena seringnya mereka masuk menemui Rasulullah saw. dan berada di sana.”

Ahmad dalam Musnad-nya meriwayatkan bahwa Anas RA berkata, “Ketika Rasulullah saw. meminang seorang wanita untuk dikawinkan dengan Julaibib, seorang lali-laki mantan budak, maka kedua orang tua anak wanita itu berkata, ‘Apakah kalian hendak menolak urusan Rasulullah saw.? Jika beliau telah merelakannya untuk kalian, maka kawinkanlah dia.’ Kedua orang tua wanita itu lantas merelakan, kemudian dikawinkannyalah wanita itu dengan lelaki tersebut.”‘

Tidak lama setelah perkawinannya itu Rasulullah saw. kehilangan Julaibib dalam suatu peperangan karena gugur sebagai syahid. Muslim meriwayatkan bahwa Abu Burzah al-Aslami RA berkata, “Rasulullah saw. berada dalam suatu peperangan, lalu Allah memberikan rampasan atas kemenangan ini. Kemudian beliau berkata kepada para sahabat, ‘Apakah kamu kehilangan seseorang.?’ Mereka menjawab, ‘Ya, si fulan, si fulan, dan si fulan.’ Kemudian bertanya lagi, ‘Apakah kamu kehilangan seseorang?’ Mereka menjawab, ‘Ya, si fulan, si fulan, dan si fulan.’ Ke mudian beliau bertanya lagi, ‘Apakah kamu ke hilangan seseorang?’ Mereka menjawab, Tidak.’ Lalu beliau bersabda, ‘Akan tetapi, saya kehilangan Julaibib.”

Mereka lalu mencarinya, dan mereka mendapati Julaibib berada di sisi tujuh orang (musuh) yang telah dibunuhnya. Kemudian Nabi saw. datang dan berdiri di sampingnya, lalu bersabda, ‘Ia telah membunuh tujuh orang, lalu mereka membunuhnya. Dia ini bagian dariku dan aku bagian darinya.’ Kemudian beliau meletakkannya di atas kedua lengan beliau tanpa alas kecuali kedua lengan beliau itu. Kemudian digalikan lubang, lalu beliau memasukkannya ke dalam kuburnya, dan tidak menyebut-nyebut mandi.”

Dengan pengarahan Ilahi dan petunjuk nabawi ini, terjadilah kelahiran baru bagi kemanusiaan dengan cara yang unik ini, dan lahirlah masyarakat Rabbani (yang patuh kepada Tuhan) yang menerima tata nilai dan tata normanya dari langit, yang lepas dari ikatan- ikatan bumi, meskipun mereka sendiri hidup di atas bumi. Ini merupakan mukjizat yang sangat besar bagi Islam. Mukjizat yang tidak akan terwujud kecuali dengan iradah IIahi, dan dengan amal Rasulullah. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa agama Islam berasal dari sisi Allah dan yang membawanya kepada manusia adalah seorang rasul.

Di antara skenario Allah dalam mengatur urusan ini adalah diserahkannya tongkat estafet tugas dakwah ini sepeninggal Rasulullah saw. kepada sahabat pertama beliau Abu Bakar dan sahabat kedua Umar. Dua orang manusia yang lebih mengerti tabiat urusan ini, yang intens penghayatannya terhadap petunjuk Rasulullah, yang paling dalam kecintaannya kepada Rasulullah, dan yang paling antusias meng implementasikan kecintaannya dan mengikuti jejak langkah beliau.

Abu Bakar RA selalu menjaga apa yang dikehendaki oleh sahabatnya, Rasulullah saw., mengenai Usamah. Maka, tindakan pertama yang dilakukannya setelah dia diangkat menjadi khalifah ialah melaksanakan penugasan Usamah untuk menjadi pemimpin pasukan sebagaimana yang sudah disiapkan Rasulullah saw. Ia mengantarkan sendiri Usamah ke luar Madinah. Usamah naik kendaraan, sedang Abu Bakar yang khalifah itu berjalan kaki. Maka, Usamah yang masih muda belia itu merasa malu naik kendaraan sedangkan khalifah berjalan kaki, lalu dia berkata, “Wahai khalifah Rasulullah, silakan engkau naik dan saya akan turun.” Tetapi, Khalifah Abu Bakar menjawab dengan bersumpah, “Demi Allah, engkau tidak boleh turun, dan demi Allah aku tidak akan naik. Apakah kerugianku seandainya kakiku berlumuran debu di jalan Allah barang sesaat?” Kemudian Abu Bakar merasa mempunyai keperluan kepada Umar, karena memikul tugas kekhalifahan yang berat itu. Akan tetapi, Umar hanya seorang anggota pasukan Usamah, sedang Usamah adalah komandan. Karena itu, ia meminta izin ke pada Usamah. Tiba-tiba Khalifah Abu Bakar berkata, “Jika engkau memandang perlu membantuku dengan Umar, silakan.” Ya Allah, sungguh luar biasa. Khalifah Abu Bakar berkata kepada Usamah, “Jika engkau memandang perlu membantuku dengan Umar, silakan.” Sungguh sangat luas cakrawala hati dan pikiran Abu Bakar. Sungguh ini adalah ufuk tinggi yang tidak mungkin dicapai oleh manusia kecuali dengan iradah dan bimbingan dari Allah, di bawah bimbingan tangan Rasulullah.

Kemudian roda zaman pun terus berputar. Maka, kita lihat Umar ibnul-Khaththab yang menjadi khalifah (kedua) itu mengangkat Ammar bin Yasir menjadi gubernur di Kufah.
Di depan pintu Umar, telah berdiri Suhail bin Amr bin al-Harits bin Hisyam, Abu Sufyan bin Harb, dan sejumlah pembesar Quraisy. Akan tetapi, Umar terlebih dahulu mengizinkan Suhaib dan Bilal untuk masuk, karena mereka termasuk orang yang terdahulu memeluk Islam dan termasuk peserta Perang Badar. Maka, tersenyumlah Abu Sufyan, dan ia berkata dengan sentimen jahiliah, “Selama ini aku belum pernah melihat kejadian seperti hari ini, di mana budak-budak itu diizinkan masuk sedangkan kami dibiarkan menunggu di depan pintu.”

Kemudian sahabatnya yang telah merasakan kebenaran Islam, berkata, “Wahai kaum, demi Allah, sesungguhnya saya melihat gejolak yang terjadi pada wajah kalian. Jika kalian marah, maka marahlah kepada diri kalian. Masyarakat telah diseru untuk memeluk Islam, demikian juga kalian, maka mereka segera memeluk Islam sedang kalian enggan melakukannya. Maka, bagaimana keadaan kalian apa bila mereka telah dipanggil pada hari Kiamat sedang kalian dibiarkan saja?”

Dalam riwayat at-Tirmidzi disebutkan bahwa Umar memberikan bagian kepada Usamah bin Zaid lebih besar daripada bagian Abdullah bin Umar, sehingga Abdullah menanyakan kepada Umar tentang sebab tindakannya itu. Maka, Umar berkata kepadanya, “Wahai anakku, Zaid itu lebih dicintai oleh Rasulullah saw. daripada ayahmu, dan Usamah lebih dicintai Rasulullah daripada engkau. Oleh karena itu, aku lebih mengutamakan orang yang dicintai Rasulullah dari orang yang kucintai.”
Umar mengucapkan perkataan ini karena ia mengetahui bahwa kecintaan Rasulullah saw. itu menjadi ukuran timbangan langit.”
Umar pernah menugaskan Ammar untuk me meriksa Khalid ibnul Walid, seorang panglima perang yang selalu mendapatkan kemenangan yang gemilang dan memiliki nasab yang terhormat (di kalangan kaumnya). Lalu, Ammar mengikatnya dengan selendangnya. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Ammar mengikatnya dengan kain surbannya hingga selesai pemeriksaan. Maka, setelah terbukti bahwa Khalid tidak bersalah, Ammar lantas melepaskan ikatan itu dengan tangannya. Khalid tidak menganggap apa-apa terhadap semua tindakan Ammar ini. Hal itu karena Khalid adalah seorang sahabat yang lebih dahulu memeluk Islam sebagai mana dikatakan oleh Rasulullah saw.

