Pendekar Budiman: Bagian 14

Pendekar Budiman: Bagian 14
Oleh Gu Long

Mestinya Sun-hoan ingin tanya lagi mengapa orang harus ke luar kota dan siapa yang akan dipapaknya? Jika pergi memapak orang, mengapa engkau tidak ikut pergi?

Namun biasanya Li Sun-hoan bisa melihat gelagat, ia pun tidak suka dipandang orang sebagai lelaki yang cerewet. Apalagi berada bersama Sun Sio-ang, hakikatnya tidak ada kesempatan baginya untuk banyak omong.

Agaknya si nona sengaja tidak memberi kesempatan banyak omong bagi Li Sun-hoan, segera ia mendahului bertanya, “Pisau kilat si Li, sekali timpuk tidak pernah meleset. Entah cara bagaimana engkau berhasil meyakinkannya sehingga selihai ini?”

“Kabarnya engkau mempunyai seorang sahabat karib bernama A Fei, kecepatan turun tangannya jaga sama cepatnya seperti dirimu, tapi sekarang mendadak dia menghilang, apakah engkau mengetahui dia berada di mana?”

“Sudah dua tahun engkau menghilang, tiada seorang pun yang menyangka engkau bisa bersembunyi di warung Sun bungkuk ini, sebab apakah engkau bersembunyi di sini?”

“Sekarang jejakmu sudah ketahuan, selanjutnya pasti tidak sedikit orang yang akan mencari dirimu, apakah engkau akan tetap tinggal di sini? Atau mau pergi ke mana?”

“Sesungguhnya siapakah Bwe-hoa-cat itu?”

“Sudah dua tahun Bwe-hoa-cat tidak muncul, apakah dia sudah ditumpas orang? Siapa yang menumpasnya? Apakah engkau?”

Begitulah Sun Sio-ang telah mengajukan serentetan pertanyaan, namun tak ada satu pun dijawab oleh Li Sun-hoan. Ada sebagian Li Sun-hoan tidak mau menjawab, sebagian lagi memang sulit dijawab olehnya.

Memang sudah sejak dulu dia tahu Bwe-hoa-cat ialah Lim Sian-ji.

Ia pun tahu A Fei pasti tidak tega turun tangan membunuh Sian-ji.

Tapi hari itu toh dibiarkannya A Fei pergi. Ia tahu meski lahiriah anak muda itu kaku dan dingin, tapi dalam hati tersembunyi gairah yang membara.

Ia tahu A Fei pasti pergi membawa Lim Sian-ji.

Tapi ke manakah mereka? Apakah selanjutnya Lim Sian-ji akan cuci tangan dan menjadi manusia baru? Apakah Lim Sian-ji benar-benar cinta kepada A Fei?

Teringat kepada berbagai pertanyaan itu, tanpa terasa Li Sun-hoan lantas menghela napas. Ia pun tidak tahu selanjutnya apa yang akan dilakukannya sendiri?

Setiba di warung Sun bungkuk dan berduduk, untuk sementara barulah dia berhenti memikirkan hal-hal yang merisaukan itu, sebab pada saat itu arak sudah tersedia di depannya.

Sun Sio-ang terus-menerus menatapnya dengan tersenyum lembut, tampaknya dia sangat menyukai orang ini, juga sangat memahaminya.

Waktu Li Sun-hoan mengangkat kepalanya dan beradu pandang dengan kerlingan si nona, tanpa terasa jantungnya berdebar.

“Apakah sekarang kita akan mulai bertanding minum?” segera Sio-ang bertanya dengan senyum manis.

“Baik, kita mulai,” jawab Sun-hoan.

“Tapi, cara bagaimana kita akan bertanding?”

“Masakah bertanding minum arak juga ada macam-macam cara?”

“Tentu saja banyak caranya, masakah engkau tidak tahu?”

Sun-hoan tertawa, “Aku cuma tahu satu cara, yaitu kita sama-sama menenggak arak ke dalam perut, perut siapa yang berontak lebih dulu dianggap kalah.”

Sio-ang mengikik, tapi cepat ditahannya, lalu berkata sambil menggeleng, “Tampaknya pengetahuanmu dalam hal minum arak masih belum cukup.”

“Oo?!” melengak juga Sun-hoan.

“Bertanding minum arak bisa dilakukan dengan cara halus dan cara kasar,” sambung Sio-ang.

“Bagaimana cara halus dan bagaimana pula cara kasar?”

“Yang kau sebut baru saja adalah cara kasar, itu namanya minum ala kerbau.”

“Minum ala kerbau?” Sun-hoan menegas.

“Habis, kalau kita menenggak begitu saja seperti dituangkan ke dalam mulut, apa namanya jika bukan cara minum ala kerbau?”

Sun-hoan tertawa, “Tidak dituang ke dalam kuping?”

“Jika benar dapat kau minum dengan kuping, saat ini juga aku mengaku kalah.”

“Minum arak dengan kuping tentu saja terlalu lambat, aku tidak dapat berbuat sehalus itu,” ujar Sun-hoan.

“Dan aku ini anak perempuan, mana dapat bertanding secara kasar denganmu. Maka kira harus bertanding secara halus, bertanding halus juga ada beberapa cara.”

“Ada berapa cara?”

“Ada yang main teka-teki, ada yang bersanjak dan sebagainya, tapi cara-cara itu tidak cocok bagiku yang tidak bersekolah ini.”

“Jika begitu, tersisa berapa cara yang dapat kupilih?” tanya Sun-hoan.

“Tersisa satu cara saja,” jawab Sio-ang.

Sun-hoan tertawa geli.