Umar pulalah yang berkata tentang Abu Bakar RA, “Dia adalah tuan kita yang telah memerdekakan tuan kita pula yakni Bilal, yang dahulu adalah budak Umayyah bin Khalaf. Bilal disiksa dengan siksaan yang pedih, hingga ia dibeli oleh Abu Bakar dan dimerdekakannya.” Umar menyebut Bilal ini dengan “sayyidina’ tuan kita’.

Umar pula yang berkata, “Seandainya Salim mantan budak Hudzaifah itu masih hidup, niscaya kujadikan dia penggantiku.” la menggantikannya kepada Utsman, Ali, Thalhah, dan az-Zubair. Umar tidak mengangkat seorang pun untuk menggantikannya menjadi khalifah, tetapi hal itu diserahkan kepada hasil musyawarah enam orang (formatur) sepeninggalnya. Dalam riwayat Bukhari disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib mengutus Ammar dan Hasan bin Ali RA kepada penduduk Kufah untuk meminta bantuan kepada mereka mengenai urusan yang terjadi antara dia dan Aisyah RA. Lalu, Ammar berkata, “Sesungguhnya aku mengetahui bahwa ia (Aisyah) adalah istri Nabi kamu saw. di dunia dan di akhirat. Hanya saja Allah menguji kamu untuk mengikuti Ali atau mengikuti Aisyah.” Maka, orang-orang pun mendengarkannya mengenai urusan Aisyah, Ummul Mukminin dan putri Abu Bakar ash-Shiddiq RA.

Bilal bin Rabah diminta oleh saudaranya sesama muslim Abu Ruwaihah al-Khats’ami untuk menjadi mediator dalam perkawinannya dengan orang Yaman, lalu Bilal berkata kepada mereka, “Aku adalah Bilal bin Rabah, dan ini saudaraku Abu Ruwaihah. Ia seorang lelaki yang jelek akhlaq dan agamanya. Jika Anda man mengawinkan dia, silakan mengawinkannya; dan jika hendak meninggalkannya, silakan tinggalkan.”

Bilal tidak memanipulasi dan menutup-nutupi kekurangan saudaranya itu. Ia tidak menyebut dirinya sebagai mediator dan tidak melupakan bahwa dirinya akan ditanya di hadapan Allah tentang apa yang dikatakannya. Maka, mereka merasa tenteram dengan kejujurannya itu, dan mereka kawinkan saudara Bilal ini. Mereka merasa tersanjung, padahal mereka dari kalangan bangsawan Arab, karena Bilal yang mantan budak ini menjadi mediatornya. yang sedikit jumlahnya, penuh kepastian, dan agung ini.

Hakikat besar itu telah mantap di kalangan masyarakat Islam, dan sesudah itu ia tetap mantap dalam masa yang panjang meskipun banyak keburukan. “Abdullah bin Abbas sangat populer, demikian pula mantan budaknya, Ikrimah. Abdullah Ibnu Umar juga sangat populer, demikian pula mantan budaknya, Nafi’. Begitu juga Anas bin Malik dan mantan budaknya, Ibnu Sirin. Abu Hurairah bersama mantan budaknya, Abdurrahman bin Hormuz. Di Bashrah terdapat al-Hasan al-Bashri, di Mekah terdapat Mujahid bin Jabar, Atha’ bin Rabah, dan Thawus bin Kisan sebagai fuqaha-fuqaha ternama Di Mesir yang memiliki wewenang memberi fatwa adalah Yazid bin Abu Habib, pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, padahal Yazid ini adalah mantan budak Aswad dari Danqilah.

Timbangan langit menguatkan ahli takwa, meski pun mereka terlepas dari nilai-nilai (kedudukan) bumi (duniawi) menurut anggapan mereka sendiri dan menurut orang-orang di sekitar mereka. Timbangan ini tidak pernah naik dari bumi kecuali hanya sebentar sesudah kejahiliyahan merajalela di seluruh penjuru dunia, dan orang-orang mengintai dolar. Amerika yang menjadi pemimpin negara-negara Barat, serta seluruh manusia tidak lebih dari sekadar alat dalam mazhab materialisme yang dominan di Rusia sebagai pemimpin bangsa-bangsa Timur. Sedangkan, tanah air kaum muslimin sendiri sudah dikuasai oleh kejahiliyahan kuno yang dulu Islam datang untuk menghapus dan menghancurkannya, dan dalam beberapa masa Islam memang dapat melibasnya. Tata nilai Ilahi sudah dihancurkan, dan mereka kembali kepada nilai-nilai jahiliah yang tidak berharga dan tidak ada hubungan sama sekali de ngan imam dan takwa.

Nah, di sana tidak ada sesuatu lagi kecuali harapan terhadap dakwah Islam untuk menyelamatkan kemanusiaan pada kali lain dari kejahiliyahan. Juga untuk membidani lahirnya kembali kemanusiaan seperti kelahirannya yang sudah disaksikannya pada kali pertama. Yakni, kelahiran pertama yang untuk itu datanglah peristiwa yang diceritakan oleh per mulaan surah ini, untuk diumumkan lewat ayat-ayat.

– Bersambung

(hdn)

, ,

Leave a comment

Tafsir Al-Misbah: Surat Al-Fajr

Surat Al-Fajr

detikcom – Jakarta
Surah al-Fajr terdiri dari 30 ayat. Kata AL-FAJR, yang berarti “Fajar”,diambil dari ayat pertama. Ayat-ayat surah ini disepakati turun sebelum Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah. Namanya adalah al-Fajr, tanpa wauw, sedikit berbeda dengan bunyi ayatnya yang pertama. Penamaan ini disepakati juga oleh para penulis mushhaf, para perawi hadis, dan para pakar tafsir. Tidak ada nama lain bagi kumpulan ayat-ayat ini kecuali nama tersebut. Uraian utama surah ini adalah ancaman kepada kaum musyrikin Mekkah jangan sampai mengalami siksa yang telah dialami oleh para pendurhaka yang jauh lebih perkasa daripada mereka, sekaligus berita gembira serta pengukuhan hati Nabi SAW dan kaum muslimin yang pada masa turunnya ayat-ayat surah ini masih tertindas oleh kaum musyrikin Mekkah.

Surah ini juga—sebagaimana dikemukakan Thabathaba’i—merupakan celaan kepada mereka yang memiliki ketergantungan sangat besar terhadap dunia sehingga menghasilkan kesewenangan dan kekufuran.
Tema surah ini, menurut al-Biqa’i, adalah pembuktian tentang uraian akhir surah al-Ghasyiyah, yakni kematian, serta hisab (pertanggungjawaban) manusia atas amal- amalnya. Bukti tentang tema utama surah ini diisyaratkan oleh namanya al-Fajr, yakni terpancar saat subuh guna melahirkan siang yang kemarin telah berlalu tanpa perubahan zatnya, demikian juga kebangkitan manusia dari kematian kecil, yakni tidur, dengan tersebarnya cahaya siang agar manusia mencari sarana kehidupan untuk kemudian mengalami hisâb yang menghasilkan ganjaran atau balasan. Demikian al-Biqa’i.

Surah ini merupakan wahyu yang ke-10 yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW, Ia turun sebelum surah adh-Dhuha dan sesudah surah al-Fil. Ayat-ayatnya berjumlah 30 ayat menurut cara perhitungan ulama Kufah dan Syam, dan 32 ayat menurut cara perhitungan ulama Mekkah dan Madinah karena ayat 15 mereka jadikan dua ayat yakni awalnya sampai kata wana’ammahu satu ayat, dan selebihnya satu ayat lagi sampai dengan akraman. Demikian juga ayat 16 mereka jadikan dua ayat, yang pertama sampai kata rizqahu lalu lanjutannya ayat berdiri sendiri sampai dengan ahanan.

Akhir ayat pada surah yang lalu menegaskan tentang keniscayaan kematian dan kembalinya manusia kepada Allah untuk menjalani perhitungan dan memperoleh balasan dan ganjaran. Pergantian malam dan siang dan kemunculan serta kelahiran fajar sebagaimana terlihat setiap hari—setelah kepergiannya atau “kematiannya” kemarin—membuktikan kuasa Allah SWT dalam membangkitkan siapa yang telah mati. Dalam konteks pembuktian itulah Allah pada awal ayat-ayat surah ini bersumpah dengan lima fenomena alam yang terlihat sehari-hari, yaitu:
1. Fajar yakni cahaya pagi ketika mulai mengusik kegelapan malam.
2. Malam-malam sepuluh pada setiap bulan ketika cahaya bulan mengusik kegelapan malam.
3. Yang genap, dan
4. Yang ganjil dari malam-malam hari atau apa saja.
5. Malam secara umum bila berlalu.

Dengan menyebut kelima hal tersebut Allah menekankan pada ayat 5 bahwa benar-benar pada yang demikian itu terdapat sumpah yang mestinya mengantar siapa yang berakal untuk menerima dan meyakini apa yang disampaikan Allah melalui rasul-Nya, yaitu keniscayaan Hari Kiamat.

Setelah ayat-ayat yang lalu menyebut sekian banyak fenomena alam guna menunjuk kuasa-Nya membangkitkan manusia sekaligus kuasa-Nya untuk menjatuhkan sanksi bagi para pendurhaka, ayat 6 bertanya dengan maksud agar dipikirkan bagaimana perlakuan Allah menjatuhkan sanksi terhadap umat terdahulu yang membangkang perintah-Nya.

Tiga umat yang disebut oleh surah ini untuk diperhatikan bagaimana perlakuan Allah terhadap mereka adalah:
1. Umat Nabi Hud, yaitu kaum ‘Ad, yang sangat mahir dalam bangunan, sehingga dilukiskan kotanya yang bernama Iram, oleh ayat 7 dan 8 sebagai kota yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun sebuah kota seperti itu sebelumnya di negeri lain, atau mereka dilukiskan sebagai sangat kuat dan Allah belum pernah menciptakan penduduk sekuat mereka di tempat-tempat lain.
2. Umat kaum Nabi Shaleh, yaitu Tsamud, yang demikian mahir dalam seni pahat, sehingga mereka mampu memotong batu-batu besar di lembah guna dijadikannya istana-istana tempat tinggal dan memahatnya sehingga menghasilkan relief-relief di dinding-dinding istana/ kediaman mereka [9].
3. Kaum Firaun yang memunyai pasak-pasak, yakni piramid-piramid yang terdiri dari batu-batu yang tersusun rapi dan kokoh tertancap di bumi, juga tentara-tentara yang dijadikannya bagaikan pasak guna mengukuhkan kekuasaannya [10].
Ketiga kaum itu, menurut ayat 11 dan 12, melampaui batas dalam negeri tempat tinggal mereka, sehingga di sana banyak terjadi kerusakan.

Ayat 13 menjelaskan dampak buruk dari kesewenangan mereka itu, yakni Allah menuangkan dengan deras dan keras kepada mereka cemeti siksa.
Ayat 14 menjelaskan bahwa sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Mengawasi.

Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Ayat 1-14
1. Hidup adalah pergantian malam dan siang. Allah kuasa menerbitkan fajar yang menghapus kegelapan, mendatangkan terang di malam-malam gelap, dan tentu saja menghidupkan yang mati. Karena itu, jangan berputus asa dan bersiaplah menghadapi hari esok.
2. Al-Qur’an menginformasikan peristiwa masa lalu yang tidak diketahui orang pada masa turunnya, tetapi terbukti kemudian kebenarannya.*)
3. Kehancuran masyarakat bukan disebabkan karena keterbelakangan dalam bidang pembangunan, atau seni dan teknologi. Karena jika demikian, kaum ‘Ad, Tsamud, dan Firaun yang unggul pada masanya dalam bidang-bidang tersebut tidak dihancurkan Allah. Kehancuran masyarakat adalah akibat kedurhakaan dan kesewenang-wenangan.
4. Penindasan dan kesewenangan penguasa melahirkan kebejatan masyarakat dan kerusakan Negara karena yang demikian itu melahirkan kebencian dan kecurigaan yang memperlemah sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.

*) Pada tahun 1964-1969 dilakukan penggalian arkeologi, dan dari hasil-hasil analisis pada tahun 1980 ditemukan informasi dari salah satu lempeng tentang adanya kota yang bernama Shamutu, ‘Ad, dan Iram.
Bukti arkeologi lain tentang kota Iram adalah berkat jasa pesawat ulang alik Challenger dan jasa satelit Perancis yang menemukan citra digital berupa garis putih pucat yang menandai beratus-ratus kilometer rute kafilah yang ditinggalkan. Sebagian berada di bawah tumpukan pasir yang telah menimbun selama berabad-abad hingga mencapai ketinggian seratus delapan puluh tiga meter. Berdasarkan data ini, Nicholas Clapp dan rekan-rekannya meneliti tanah tersebut dan melakukan pencarian.
Pada bulan Februari 1992 mereka menemukan bangunan segi delapan dengan dinding-dinding dan menara-menara yang tinggi mencapai sekitar sembilan meter. Agaknya itulah yang dimaksud oleh ayat 7 di atas: “Iram yang memunyai bangunan-bangunan yang tinggi.”