Sio-ang juga tertawa, katanya pula, “Meski tersisa satu cara saja, tapi cara ini selain cara baru, juga sangat menarik. Biarpun ada seribu cara lain engkau pasti akan memilih cara yang satu ini.”

“Bagiku arak sudah tersedia di depan mata, asalkan bisa cepat-cepat minum arak, dengan cara apa pun jadi bagiku.”

“Baik, sekarang dengarkan, cara ini sebenarnya juga sangat sederhana.”

Terpaksa Sun-hoan mendengarkan dengan cermat.

“Begini, setiap kali kutanya padamu, asalkan dapat kau jawab, maka anggaplah kau menang dan aku harus minum satu cawan.”

“Jika tidak dapat kujawab lantas dianggap kalah?”

“Betul,” Sio-ang tersenyum manis. “Nah, adil bukan cara ini? Jadi?!”

Sun-hoan berpikir sejenak, “Dan bila aku kalah, nanti akan datang giliranku untuk tanya padamu, begitu?”

“Tidak, yang menang berhak bertanya terus, sampai dia kalah baru berganti.”

“Wah, jika terus-menerus kau tanya urusan pribadiku, bukankah aku pasti akan kalah habis-habisan?”

“Tidak, tentu saja takkan kutanya hal-hal begitu padamu,” ujar Sio-ang dengan tertawa. “Jika kutanya padamu siapa ibuku, berapa orang saudara dan berapa umurku, tentu juga engkau tidak tahu.”

“Habis, apa yang akan kau tanyakan?”

“Asalkan pertandingan dimulai, tentu akan segera kau ketahui.”

Li Sun-hoan angkat cawan araknya, katanya dengan tertawa, “Baiklah, aku sudah siap untuk kalah.”

“Nah, dengarkan, sekarang juga kumulai dengan pertanyaan pertama,” mendadak lenyap senyumannya, ia tatap Sun-hoan dengan sorot mata tajam. “Apakah kau tahu siapa yang menulis surat selebaran ini?”

Pertanyaan ini sungguh sangat mengejutkan.

Mata Li Sun-hoan seketika terbeliak, serunya, “Aku tidak tahu! Memangnya kau sendiri tahu?”

“Jika aku tidak tahu, tentu takkan kutanyakan padamu,” ujar Sio-ang dengan tersenyum hambar. “Penulis surat selebaran ini ialah ….”

Dia sengaja berhenti, sampai sekian lama barulah menyambung dengan perlahan, “Ialah Lim Sian-ji!”

Jawaban ini terlebih mengejutkan orang.

Biasanya Sun-hoan sangat sabar, tidak urung sekarang ia terkejut dan segera bertanya, “Dari mana kau tahu?”

“Sekarang belum waktunya bergilir pada pertanyaanmu, silakan minum dulu arakmu,” kata Sio-ang.

Tanpa sangsi Sun-hoan lantas minum habis arak dalam cawannya.

“Dan adakah kau tahu keadaan A Fei sekarang?” tanya Sio-ang pula.

“Tidak tahu,” jawab Sun-hoan.

“Meski dia tinggal bersama Lim Sian-ji, tapi apa yang dilakukan Lim Sian-ji sama sekali di luar tahunya.”

“Dia berada di mana sekarang?” cepat Sun-hoan bertanya.

Sio-ang menggeleng dan berucap, “Ai, kenapa engkau tergesa-gesa, tanyalah nanti jika engkau menang.”

Terpaksa Sun-hoan minum lagi secawan arak. Cawan ini cukup besar, tapi ditenggaknya terlebih cepat daripada biasanya, sebab dia ingin tahu selekasnya pertanyaan yang ketiga.

“Apakah kau tahu sebab apa Lim Sian-ji menulis surat selebaran ini?”

“Tidak tahu,” jawab Sun-hoan. Meski samar-samar dia dapat menerka maksud tujuan Lim Sian-ji, tapi tetap tidak berani memastikannya.

“Sebab dia tahu satu hal, yaitu bila ada orang hendak bertindak sesuatu yang mengancam keselamatan nyonya Liong alias Lim Si-im, maka engkau pasti akan tampil ke muka untuk membelanya. Jadi tujuannya ingin memancing kemunculanmu, lalu dicarinya lagi orang lain untuk menghadapimu. Sebab selama ini dia menganggap engkau adalah lawan yang paling besar dan paling berat, yang paling ditakutinya ialah dirimu, yang paling dibencinya juga dirimu. Selama engkau tidak mati, selama itu pula dia tak dapat menonjol di dunia ini.”

Sun-hoan menghela napas, tanpa disuruh ia minum arak cawan ketiga.

“Apakah kau tahu siapa orang pertama yang hendak membunuhmu?” tanya Sio-ang pula.

“Terlalu banyak orang yang ingin membunuhku, masakah cuma satu?” ujar Sun-hoan dengan tersenyum getir.

“Tapi orang yang mampu membunuhmu mungkin cuma dua-tiga orang saja di dunia ini, dan orang pertama itu ialah Siangkoan Kim-hong!”

Keterangan ini tidak terlalu di luar dugaan Li Sun-hoan, segera ia minum lagi arak cawan keempat, tapi ia tidak tahan dan coba bertanya, “Apakah dia sudah datang sekarang?”

Sio-ang menggeleng dan tertawa, “Coba, kembali penyakitmu kambuh lagi, kan belum menjadi giliranmu untuk bertanya, tapi engkau justru bertanya.”

Lalu ia menyambung, “Sifat Siangkoan Kim-hong tentu juga diketahui olehmu, kalau cuma harta pusaka biasa saja tak nanti menggoyahkan hatinya, lantas sebab apakah sekali ini dia jadi tertarik?”