Setelah mengingatkan jatuhnya siksa atas para pendurhaka sekaligus memperingatkan tentang pengawasan-Nya, ayat-ayat berikut mengecam manusia yang tidak menyadari hal tersebut.
Ayat 15 bagaikan menyatakan: Demikianlah adat kebisaan dan peradaban yang dibangun oleh ketiga masyarakat itu, dan demikian juga kebiasaan Allah dalam perlakuan-Nya kepada para pendurhaka. Sebenarnya Allah tidak menghendaki dari manusia kecuali ketaatan yang bermanfaat buat mereka dalam kehidupan dunia dan akhiratnya.
Adapun manusia yang durhaka, maka apabila dia diuji oleh Tuhannya, lalu dia dimuliakan dan diberi nikmat seperti harta, kehormatan, dan kekuatan, maka dia senantiasa berkata dengan bangga—tanpa sadar bahwa itu ujian—bahwa: “Tuhanku telah memuliakanku karena aku memang wajar dimuliakan, sebab Tuhan mencintaiku.”
Sebaliknya, menurut ayat 16, bila Tuhannya mengujinya, lalu membatasi rezekinya atau menimpakan kepadanya aneka kekurangan, seperti penyakit atau hilangnya yang dikasihi, maka dia berkata dengan kesal menggerutu sambil melalaikan tuntunan agama bahwa: “Tuhanku telah menghinakanku.”
Ayat 17 menyanggah ucapan dan dugaan itu: Sekali-kali tidak demikian! Atau berhentilah berucap demikian! Karena kemuliaan berpangkal dari kebajikan dan ketaatan, sedang kehinaan adalah karena kedurhakaan kepada Allah!
Selanjutnya, ayat 18 menegaskan bahwa: Sebenarnya kamu wahai yang diluaskan rezekinya oleh Allah tidak memuliakan anak yatim [17] padahal Allah—menurut pendapatmu—telah memuliakan kamu sebagaimana pengakuanmu sendiri.
Lebih lanjut, ayat 18 menyatakan bahwa lebih dari itu, kamu bahkan tidak saling menganjurkan memberi pangan orang miskin—apalagi memberi mereka pangan— padahal kamu memiliki kelebihan yang melimpah; dan kamu senantiasa mengambil dan menggunakan untuk kepentingan diri kamu, harta pusaka dengan cara menghimpun yakni yang halal bersama yang haram [19], juga kamu terus-menerus mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan [20], yakni disertai dengan ketamakan. Itu semua akibat perhatian yang berlebihan terhadap gemerlap duniawi, padahal mestinya manusia menggunakannya untuk meraih kenikmatan ukhrawi.

Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Ayat 15-20
1. Jangan menduga ujian—yakni kenikmatan dan harta benda atau kepedihan dan keterbatasan harta—sebagai bukti cinta atau murka Allah. Tidak! Itu adalah ujian dan hasil ujian tidak diumumkan dalam kehidupan dunia ini. Penilaian akhir baru disampaikan kelak di Hari Kemudian.
2. Jika tidak dapat memberi sesuatu yang bermanfaat, maka paling tidak tampillah menganjurkan pihak lain untuk memberi.
3. Yang dikecam adalah yang mencintai harta secara berlebihan, karena ini mengantar kepada pengabaian selainnya, sehingg bila yang bersangkutan dihadapkan pada dua pilihan, walau salah satunya adalah nilai-nilai agama, maka yang mencintai harta secara berlebihan pasti akan memilih harta dan materi.
4. Melupakan Allah ketika bergelimang nikmat atau menggerutu ketika dalam kekurangan bukanlah sifat seorang Mukmin.

Sikap manusia durhaka terhadap dunia secara umum dan harta benda secara khusus, seperti yang digambarkan oleh ayat-ayat yang lalu dikecam oleh ayat-ayat di atas. Mereka menduga itulah jalan kebahagiaan. Ayat 21 di atas menafikan dugaan tersebut dengan menyatakan: Wahai manusia, tidak demikian! Atau ayat itu memperingatkan mereka bahwa: Jangan berbuat demikian, karena yang demikian dapat mencelakakan kamu. Lalu mereka diingatkan tentang masa yang pasti bagi kecelakaan mereka, yaitu bila bumi dengan mudah dihantamkan berturut-turut dengan hantaman yang besar sehingga meluluhkan segala sesuatu.
Ayat 22 menyatakan bahwa ketika itu juga datanglah Tuhanmu—wahai Nabi Muhammad atau wahai manusia— dalam bentuk yang sesuai dengan keagungan dan kesucian-Nya, atau hadirlah ketetapan-Nya, serta tampaklah dengan jelas kuasa dan keagungan-Nya. Sedang para malaikat berbaris-baris sesuai dengan kedudukan dan tugas-tugasnya.
Selanjutnya, ayat 23 menyatakan bahwa pada hari itu diperlihatkanlah neraka Jahanam dengan aneka kengerian dan siksanya. Dan pada ketika itu juga sadarlah manusia tentang apa yang telah dilalaikannya; tetapi kesadaran itu,tidak lagi berguna karena saat itu adalah saat menuai, sedang saat menanam telah berlalu.
Ayat 24 melukiskan penyesalan yang tidak berguna. Ketika itu, manusia yang lalai itu dari saat ke saat selalu mengatakan dengan penuh penyesalan: “Seandainya aku dahulu melakukan kegiatan yang berguna untuk hidupku, tentulah…” Ayat 24 ini tidak menyebut apa yang tentu itu, karena perandaian apa pun tidak ada gunanya
lagi.
Ayat 25 mengingatkan betapa pedih siksa Allah ketika itu. Tidak terbayang dalam benak siapa pun ada yang menyiksa seperti siksa-Nya, dan tiada satu pun yang dibelenggu seperti belenggu-Nya, yang dilakukan oleh malaikat atas perintah-Nya. Selanjutnya, kalau ayat yang lalu menguraikan penyesalan manusia durhaka, serta ucapan penyesalan mereka, maka ayat 27-30 menggambarkan sambutan Allah kepada yang taat.

Allah berfirman menyerunya ketika ruhnya akan meninggalkan badannya atau ketika dia bangkit dari kuburnya: “Wahai jiwa yang tenang lagi merasa aman dan tenteram karena banyak berzikir dan mengingat Allah! Kembalilah, yakni wafat dan bangkitlah di Hari Kemudian menuju kepada Tuhan Pemelihara dan Pembimbingmu dengan hati rela, yakni puas dengan ganjaran Ilahi lagi diridhai oleh Allah, bahkan oleh seluruh makhluk, maka karena itu masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku yang taat lagi memperoleh kehormatan dari-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku yang telah Ku-persiapkan bagi siapa yang taat kepada-Ku.

Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Ayat 21-30
1. Sumber kebahagiaan bukanlah harta, dan hidup yang sebenarnya adalah hidup di akhirat. Karena itu yang menyesal di Hari Kemudian akan menyadari bahwa apa yang dilakukannya selama berada di dunia bukanlah untuk kehidupannya.
2. Pada Hari Kiamat, keagungan dan kebesaran Allah akan hadir dan terlihat dengan amat jelas; malaikat-malaikat juga terlihat berbaris bershaf-shaf dan neraka didekatkan serta ia terlihat juga, khususnya oleh para pendurhaka.
3. Mereka yang taat, saat kematian atau ketika bangkit dari kuburnya, akan merasa tenang bertemu dengan Allah dan disambut oleh-Nya dengan sapaan mesra, lalu dipersilakan masuk ke surga. Itu disebabkan jiwa mereka tenang karena ketika mereka hidup di dunia, mereka banyak mengingat Allah swt.
Demikian, Wa Allâh A‘lam.

(Tafsir Al Misbah ini merupakan kerja sama detikcom dengan http://www.alifmagz.com)

, ,

Leave a comment

Tafsir Surat Al-Lahab (Al-Masad)

Tafsir Surat Al-Lahab (Al-Masad)

Para pembaca, semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa merahmati kita semua. Setiap insan tentu berharap dan mendambakan kehidupan yang bahagia di dunia dan lebih-lebih di akhirat kelak. Hal ini tidaklah bisa dicapai kecuali dengan menerima segala apa yang datang dari Allah subhanahu wata’ala dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al Ahzab: 71)

Dan demikian pula sebaliknya, segala bentuk kehinaan dan malapetaka bersumber dari sikap antipati dan berpaling dari peringatan Allah subhanahu wata’ala dan peringatan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Adalah sunnatullah, tidak ada seorangpun yang menolak dan mendustakan ajaran yang dibawa oleh para nabi, kecuali ia akan hina dan binasa. Allah subhanahu wata’ala dengan tegas menyebutkan dalam firman-Nya (artinya):

“Sesungguhnya telah diwahyukan kepada kami bahwa siksa itu (ditimpakan) atas orang-orang yang mendustakan dan berpaling.” (Thaha: 48)

Lihatlah kisah umat-umat terdahulu seperti kaum ‘Ad, Tsamud, Qarun, Fir’aun dan Haman, Allah subhanahu wata’ala telah membinasakan mereka disaat mereka mendustakan dan berpaling dari ajaran yang dibawa oleh nabi yang diutus kepada mereka. Demikian pula apa yang telah terjadi pada umat nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, Allah subhanahu wata’ala telah menurunkan satu surat khusus yang berisi vonis kebinasaan bagi para pembangkang dan pengacau dakwah. Surat tersebut adalah Surat Al Masad atau dinamakan juga dengan surat Al Lahab. Surat ini terdiri atas 5 ayat dan termasuk golongan surat-surat Makkiyyah.

Sebab Turunnya Surat

Suatu hari, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam naik ke bukit Shafa. Beliau naik sampai kepuncaknya, kemudian berseru, “Ya shabahah!” (kalimat peringatan yang biasa mereka gunakan untuk mengabarkan akan adanya serangan musuh atau terjadinya peristiwa yang besar).

Kemudian beliau shalallahu ‘alaihi wasallam mulai memanggil kabilah-kabilah cabang dari kabilah Quraisy dan menyebut mereka kabilah per-kabilah, Wahai bani Fihr, wahai Bani Fulan, wahai Bani Fulan, wahai Bani Abdu Manaf, wahai Bani Abdul Muththalib!” ketika mendengar (panggilan tersebut), mereka bertanya, siapa yang berteriak-teriak itu? Mereka mengatakan, “Muhammad.” Maka orang-orang pun bergegas menuju beliau shalallahu ‘alaihi wasallam, sampai-sampai seseorang yang tidak bisa datang sendiri mengirim utusan untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Ketika mereka telah berkumpul, beliaupun berbicara: “Apa pendapat kalian seandainya aku beritahukan kepada kalian bahwa ada pasukan berkuda di lembah bukit ini yang akan menyerang kalian, apakah kalian mempercayaiku?” Mereka menjawab: “Ya, kami tidak pernah menyaksikan engkau melainkan selalu bersikap jujur.” Beliaupun berkata: “Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kalian dari siksa yang pedih. Permisalanku dengan kalian hanyalah seperti seseorang yang melihat pasukan musuh kemudian bergegas untuk mengawasi keluarganya (mengamati dan melihat mereka dari tempat tinggi agar mereka tidak didatangi musuh secara tiba-tiba) karena ia khawatir musuh akan mendahuluinya, maka ia pun berseru, “Ya, shabahah.”

Kemudian beliau shalallahu ‘alaihi wasallam mengajak untuk bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Lalu beliau menjelaskan kepada mereka bahwa kalimat syahadat merupakan kekuatan dunia dan keselamatan akhirat.

Kemudian beliau shalallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan mereka agar waspada dari siksa Allah. Dijelaskan pula bahwa keberadaan beliau sebagai rasul tidak bisa menyelamatkan mereka dari siksa dan menolong mereka sedikitpun dari (keputusan) Allah. Beliau memberi peringatan tersebut secara umum dan khusus. Beliau mengatakan: “Wahai orang-orang Quraisy, korbankanlah diri-diri kalian karena Allah! Selamatkanlah diri-diri kalian dari api neraka! Sesungguhnya aku tidak bisa memberikan mudharat kepada kalian dan tidak pula manfaat, serta aku tidak bisa menolong kalian sedikitpun dari (keputusan) Allah! Wahai Bani Ka’ab bin Luay, selamatkan diri-diri kalian dari api neraka! Sesungguhnya aku tidak bisa memberi mudharat dan tidak pula manfaat! Wahai Bani Ka’ab bin Murrah, selamatkan diri-diri kalian dari api neraka! Wahai Bani Qushay, selamatkan diri-diri kalian dari api neraka! Sesungguhnya aku tidak bisa memberikan mudharat dan tidak pula manfaat! Wahai bani ‘Abdu Syams, selamatkanlah diri-diri kalian dari api neraka! Wahai bani Abdu Manaf, selamatkan diri-diri kalian dari api neraka! Sesungguhnya aku tidak bisa memberikan mudharat dan tidak pula manfaat! Wahai bani Hasyim, selamatkan diri-diri kalian dari api neraka! Wahai bani ‘Abdul Muthalib, selamatkan diri-diri kalian dari api neraka! Sesungguhnya aku tidak bisa memberikan mudharat dan tidak pula manfaat, serta aku tidak bisa menolong kalian sedikitpun dari (keputusan) Allah! Mintalah kepadaku dari hartaku sebanyak yang kalian suka, namun aku tidak bisa menolong kalian sedikitpun dari (keputusan) Allah! Wahai ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib, aku tidak bisa menolongmu sedikitpun dari (keputusan) Allah! Wahai Shafiyyah bintu ‘Abdil Muththalib (bibi Rasulullah), aku tidak bisa menolongmu sedikitpun dari (keputusan) Allah! Wahai Fatimah bintu Muhammad Rasulullah mintalah kepadaku dari hartaku sebanyak apa yang engkau mau, selamatkan dirimu dari api neraka, aku tidak bisa menolongmu sedikitpun dari (keputusan) Allah! Karena kalian memiliki hubungan silaturahmi maka akan aku basahi dengan airnya (maksudnya akan aku sambung hubungan silaturahmi tersebut sesuai haknya).

Setelah selesai beliau menyampaikan peringatan tersebut, orang-orangpun bubar dan bertebaran. Tidak disebutkan keadaan bahwa mereka menampakkan suatu penentangan ataupun dukungan atas apa yang telah mereka dengar, kecuali apa yang terjadi pada Abu Lahab. Ia menemui Nabi dengan nada yang kasar. Ia berkata, “Celakalah engkau selama-lamanya! Cuma untuk inikah kamu kumpulkan kami?” Maka turunlah ayat (artinya): “Telah celaka kedua tangan Abu Lahab dan diapun celaka.” (Al-Lahab:1)

Kandungan surat Al Lahab

Ayat pertama

تَّبَّتْ يَدَا أَبِيْ لَهْبٍ وَتَبَّ

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa”

Abu Lahab adalah putranya Abdul Muththalib namanya Abdul ‘Uzza. Dinamakan Abu Lahab karena ia kelak akan masuk ke dalam neraka yang memiliki lahab (api yang bergejolak). Atas dasar inilah Allah subhanahu wata’ala menyebutnya dalam kitab-Nya Al Quran dengan kun-yahnya (yaitu nama/julukan yang diawali dengan Abu atau Ibnu, atau Ummu bagi perempuan), dan bukan dengan namanya. Juga karena ia lebih tenar dengan kun-yahnya. Dan juga karena namanya disandarkan kepada nama salah satu berhala pada zaman itu. Dia adalah salah satu paman Rasul yang paling besar permusuhannya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sejak dikumandangkannya dakwah mengajak beribadah hanya kepada Allah saja. Ayat ini turun sebagai bantahan kepadanya disaat menolak dan enggan untuk mengikuti seruan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Mungkin para pembaca bertanya-tanya, mengapa Allah hanya menyebutkan kedua tangannya saja yang akan binasa? Jawabannya adalah seperti yang telah dijelaskan dalam kitab tafsir Adhwa`ul Bayan, bahwa penyebutan tangan dalam ayat ini, masuk dalam kaidah penyebutan sebagian tetapi yang dimaksudkan adalah keseluruhannya. Hal ini diketahui dari lafazh setelahnya yaitu “Watabba” artinya: ia (Abu Lahab) telah binasa.