“Entah,” jawab Sun-hoan.

“Sebab didengarnya bahwa mendiang pendekar nomor satu Sim Long adalah sahabat baik ayahmu.”

“Sim-tayhiap memang betul sahabat ayahku, tapi sudah lama dia mengasingkan diri ke seberang lautan timur sana, apa sangkut pautnya dengan urusan ini?”

Sio-ang tertawa, “Baiklah, boleh kau tanya dulu sekali ini, kalau tidak, kukira engkau akan kelabakan setengah mati. Tapi untuk itu harus kau minum tiga cawan sekaligus baru akan kujawab pertanyaanmu ini.”

Dia seperti sengaja hendak membikin mabuk Li Sun-hoan. Namun karena pertanyaannya memang sangat mengejutkan, terpaksa Sun-hoan menurut dan minum tiga cawan sekaligus meski diketahui tujuan si nona.

Habis itu barulah Sio-ang menyambung lagi, “Sebab Siangkoan Kim-hong mendengar berita bahwa sebelum Sim-tayhiap mengasingkan diri telah menyerahkan dua jilid kitab pusaka kepada ayahmu, kedua jilid kitab ini berisi intisari seluruh Kungfu hasil ciptaannya selama hidup. Konon engkau cuma menguasai isi satu jilid kitab pusaka itu dan pisaumu sudah tidak ada tandingannya di dunia, apabila Kungfu di dalam kedua kitab itu kau kuasai seluruhnya, bukankah akan tambah hebat. Sebab itulah tokoh terkemuka seperti Siangkoan Kim-hong juga tertarik oleh berita ini.”

Sun-hoan tercengang sejenak, ucapnya kemudian dengan menyengir, “Jika betul ada persoalan demikian, kenapa aku sendiri tidak tahu?”

“Aku pun tahu semua ini cuma desas-desus yang sengaja disiarkan oleh Lim Sian-ji, Sim-tayhiap memang seorang pendekar besar yang tidak ada bandingannya, beliau sangat paham kelemahan hati manusia, mana bisa sengaja meninggalkan kitab pusaka untuk membikin susah khalayak ramai di kemudian hari?”

Ia tertawa, lalu melanjutkan dengan perlahan, “Seumpama benar dia meninggalkan sesuatu kitab pusaka tentu juga takkan ditinggalkan di rumah. Dia begitu baik bersahabat dengan ayahmu, masakah mungkin dia meninggalkan bibit bencana bagi keluargamu?”

“Ya, memang betul,” ujar Sun-hoan sambil menghela napas.

Sio-ang berkedip-kedip, “Kutahu dalam hati tentu ada macam-macam persoalan yang hendak kau tanyakan padaku. Jika tidak kuberi kemenangan satu kali padamu, mustahil engkau takkan keki setengah mati. Maka apa yang hendak kutanyakan sekarang pasti dapat kau jawab.”

Ia pandang Sun-hoan dengan lembut, lalu bertanya perlahan, “Dalam hatimu sekarang apakah masih tetap cuma terisi oleh dia seorang? Bahkan tidak sayang mati baginya?…. Dia yang kumaksudkan tanpa kujelaskan tentu kau tahu sendiri.”

Kembali Sun-hoan melenggong. Sungguh tak pernah terpikir olehnya nona cilik ini akan mengajukan pertanyaan demikian.

Siapa pun yang mengajukan pertanyaan ini pasti takkan dijawabnya, sebab hal ini adalah rahasia yang paling membuatnya sedih, juga penderitaannya yang dirahasiakan.

Jika ada orang bertanya demikian padanya, hal ini sama seperti menikam hulu hatinya dengan sebilah pisau. Sungguh ia tidak mengerti untuk apa Sun Sio-ang bertanya hal ini kepalanya.

Namun sorot mata Sio-ang tetap sedemikian lembut, tidak kelihatan ada setitik maksud jahat apa pun.

Kebanyakan anak gadis memang sok ingin tahu, memangnya dia juga cuma ingin tahu saja?

Dengan sendirinya bukan tujuannya hendak membikin susah Li Sun-hoan, kalau tidak masakah dia mau memberitahukan berbagai berita rahasia itu kepadanya? Bahkan semua rahasia itu menguntungkan Li Sun-hoan.

Lantas siapakah sesungguhnya nona cilik ini? Dari mana dia mengetahui rahasia sebanyak ini?

Jelas kakeknya pasti juga seorang kosen dunia Kangouw, Sun si rambut putih tampaknya cuma nama samarannya saja. Jika begitu siapakah nama aslinya?

Dia keluar kota memapak orang, apakah Siangkoan Kim-hong yang dipapaknya?

Sesungguhnya A Fei dan Lim Sian-ji bersembunyi di mana?

Berbagai pertanyaan itu justru sangat ingin diketahui Li Sun-hoan tanpa mengorbankan apa pun.

Selang sejenak lagi, dengan tertawa cerah Sun Sio-ang berkata, “Baiklah, boleh kau tanya, tapi bila dapat kujawab, tetap aku menganggap engkau yang kalah dan harus kau minum satu cawan.”

Sun-hoan berpikir, lalu bertanya, “Saat ini sesungguhnya A Fei berada di mana?”

Sio-ang tertawa, “Memang sudah kuduga pertanyaanmu yang pertama pasti mengenai dia. Kecuali si dia, mungkin engkau saja yang paling memerhatikan A Fei.”

“Siapa pun kalau bersahabat dengan orang semacam dia pasti akan selalu memerhatikan keadaannya.”