Dalam ayat ini, Allah subhanahu wata’ala memaksudkan penyebutan kebinasaan seseorang dengan mencukupkan penyebutannya pada kedua tangannya. Ya, karena memang kedua tanganlah yang mempunyai peran besar dalam mengganggu dan menyakiti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Ayat kedua

مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ

“Tidaklah berfaedah (berguna) kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan”.

Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu menyebutkan: “Tatkala Rasulullah mengajak kaumnya untuk beribadah hanya kepada Allah saja dan meninggalkan sesembahan selain Allah, berkatalah Abu Lahab: “Jika apa yang dikatakan putra saudaraku (Rasulullah) adalah benar aku akan menebus diriku dari azab yang pedih pada hari kiamat dengan harta dan anak-anakku.” Maka turunlah firman Allah Ta’ala (artinya): “Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan” (Tafsir Ibnu Katsir)

Ketika vonis binasa telah disandangnya, maka tidak bermanfaat lagi apa yang telah diusahakannya dari harta-benda, anak istri, kedudukan, jabatan dan lain sebagainya dari perkara dunia ini. Allah subhanahu wata’ala menegaskan dalam firman-Nya (artinya): “Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.”

Ayat ketiga

سَيَصْلَى نَاراً ذَاتَ لَهَبٍ

“Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.”

Kelak ia akan diliputi oleh api neraka dari segala sisinya

Ayat keempat

وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ

“Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.”

Istri Abu Lahab merupakan salah satu tokoh wanita Quraisy. Namanya adalah Auraa’ bintu Harb bin Umayyah kunyahnya Ummu Jamil, saudara perempuannya Abu Sufyan (bapaknya Muawiyyah). Sebagaimana suaminya, ia juga merupakan wanita yang paling besar gangguan dan permusuhannya terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Ia dan suaminya bahu-membahu dalam permusuhan dan dosa. Ia curahkan segenap daya dan upayanya untuk mengganggu dan memusuhi beliau shalallahu ‘alaihi wasallam. Pernah ia membawa dahan yang penuh duri, lalu ia tebarkan di jalan yang sering dilalui oleh Rasulullah pada waktu malam, sehingga melukai beliau dan para shahabatnya.

Ketika mendengar turunnya ayat: “Telah celaka kedua tangan Abu Lahab.” Ia pun datang, sambil tangannya menggenggam batu, ia mencari-cari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Sementara beliau tengah duduk bersama Abu Bakr di dekat Ka’bah. Kemudian Allah subhanahu wata’ala menutup penglihatannya sehingga ia tidak bisa melihat kecuali Abu Bakr t saja. Maka ia pun bertanya, “Mana temanmu itu (Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam)? Telah sampai kepadaku bahwa dia telah mengejekku dengan syair. Demi Allah, seandainya aku menjumpainya, sungguh aku akan pukul mulutnya dengan batu ini. Ketahuilah, demi Allah aku sendiri juga pandai bersyair.” Kemudian iapun mengucapkan syair:

Orang tercela kami tentang

Urusan kami mengabaikannya

Dan agamanya kami tidak suka

Lalu ia pun pergi. Maka bertanya Abu Bakr, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mengira bahwa dia melihatmu?” Kemudian beliau pun menjawab, “Dia tidak melihatku. Allah telah menutupi pengelihatannya.”

Maka terkumpullah di punggung wanita jahat ini dosa-dosa, seolah orang yang mengumpulkan kayu bakar yang telah mempersiapkan seutas tali di lehernya. Atau ayat ini bermakna pula di dalam neraka wanita ini membawa kayu bakar untuk menyiksa suaminya sambil melilitkan dilehernya seutas tali dari sabut. Sedangkan Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah dan As-Sa’dy menafsirkan ayat ini dengan namimah. Maksudnya istri Abu Lahab profesinya sebagai tukang fitnah. Al-Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah (salah seorang tokoh besar dan ulama` tabi’in) berkata: “Istrinya Abu Lahab memfitnah Rasulullah dan para sahabatnya kepada musyrikin.” (Fathul Bari dan Tafsir Ibnu Katsir)

Ayat kelima

فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدَ

“Yang dilehernya ada tali dari sabut.”

Al-Imam Al-Fara mengatakan: “Al-Masad adalah rantai yang ada di neraka, dan disebut juga tali dari sabut. (Fathul Bari)

Faidah

Para pembaca yang semoga dimuliakan Allah, dalam surat Al Masad ini, ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik darinya, diantaranya:

1. Surat ini merupakan salah satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Dimana Allah menurunkan surat ini dalam kondisi Abu Lahab dan istrinya masih hidup, sementara keduanya telah divonis sebagai orang yang akan disiksa didalam api neraka, yang konsekuensinya mereka berdua tidak akan menjadi orang yang beriman. Dan apa yang dikabarkan Allah subhanahu wata’ala Dzat Yang Maha Mengetahui perkara yang gaib pasti terjadi.

2. Tidak berguna sedikitpun harta benda (untuk melindungi) seseorang dari azab Allah ketika ia melakukan perbuatan yang mendatangkan murka Allah subhanahu wata’ala.

3. Haramnya menganggu orang beriman secara mutlak.

4. Tidak bermanfaat sedikitpun hubungan kekerabatan seorang musyrik, dimana Abu Lahab adalah pamannya Nabi tetapi ia di dalam neraka.

Penutup

Para pembaca yang semoga senantiasa dirahmati Allah subhanahu wata’ala, mudah-mudahan dengan kita mengetahui tafsir surat Al Masad ini akan menambah rasa tunduk dan patuh kita kepada Allah subhanahu wata’ala dan menjadi pendorong bagi kita untuk melaksanakan segala perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Amïn Yä Rabbal ‘Älamïn…

Buletin Al-Ilmu Jember

Amaliyah Ramadhan

, ,

Leave a comment

Tafsir Surat ‘Abasa (1)

Tafsir Surat ‘Abasa, Bagian ke-1: Mukadimah

Tafsir Ayat
15/7/2011 | 14 Sya’ban 1432 H
Oleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
۞ عَبَسَ وَتَوَلَّىٰ ﴿١﴾ أَن جَاءَهُ الْأَعْمَىٰ ﴿٢﴾ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّىٰ ﴿٣﴾ أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنفَعَهُ الذِّكْرَىٰ ﴿٤﴾ أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَىٰ ﴿٥﴾ فَأَنتَ لَهُ تَصَدَّىٰ ﴿٦﴾ وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّىٰ ﴿٧﴾ وَأَمَّا مَن جَاءَكَ يَسْعَىٰ ﴿٨﴾ وَهُوَ يَخْشَىٰ ﴿٩﴾ فَأَنتَ عَنْهُ تَلَهَّىٰ ﴿١٠﴾ كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ ﴿١١﴾ فَمَن شَاءَ ذَكَرَهُ ﴿١٢﴾ فِي صُحُفٍ مُّكَرَّمَةٍ ﴿١٣﴾ مَّرْفُوعَةٍ مُّطَهَّرَةٍ ﴿١٤﴾ بِأَيْدِي سَفَرَةٍ ﴿١٥﴾ كِرَامٍ بَرَرَةٍ ﴿١٦﴾ قُتِلَ الْإِنسَانُ مَا أَكْفَرَهُ ﴿١٧﴾ مِنْ أَيِّ شَيْءٍ خَلَقَهُ ﴿١٨﴾ مِن نُّطْفَةٍ خَلَقَهُ فَقَدَّرَهُ ﴿١٩﴾ ثُمَّ السَّبِيلَ يَسَّرَهُ ﴿٢٠﴾ ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ ﴿٢١﴾ ثُمَّ إِذَا شَاءَ أَنشَرَهُ ﴿٢٢﴾ كَلَّا لَمَّا يَقْضِ مَا أَمَرَهُ ﴿٢٣﴾ فَلْيَنظُرِ الْإِنسَانُ إِلَىٰ طَعَامِهِ ﴿٢٤﴾ أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبًّا ﴿٢٥﴾ ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقًّا ﴿٢٦﴾ فَأَنبَتْنَا فِيهَا حَبًّا ﴿٢٧﴾ وَعِنَبًا وَقَضْبًا ﴿٢٨﴾ وَزَيْتُونًا وَنَخْلًا ﴿٢٩﴾ وَحَدَائِقَ غُلْبًا ﴿٣٠﴾ وَفَاكِهَةً وَأَبًّا ﴿٣١﴾ مَّتَاعًا لَّكُمْ وَلِأَنْعَامِكُمْ ﴿٣٢﴾ فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ ﴿٣٣﴾ يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ ﴿٣٤﴾ وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ ﴿٣٥﴾ وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ ﴿٣٦﴾ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ ﴿٣٧﴾ وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ مُّسْفِرَةٌ ﴿٣٨﴾ ضَاحِكَةٌ مُّسْتَبْشِرَةٌ ﴿٣٩﴾ وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ عَلَيْهَا غَبَرَةٌ ﴿٤٠﴾ تَرْهَقُهَا قَتَرَةٌ ﴿٤١﴾ أُولَٰئِكَ هُمُ الْكَفَرَةُ الْفَجَرَةُ ﴿٤٢

Artinya:
1. Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,
2. Karena telah datang seorang buta kepadanya.
3. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
4. Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
5. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup,
6. Maka kamu melayaninya.
7. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
8. Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
9. Sedang ia takut kepada (Allah).
10. Maka kamu mengabaikannya.
11. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,
12. Maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya,
13. Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan,
14. Yang ditinggikan lagi disucikan,
15. Di tangan para penulis (malaikat),
16. Yang mulia lagi berbakti.
17. Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya?
18. Dari apakah Allah menciptakannya?
19. Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya.
20. Kemudian dia memudahkan jalannya.
21. Kemudian dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur,
22. Kemudian bila dia menghendaki, dia membangkitkannya kembali.
23. Sekali-kali jangan; manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya,
24. Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.
25. Sesungguhnya kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit),
26. Kemudian kami belah bumi dengan sebaik-baiknya,
27. Lalu kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu,
28. Anggur dan sayur-sayuran,
29. Zaitun dan kurma,
30. Kebun-kebun (yang) lebat,
31. Dan buah-buahan serta rumput-rumputan,
32. Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.
33. Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua),
34. Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya,
35. Dari ibu dan bapaknya,
36. Dari istri dan anak-anaknya.
37. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.
38. Banyak muka pada hari itu berseri-seri,
39. Tertawa dan bergembira ria,
40. Dan banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu,
41. Dan ditutup lagi oleh kegelapan.
42. Mereka Itulah orang-orang kafir lagi durhaka.

Ringkasan Kandungan surat
Teguran Allah atas Rasulullah ketika mengacuhkan Ibnu Ummi Maktub seorang laki-laki buta
Memberikan perbaikan/solusi terhadap orang kafir
mengingatkan : Sumber keberadaannya, Asal penciptaannya, Kemudahan hidupnya, Siapa yang mematikan dan menghidupkannya
memperingatkan : Tidak melaksanakan kewajibannya
Mengingatkan hati manusia dengan orang yang datang membawa makanan sebagai kebutuhannya
Peristiwa kiamat (Ash-shokhoh)

Mukadimah
dakwatuna.com – Surah ini memiliki sekat-sekat yang kuat, hakikat-hakikat yang besar, sentuhan-sentuhan yang men dalam, serta unik lukisan-lukisan, bayangan-bayang an, dan isyarat isyaratnya. Juga memberikan kesan kejiwaan dan musikal yang sama.

Segmen pertama memecahkan suatu peristiwa tertentu yang terjadi dalam sirah (perjalanan hidup) Rasulullah saw. Yaitu, ketika beliau sedang sibuk mengurusi segolongan pembesar Quraisy yang beliau seru kepada Islam, maka beliau didatangi Ibnu Ummi Maktum, seorang laki-laki tunanetra yang miskin. Karena tidak mengetahui Rasulullah saw. sedang sibuk mengurusi kaum Quraisy itu, maka ia tetap meminta kepada beliau agar mengajarkan kepadanya apa yang telah diajarkan Allah kepada beliau. Sehingga, Rasulullah saw. merasa tidak se nang atas kedatangan Ibnu Ummi Maktum, lalu beliau bermuka masam dan berpaling darinya.
Maka, turunlah ayat-ayat Al-Qur’an pada per mulaan surah ini yang mencela sikap Rasulullah saw. itu dengan sangat keras. Ayat-ayat itu juga menetap kan hakikat nilai yang sebenarnya dalam kehidupan jamaah Islam dengan menggunakan metode yang pasti, sebagaimana segmen ini juga menetapkan hakikat dakwah dan tabiatnya. Mengenai hal ini dapat dilihat pada surah ‘Abasa ayat 1-16.

Segmen kedua mengobati keingkaran manusia dan kekafirannya yang amat buruk kepada Tuhannya. Diingatkan-Nya dia akan sumber keberadaannya dan asal-usul kejadiannya, dimudahkan-Nya ke hidupannya, dan diberitahukan tindakan Tuhannya di dalam mematikan dan menghidupkannya kem bali. Namun, sesudah itu dia masih bandel juga, se bagaimana tercantum dalam surah ‘Abasa ayat 17-23.

Segmen ketiga mengarahkan hati manusia kepada sesuatu yang sangat erat sentuhannya dengan diri nya. Yaitu, makanannya dan makanan binatang- binatang ternaknya, dan apa yang ada di belakang makanan itu yang berupa pengaturan dan penentuan Allah kepadanya, seperti pengaturan dan penentuan serta penataannya terhadap kejadian dirinya. Hal ini terlihat pada surah ‘Abasa ayat 24-32.

Sedangkan, segmen keempat atau terakhir meng informasikan “ash-shaakhkhah” ‘suara yang meme kakkan’ yang datang pada harinya dengan segala sesuatunya yang mengerikan, yang sudah tampak dari lafalnya, sebagaimana tampak bekas-bekasnya di dalam hati manusia yang kebingungan karena peristiwanya yang luar biasa juga pada wajah-wajah mereka karena dahsyatnya peristiwa ini, sebagai mana tercantum dalam surah ‘Abasa ayat 33-42.
Pemaparan segmen-segmen surah ini dan ayat-ayatnya, secara sepintas kilas seperti ini, menimbul kan kesan dan pengaruh yang sangat kuat dan men dalam, dengan sentuhan-sentuhannya di dalam hati.

Kami akan berusaha mengungkap beberapa sisi nya dengan jangkauan yang jauh. Jangkauan yang diisyaratkan oleh sebagian segmennya yang kadang -kadang tidak terungkapkan dalam paparan terdahulu.