“Dan bila ada orang bersahabat dengan dirimu, bukankah mereka pun akan selalu memerhatikan engkau?”

Sio-ang tertawa aneh, mendadak ia mengeluarkan sehelai kertas lipat dan berkata pula, “Inilah tempat tinggal A Fei, asalkan kau cari menurut peta ini pasti akan menemukan dia.”

“Terima kasih,” ucap Sun-hoan sambil genggam lipatan kertas itu dengan erat.

Untuk kedua kalinya dia berucap terima kasih dalam sehari ini.

Sio-ang menatapnya dengan tajam, “Waktu kukatakan rahasia yang penting, engkau tidak berterima kasih padaku. Ketika kuberi tahu siapa yang ingin membunuhmu juga engkau tidak berterima, kasih, mengapa sekarang engkau malah mengucapkan kasih padaku?”

Sun-hoan termenung dan tidak menjawab.

“Biarpun tidak kau katakan juga kutahu apa sebabnya,” ujar Sio-ang. “Soalnya setelah engkau memegang peta ini, tentu engkau dapat menemukan A Fei, sesudah kau temukan dia baru dapat kau tolong dia, akan kau bujuk dia agar jangan terpikat oleh seorang perempuan yang tidak ada harganya untuk dicintai, akan kau bujuk dia supaya tidak merusak dirinya sendiri. Demi dia maka engkau berterima kasih padaku.”

Ia tertawa pedih, lalu menyambung dengan rawan, “Serupa engkau berterima kasih kepada Kwe Ko-yang demi Lim Si-im …. Memangnya engkau tidak dapat berucap terima kasih demi dirimu sendiri?”

Sun-hoan tetap diam saja tanpa menjawab.

Sio-ang menatapnya dengan sorot mata lembut, perlahan ia menghela napas dan berkata pula, “Kakek sering bilang, apabila seorang tidak memikirkan dirinya sendiri, sungguh hidupnya harus dikasihani.”

Mendadak Sun-hoan tertawa, katanya dengan hambar, “Dan seorang kalau senantiasa memikirkan dirinya sendiri, bukankah hidupnya terlebih harus dikasihani?”

Sio-ang ikut termenung juga. Ia coba mencerna arti ucapan Li Sun-hoan tersebut, selang agak lama barulah tersembul senyuman hangat pada ujung mulutnya.

Seorang kalau selalu cuma memikirkan dirinya sendiri, hidupnya sesungguhnya juga kurang menarik.

Setelah minum secawan arak, kemudian Sun-hoan bertanya, “Sun-loyacu memapak orang keluar kota, entah siapakah gerangan yang dipapaknya?”

Gemerdep sinar mata Sun Sio-ang, jawabnya, “Sebenarnya dia tidak memapak orang, tapi mengantar orang.”

“Mengantar orang? Siapa yang diantarnya?” tanya Sun-hoan.

“Siangkoan Kim-hong,” jawab Sio-ang sekata demi sekata.

Jawaban ini membuat Li Sun-hoan tercengang pula, “Pada hakikatnya Siangkoan Kim-hong belum lagi masuk kota, kenapa lantas pergi lagi?”

Sio-ang berkedip-kedip, katanya dengan tertawa, “Jika kakek khusus pergi mengantar keberangkatannya, mana dia sampai hati tinggal di sini?”

“Apakah Sun-Loyacu ….” belum lanjut ucapan Li Sun-hoan kembali ia menungging dan terbatuk-batuk lagi, dan begitu menungging segera terpengaruh oleh arak yang sudah diminumnya sehingga kepala pun terasa agak pusing.

Sejak tadi Sun bungkuk berdiri di kejauhan sana, sekarang ia lantas mendekatinya, katanya dengan kening bekernyit, “Hari ini terlalu banyak kau minum, juga terlalu cepat caramu minum, ada urusan apa boleh dibicarakan lagi besok saja.”

Sun-hoan menggeleng, katanya kemudian dengan tertawa, “Apakah kau tahu orang bernama Siangkoan Kim-hong itu?”

“Aku tidak tahu, aku pun tidak minum arak,” sahut Sun bungkuk.

Sun-hoan tertawa. “Engkau tidak bertaruh minum arak denganku, tentu saja engkau tidak perlu minum.”

Si bungkuk memandangnya dengan kesima, serupa orang yang belum pernah dilihatnya, sebab belum pernah ia lihat cara tertawanya seriang ini.

Didengarnya Sun-hoan berkata pula, “Tapi dapat kuberi tahukan padamu, biasanya Siangkoan Kim-hong menganggap dirinya jago nomor satu di dunia ini, selama ini dia meremehkan siapa pun dan tidak suka menuruti kehendak orang lain, tapi sekali ini dia mau menuruti permintaan Sun-loyacu, maka boleh kau terka Sun-loyacu itu orang macam apa?”

“Aku tidak dapat menerkanya,” jawab Sun bungkuk.

“Aku pun tidak dapat menerka, sebab itulah harus kutanya sampai jelas,” kata Sun-hoan.

“Kau tanya terlalu banyak, makanya kau mabuk, mau tak mau harus mabuk.”

“Apa salahnya mabuk? Orang hidup dapat berapa kali mabuk? ….” kembali Sun-hoan mengangkat cawan arak dan berkata, “Nona Sun, ingin kutanya padamu sesungguhnya siapakah Sun-loyacu?”

“Sun-loyacu adalah ayahku, kakekku,” sahut Sio-ang dengan tertawa.

“Betul, betul, jawaban ini sangat tepat,” kembali Sun-hoan bergelak tertawa dan menghabiskan isi cawannya. Lalu dengan sinar mata buram ia bergumam, “Ada lagi sesuatu ingin kutanya padamu.”

Mencorong sinar mata Sun Sio-ang, ucapnya dengan tersenyum, “Baiklah, mumpung engkau belum mabuk, jika ingin tanya lekas kau tanya.”

“Ingin kutanya padamu, sebab apa sengaja kau bikin mabuk diriku? Sebab apa?”

Sun Sio-ang menuangkan arak lagi secawan penuh, lalu menjawab dengan tertawa, “Kan kita lagi berlomba minum, dengan sendirinya harus kubikin mabuk dirimu.”

“Ya, betul, betul ….” gumam Sun-hoan, setelah menghabiskan secawan arak ini, akhirnya dia mendekap di atas meja.

Sekali ini dia benar-benar mabuk. Sun Sio-ang dan si bungkuk tidak bicara lagi, mereka memandangi Li Sun-hoan seakan-akan ingin tahu apakah dia mabuk sungguhan atau cuma pura-pura.

Sementara itu hari sudah gelap.

Sun bungkuk menyalakan lampu sambil bergumam, “Waktu makan malam sudah tiba, mungkin akan kedatangan tamu lagi.”

Sembari bicara, mendadak ia mendekati pintu, kedua daun pintu dipasang dan dirapatkan, malahan terus dipalang sekalian, seperti sudah tidak mau berjualan lagi, dan juga tidak membolehkan Sun Sio-ang keluar.

Si nona ternyata juga tidak bicara lagi.

Padahal daun pintu itu cukup tebal dan sangat berat, biasanya cukup makan tenaga bagi Sun bungkuk, tapi hari ini tenaganya seakan-akan bertambah sepuluh kali lipat lebih kuat, daun pintu dapat diangkatnya dengan enteng sekali.

Mendadak Sun Sio-ang tertawa dan berkata, “Orang sama bilang Jicek memiliki tenaga raksasa pembawaan, hal ini baru sekarang dapat kusaksikan sendiri.”

Si bungkuk menoleh dengan kening bekernyit, “Kau panggil Jicek (paman kedua) kepada siapa? Jangan-jangan nona juga mabuk?”

Sio-ang mengikik, “Hihi, sungguh Jicek sangat pintar menyamar, buat apa mesti berlagak tak kenal padaku?”

Si bungkuk melototinya sekejap dengan sorot mata tajam, sorot mata demikian bukan lagi sorot mata seorang bungkuk tua renta.

Jika Li Sun-hoan melihat sorot mata ini pasti juga akan merasa kagum, sudah hampir dua tahun mereka tinggal bersama dan Sun-hoan sendiri tidak tahu wajah asli si bungkuk ini.

Cuma sayang sekarang Li Sun-hoan tidak dapat melihat apa pun.

“Kutahu hari ini dia mabuk benar-benar dan pasti bukan pura-pura,” kata Sio-ang.

“Tapi apakah kau tahu takaran minumnya? Masa dia mabuk secepat itu?” ujar si bungkuk dengan suara tertahan.

“Dalam hal ini tampaknya Jicek belum tahu benar,” kata si nona. “Bilamana pikiran seorang peminum lagi kusut dan kesehatannya juga mundur, betapa pun kuat takaran minumnya pasti sangat mudah dicekoki hingga mabuk.”

“Mengapa sengaja kau cekoki dia hingga mabuk?”

“Rupanya Jicek juga tidak tahu bahwa inilah pesan kakek,” tutur Sio-ang.

“Oo?” si bungkuk melengak.

“Jejaknya sekarang sudah ketahuan, entah berapa banyak orang yang ingin mencari perkara padanya,” tutur si nona pula. “Susul-menyusul musuhnya pasti akan datang dalam dua-tiga hari ini, maka kakek bermaksud membawanya ke tempat lain untuk menghindari kesukaran sementara.”

Setelah menghela napas, si nona menyambung pula, “Dan Jicek tentu juga tahu waktunya, kalau tidak dibikin mabuk, mana dapat membawanya pergi?”

“Hm, bicara terus terang, sungguh aku rada tidak mengerti tindakan kakekmu ini.

“Tidak mengerti? Dalam hal apa?”

“Pada waktu Li Sun-hoan patah semangat dan tidak suka bertemu orang, kakekmu justru berusaha memancing dia keluar, sekarang dia sudah tampil kembali, tapi kakekmu berbalik akan menyembunyikan dia dari pencarian musuh.”

“Kau salah, Jicek,” kata Sio-ang. “Patah semangat dan menghindari musuh untuk sementara adalah dua hal yang berbeda, mana boleh dicampuradukkan? Memangnya Jicek tahu betapa banyak orang yang menginginkan buah kepala ini?”

Sampai di sini, ia melirik sekejap Li Sun-hoan yang masih mendekap di atas meja.

“Hm, peduli berapa banyak orang yang mengincarnya, kecuali Siangkoan Kim-hong, yang lain masakah perlu ditakuti?” jengek si bungkuk.

“Kembali kau salah, Jicek,” ujar Sio-ang. “Orang yang berani mengincar buah kepala Li Sun-hoan dengan sendirinya bukan sembarang orang.”

“Memangnya orang-orang macam apakah, coba ceritakan padaku,” kata si bungkuk.

“Yang lelaki tidak kukatakan, biarlah kusebutkan yang perempuan lebih dulu, di antaranya terdapat ‘Si Buddha perempuan mahagembira’ dari daerah Miao dan Na Kiat-cu, si kalajengking biru dari utara perbatasan tembok besar ….”

Hanya nama dua orang ini disebutnya, seketika kening Sun bungkuk bekernyit.