– Bersambung

http://www.dakwatuna.com/2011/07/13156/tafsir-surat-abasa-bagian-ke-1-mukadimah/

, ,

Leave a comment

Tafsir Surat An-Nashr

Tafsir Surat An-Nashr

Tafsir Ayat

22/7/2011 | 21 Sya’ban 1432 H
Oleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah

dakwatuna.com – Surat ini adalah surat Madaniyah, terdiri dari tiga ayat, sebagai berita gembira bagi Nabi dan sahabat yang berupa turunnya pertolongan Allah bagi agama mereka. Dibukanya hati manusia untuk menerima agama ini lalu diperintahkannya mereka untuk bertasbih dan mensucikan Allah. Sebab itu semua adalah faktor keberhasilan.

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ﴿١﴾وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا﴿٢﴾فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا﴿٣

Artinya:
Apabila Telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,
Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya dia adalah Maha Penerima taubat.

Makna Mufradat:
Arti dan Mufradat
1. Pertolongan-Nya.
نصر الله
2. Artinya penaklukan sebuah negeri atau keputusan untuk sebuah persengketaan antara kalian dan musuh Islam.
والفتح
3. Jamak dari fauj, artinya berkelompok-kelompok.
أفواجاً
4. Tasbih berarti penyucian dan hamdun berarti pujian untuk Allah yang memang layak mendapat pujian itu.
فسبح بحمد ربك

Syarah:
Nabi sangat berambisi agar semua manusia beriman, terutama Quraisy dan bangsa Arab. Sebagai manusia, Nabi juga tidak mengetahui yang gaib. Oleh karena itu terkadang ia terguncang dan gusar kalau ada yang menimpa dakwah. Maka surat ini menjadi berita gembira untuk beliau dan mengingatkan beliau, sebaiknya engkau tidak bersikap demikian. Ini konteksnya, kebaikan orang-orang baik adalah kejahatan orang-orang dekat. Boleh jadi sesuatu menjadi kebaikan bagimu namun bagi orang lain dosa kecil yang tidak perlu minta ampun.

Jika pertolongan Allah datang dan memang harus datang. Lalu datang pula kunci untuk negeri yang tadinya tertutup dan hati yang terkatup. Anda melihat manusia masuk ke dalam agama Allah berbondong-bondong dan berkelompok-kelompok. Untuk menyambut kemenangan ini, wajib bersyukur dan memuji Allah karena Dia yang layak mendapat pujian. Jika itu semua terjadi, kamu juga wajib bertasbih mensucikan Tuhanmu seperti yang seharusnya. Bertasbihlah untuk-Nya dengan memuji-Nya atas perbuatan indah-Nya, menyebut sifat-sifat-Nya yang laik dan nama-nama-Nya yang bagus. Juga beristighfarlah untuk dosamu dan mintalah ampunan atas apa yang pernah kamu lakukan dan tidak layak bagimu selaku penutup para dan rasul. Beristighfarlah kepada Allah karena Dia Maha menerima taubat hamba-Nya serta memaafkan kesalahannya. Dia Maha Mengetahui apa yang engkau lakukan. Yang menjadi objek bicara surat ini adalah Nabi dan siapa saja pantas.

Diriwayatkan bahwa surat ini merupakan belasungkawa untuk Nabi, karena Muhammad saw telah menunaikan risalahnya secara sempurna. Jika telah menunaikan tugas, beliau akan segera bertemu dengan Pertemanan Tertinggi, Allah Azza wa Jalla. Sebagian sahabat memahami esensi surat ini lalu menangisi Rasulullah.

http://www.dakwatuna.com/2011/07/13401/tafsir-surat-an-nashr/?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+dakwatunacom+%28dakwatuna.com%29

, ,

Leave a comment

Tafsir Surat Al-Kaafiruun

Tafsir Surat Al-Kaafiruun

dakwatuna.com – Surat Al-Kaafiruun merupakan surat Makkiyah yang terdiri dari enam ayat. Surat ini memutus keinginan orang-orang kafir dan menjelaskan perbedaan antara ibadah mereka dan ibadah Nabi SAW yang lebih luas.

 

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ﴿١﴾ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ﴿٢﴾ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٣﴾ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ ﴿٤﴾ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٥﴾ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦﴾

Artinya:

1.  Katakanlah: “Hai orang-orang kafir,

2.  Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.

3.  Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah.

4.  Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,

5.  Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah.

6.  Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”

Diriwayatkan bahwa setelah para pemimpin Quraisyberputus asa menghadapi Nabi, mereka mendatangi beliau. Mereka melihat adanya kebaikan dalam dakwah beliau namun mereka enggan mengikutinya karena kecintaan mereka bertaqlid buta. Mereka berkata, “Marilah, kami menyembah Tuhanmu untuk suatu masa dan kamu menyembah Tuhan kami untuk suatu masa. Dengan demikian ada perdamaian di antara kita dan permusuhan lenyap. Jika pada ibadah kami ada kebenaran Anda bisa mengambil sebagian dan jika pada ibadahmu ada kebenaran kami mengambilnya. Maka surat ini turun untuk membantah mereka dan memupus harapan mereka.

Syarah:

Ya Muhammad, katakan kepada orang-orang kafir yang tidak ada kebaikannya sedikit pun pada mereka dan tidak ada harapan untuk beriman. Katakan kepada mereka, aku tidak menyembah apa yang kalian sembah. Sebab kalian menyembah tuhan-tuhan yang kalian jadikan sebagai perantara kepada Allah yang Esa lagi Maha Perkasa. Kalian menyembah tuhan-tuhan yang kalian kira terwujud dalam bentuk patung atau berhala. Sedangkan aku menyembah Tuhan yang Esa, Satu, Tunggal, Tempat bergantung yang tidak perlu istri dan anak, tiada yang menyamai dan tiada pesaing. Tidak terwujud dalam fisik atau pribadi seseorang. Tidak membutuhkan perantara dan tidak ada yang mendekati-Nya melalui makhluk. Sarana yang mendekatkan seseorang kepada-Nya hanyalah ibadah. Jadi, antara apa yang aku sembah dan kalian sembah sangat berbeda. Maka aku tidak menyembah apa yang kalian sembah dan kalian tidak menyembah apa yang aku sembah.

Hai orang-orang kafir yang mantap dengan kekafiran. Aku tidak menggunakan cara ibadah kalian dan kalian tidak menggunakan cara ibadahku. Ayat 2 dan 3 menunjukkan perbedaan antar kedua Tuhan yang disembah. Nabi menyembah Allah sedangkan mereka menyembah patung dan berhala berikut perantara lainnya. Sementara ayat 4 dan 5 menunjukkan perbedaan ungkapan. Ibadah Nabi itu murni dan tidak terkontaminasi oleh kesyirikan serta jauh dari ketidaktahuan tentang Tuhan yang disembah itu. Ibadah kalian penuh dengan kesyirikan juga tawasul tanpa usaha. Bagaimana mungkin kedua jenis ibadah ini bisa bertemu. Sebagian ulama berkata, membantah pengulangan pada surat ini. Pengertiannya, aku tidak menyembah apa yang kalian di masa lalu demikian pula kalian, tidak menyembah apa yang aku sembah. Jelas dan akhirnya sama.

Bagi kalian agama kalian termasuk dosanya kalian tanggung sendiri dan bagi kami agama kami, aku bertanggung jawab terhadap memikul bebannya. Kedua ungkapan untuk menguatkan ungkapan sebelumnya.

http://www.dakwatuna.com/2011/05/12013/tafsir-surat-al-kaafiruun/

,

Leave a comment