Si nona meneruskan lagi, “Pek-hiau-sing mengutamakan lelaki dan meremehkan orang perempuan, dalam daftar senjata yang disusunnya tidak tercatat tokoh kaum wanita. Tapi nama kedua kuntilanak perempuan ini tentu pernah didengar oleh Jicek.”

Dengan wajah kelam Sun bungkuk mengangguk.

“Si kalajengking biru adalah kekasih Jing-mo-jiu, sedangkan si Buddha mahagembira adalah ibu angkat Ngo-tok-tongcu, sudah lama mereka mencari kabar gerak-gerik Li Sun-hoan, bilamana mereka tahu dia berada di sini, seketika mereka pasti akan memburu kemari.”

Dia menghela napas, lalu menyambung, “Padahal satu di antara mereka itu datang sudah cukup membuatnya kerepotan.”

Sun bungkuk mengambil sepotong kain, perlahan ia mengelap meja. Sudah menjadi kebiasaannya bilamana pikirannya lagi kusut, dia suka lap meja.

“Setelah kusebutkan yang perempuan, sekarang akan kusebut lelakinya,” dengan mata terpejam Sio-ang lantas menyebut sambil menarik jari, “Yang lelaki di antaranya ada Kim-hong, Lu Hong-sian, Hing Bu-bing dan … dan masih ada lagi satu orang yang pasti tidak dapat diterka oleh Jicek.”

“Siapa?” tanya si bungkuk sambil tetap mengelap meja dengan perlahan.

“Oh Put-kui,” tutur Sio-ang.

Seketika si bungkuk menoleh, tanyanya dengan tercengang. “Oh Put-kui? Maksudmu Oh si gila itu?”

“Betul, orang ini biasanya suka gila-gilaan, senjata yang digunakan adalah pedang bambu, konon ilmu pedangnya juga serupa orangnya, angin-anginan, terkadang lihai luar biasa, sering juga konyol tidak keruan dan tidak ada harganya untuk ditonton, sebab itulah namanya tidak dimasukkan ke dalam daftar senjata yang disusun Pek-hiau-sing.”

Dengan muka kelam si bungkuk berucap perlahan, “Lihainya benar, konyolnya pura-pura. Cuma biasanya orang ini tidak suka bergaul dengan orang lain, mengapa sekali ini dia juga hendak mencari perkara kepada Li Sun-hoan?”

“Kabarnya Liong Siau-hun yang mengundangnya keluar, konon guru Liong Siau-hun dahulu pernah menolong dia.”

“Biasanya orang ini sangat sulit dicari,” ujar si bungkuk, “sebab siapa pun tidak tahu dia tinggal di mana. Bahwa Liong Siau-hun dapat menemukan dia, sungguh pintar juga dia.”

“Justru karena orang ini sukar dicari, maka sekali berangkat Liong Siau-hun memakan waktu selama dua tahun.”

“Lu Hong-sian yang kau sebut tadi, apakah berjuluk si panglima tombak perak yang tercatat nomor lima dalam urutan menurut daftar senjata susunan Pek-hiau-sing itu?”

“Betul, dan yang hendak dicarinya juga tidak cuma Li Sun-hoan saja.”

“Dia ingin mencari siapa pula?” tanya si bungkuk.

“Akhir-akhir ini dia telah berhasil meyakinkan beberapa macam Kungfu yang agak spesial, sebab itulah setiap orang yang namanya terdaftar di atasnya akan dicarinya untuk diajak bertanding.”

“Dan yang bernama Hing Bu-bing itu orang macam apa pula?”

“Hing Bu-bing adalah tukang pukul nomor satu di bawah Siangkoan Kim-hong.”

“Mengapa tidak pernah kudengar namanya?” si bungkuk berkerut kening.

“Belum ada dua tahun orang ini muncul di dunia Kangouw,” tutur Sio-ang pula. “Menurut cerita kakek, di antara jago muda yang baru muncul, dua orang yang paling lihai ialah Hing Bu-bing ini dan A Fei.”

“Oo!!” si bungkuk melengak.

“Senjata yang digunakannya juga pedang, cara turun tangannya juga serupa A Fei, keji, cepat dan tepat. Selain itu, orang ini masih memiliki sesuatu hal yang sangat menakutkan ….”

Si bungkuk mendengarkan dengan cermat.

“Biasanya dia jarang turun tangan, tapi sekali dia bergebrak dengan orang, maka dia menjadi nekat, sampai jiwa sendiri pun tak terpikir lagi, setiap jurus serangannya tiada ampun. Dia bernama Hing Bu-bing, artinya jiwanya sudah dipertaruhkan seluruhnya, sebab itulah mati-hidup sendiri tidak perlu dipikirkan lagi.”

Sekali ini si bungkuk termenung hingga lama, tanyanya kemudian, “Di manakah kakekmu?”

“Beliau berjanji akan bertemu denganku di luar kota ….” dia tertawa, lalu meneruskan, “Kakek tahu aku pasti mempunyai akal untuk membawa Li Sun-hoan ke sana.”

Wajah si bungkuk yang prihatin itu menampilkan juga senyuman, ucapnya sambil menggeleng, “Kau budak cilik ini sungguh setan cerdik.”

Mendadak Sio-ang memoncongkan mulutnya, omelnya, “Orang sudah hampir 20 masih dikatai budak cilik.”

Sun bungkuk menghela napas, gumamnya, “Ya, memang betul, kau memang bukan anak kecil lagi. Waktu kulihat dirimu dahulu paling-paling umurmu baru lima atau enam tahun, sekarang engkau memang sudah dewasa ….”

Dia menunduk memandangi kain lap yang dipegangnya, lalu mulai mengelap meja lagi dengan perlahan.

Sio-ang juga menunduk, ucapnya lirih, “Jicek sudah 13 atau 14 tahun tidak pernah pulang, bukan?”

Sun bungkuk mengangguk, “Ya, sudah 14 tahun, hanya selisih beberapa hari lagi akan genap 14 tahun.”

“Mengapa Jicek tidak pulang untuk menjenguk keadaan rumah?”

Mendadak si bungkuk menggebrak meja dan berkata dengan bengis, “Jika aku sudah berjanji kepada orang akan berjaga selama 15 tahun di sini, maka sehari pun tidak boleh kurang. Apa yang diucapkan orang semacam kita ini adalah seperti paku yang terpantek di dinding dan tak berubah, masa engkau tidak tahu peraturan ini?”

“Kutahu,” sahut Sio-ang dengan menunduk.

Sampai sekian lama barulah sorot mata si bungkuk beralih kembali kepada kain lap yang dipegangnya.

Pada waktu mulai mengelap meja, sinar matanya yang tajam segera menjadi guram.

Seorang kalau sudah terbiasa mengelap meja selama 14 tahun, peduli siapa dia dahulu tentu akan berubah menjadi begini, sebab pada saat dia mengelap kotoran di atas meja sama halnya sedang mengelap kejayaannya sendiri.

Sejenak kemudian, perlahan si bungkuk bertanya, “Selama ini, apakah orang di rumah baik-baik saja?”

“Semuanya baik,” jawab Sio-ang dengan tertawa cerah. “Toaso dan Samso (kakak ipar pertama dan ketiga) tahun ini sama melahirkan anak, yang paling lucu adalah Sicim (bibi keempat) juga melahirkan anak kembar. Sebab itulah tahun ini Sicek, Toako dan Samko pasti akan pulang merayakan tahun baru di rumah, kuyakin tahun baru nanti tentu akan jauh lebih meriah daripada biasanya ….”

Sekilas dilihatnya air muka Sun bungkuk berubah murung, seketika ia berhenti bicara.

Si bungkuk tersenyum dan katanya, “Sepulangnya boleh kau katakan kepada mereka, tahun depan aku pun dapat pulang untuk merayakan tahun baru di rumah.”

“Ah, bagus,” seru Sio-ang sambil berkeplok gembira. “Kuingat, Jicek sangat pandai membuat bunga api ….”

“Tahun depan pasti akan kubuatkan untukmu, dan sekarang … lekas kau pergi saja, supaya kakekmu tidak gelisah menunggumu,” si bungkuk memandang Li Sun-hoan sekejap, lalu menyambung dengan kening bekernyit, “Tapi lelaki sebesar ini, cara bagaimana akan kau bawa dia pergi?”

“Kuanggap dia sebagai kucing mabuk, biar kupanggul saja, kan beres?”

Baru saja Sio-ang berdiri, mendadak seorang mendengus, “Hm, kau sendiri boleh pergi, tapi kucing mabuk ini harus kau tinggalkan di sini!”

Suaranya besar, bahkan agak serak, membawa semacam daya pikat yang sukar dilukiskan, daya pikat yang dapat menimbulkan nafsu berahi lelaki. Tidak ragu lagi itulah suara seorang perempuan.

Sun bungkuk dan Sio-ang sama menghadap pintu, tapi suara ini berkumandang dari samping pintu yang menembus ke serambi belakang, sejak kapan orang masuk ke belakang rumah ini, Sio-ang dan si bungkuk sama sekali tidak tahu.

Keruan air muka Sun bungkuk berubah seketika, tangan membalik, kain lap segera disambitkan ke sana.

Sudah 14 tahun dia mengelap, jika setiap hari dia lap meja 20 kali, setahun ada 7.300 kali, dan 14 tahun berarti ada 102.200 kali.

Pada waktu mengelap meja, tangan tentu mencengkeram kain lap dengan erat. Siapa pun kalau pernah mengelap meja sampai ratusan ribu kali, kekuatan tangannya pasti juga jauh lebih besar daripada orang biasa. Apalagi Eng-jiau-kang atau tenaga cakar elang sakti andalan Sun bungkuk sudah termasyhur di dunia Kangouw, sekarang kain lap itu disambitkan dengan kuat, tenaganya pasti tidak di bawah senjata rahasia macam apa pun.

Maka terdengarlah suara “bluk” yang keras disertai debu pasir bertebaran, dinding tembok tertimpuk sebuah lubang besar oleh kain lap. Namun orang yang berdiri di samping pintu tetap berdiri tegak di situ.

Tubuhnya seperti tidak pernah bergerak, padahal melihat tempat berdirinya sekarang seharusnya kain lap itu dapat membuat lubang pada dadanya. Tapi entah mengapa, kain lap itu justru tidak mengenai tubuhnya.

Rupanya pada waktu kain lap menyambar tiba, entah cara bagaimana dia menggeliat dan tahu-tahu dapat dihindarkannya.

Bisa jadi lantaran pinggangnya sangat kecil, maka sangat leluasa untuk menggeliat.

Perempuan yang berpinggang kecil akan kelihatan sangat ramping dan menarik. Padahal bagian tubuh yang menarik pada perempuan ini tidak cuma pinggangnya saja yang ramping.

Kakinya sangat panjang, dadanya bernas dan menegak, pinggulnya padat bulat. Pendeknya bagian yang kurus pasti tidak gemuk, bagian yang gemuk pasti tidak kurus.

Matanya panjang dan lirikannya menggiurkan, cuma mulutnya sangat besar, bibirnya juga sangat tebal.

Meski kulit badannya sangat putih, tapi tangan kasar, bahkan penuh bulu panjang.

Dia tidak dapat digolongkan ke dalam perempuan cantik, tapi dia mempunyai semacam daya pikat yang dapat membuat orang berdosa. Kebanyakan lelaki kalau melihat dia segera dalam hati akan teringat kepada sesuatu.

Ia sendiri juga sangat jelas akan sesuatu hal itu. Maka dia sangat sedikit membuat kecewa orang.

Baju yang dipakainya berwarna biru, baju sangat singsat, membungkus tubuhnya dengan erat sehingga garis tubuhnya kelihatan sangat menonjol.

Sun bungkuk berpaling dan melotot padanya. Dia juga sedang menatap si bungkuk, sorot matanya itu serupa Sun bungkuk telah dipandangnya sebagai lelaki yang paling cakap dan paling menarik di dunia ini, Sun bungkuk seakan-akan sudah dianggap sebagai kekasihnya.

Tapi ketika sorot matanya beralih kepada Sun Sio-ang, seketika berubah menjadi dingin dan tajam.

Nyata, terhadap lelaki mana pun sedikit banyak bergairah, tapi terhadap setiap orang perempuan selalu merasa jemu.

“Na Kiat-cu?” tercetus dua kata dari mulut Sun bungkuk.

Perempuan berbaju biru alias Na Kiat-cu atau si kalajengking biru tertawa. Karena tertawa, matanya tambah sipit sehingga hampir terpejam seluruhnya.

“Hah, sungguh tajam benar pandanganmu,” katanya dengan tertawa menggiurkan. “Lelaki yang berpandangan tajam selalu kusukai.”

Sun bungkuk menarik muka tanpa bicara. Dia tidak suka melayani orang perempuan, pada hakikatnya dia juga tidak tahu cara menghadapi orang perempuan.

“Tapi pandanganku juga tidak kurang tajamnya, aku pun tahu siapa kalian,” kata si kalajengking biru.

“Jika tahu, kau berani datang kemari?” bentak Sun bungkuk dengan bengis.

Na Kiat-cu menghela napas perlahan, “Sebenarnya aku tidak suka merecoki kalian, tapi kucing mabuk ini harus kubawa pergi. Mungkin engkau pun tidak tahu, betapa sulitnya bagiku untuk mencari seorang lelaki yang dapat memuaskan seleraku, dengan susah payah dapatlah kutemukan satu orang, tapi kini telah dibunuh oleh kucing mabuk ini.”

“Bukan dia yang membunuh In Gok,” tukas Sio-ang tak tahan.

“Aku tidak urus siapa yang membunuhnya, pokoknya dia yang kucari untuk menyelesaikan utang piutang ini,” ujar Na Kiat-cu.

“Apa pun kehendakmu, jangan harap akan dapat kau bawa pergi dia,” teriak Sio-ang.

“Aku juga tahu tidak nanti kalian akan membiarkan kubawa dia pergi,” kata Na Kiat-cu dengan menyesal, “sedangkan aku pun tidak terlalu suka bergebrak dengan kalian. Wah, repot, lantas bagaimana baiknya?”

Mendadak ia menggapai ke belakang sana dan memanggil, “Coba kau kemari!”

Baru sekarang Sun bungkuk melihat di pelataran belakang masih ada seorang.

Perawakan orang ini sangat tinggi besar, begitu dipanggil si kalajengking biru, segera ia mendekat dengan langkah lebar.

Pakaian orang ini sangat mentereng, jenggotnya yang pendek terawat dengan rajin, pinggangnya bergantung sebilah golok besar bergelang sembilan, sungguh sangat gagah perkasa tampaknya.

Na Kiat-cu lantas bertanya, “Apakah kalian kenal siapa dia?”

Baru saja Sun bungkuk menggeleng, serentak Sio-ang mendahului menjawab, “Kukenal dia.”

“Benar kau kenal dia?” Na Kiat-cu menegas.

“Dia she Coh, lengkapnya bernama Coh Siang-ih dan berjuluk ‘Hoat-pah-ong’ (si raja perkasa), pekerjaannya adalah Congpiauthau Hong-un-piaukiok di kota raja.”

Dengan tersenyum genit Na Kiat-cu melirik sekejap Coh Siang-ih, katanya, “Wah, sampai adik cilik ini juga kenal dirimu, tampaknya namamu memang cukup terkenal.”

Tanpa terasa tertampil rasa bangga pada wajah Coh Siang-ih, tambah tegak cara berdirinya.

“Setiap orang ternama di dunia Kangouw, rasanya hampir seluruhnya kukenal,” sambung Sio-ang. “Tapi sama sekali aku tidak tahu cara bagaimana Coh-congpiauthau kita ini bisa berada bersamamu?”

Na Kiat-cu tertawa, “Dia memancingku di tengah jalan.”

Sembari meraba jenggot orang yang rajin itu, dengan tertawa genit dia menambahkan, “Justru kuterpikat oleh jenggotnya ini, maka kuikut bersama dia.”

Sio-ang tertawa, “Dia memancing dirimu atau engkau yang memancing dia?”

“Dengan sendirinya dia yang memancing diriku ….” jawab Na Kiat-cu dengan tertawa. “Kalian cuma tahu Coh-congpiauthau kita memiliki Kungfu yang hebat dengan namanya yang termasyhur, tapi kalian tidak tahu caranya memikat perempuan jauh lebih pintar daripada kepandaiannya yang lain.”

Sejak tadi Sun bungkuk sudah gusar, segera ia membentak, “Untuk apa kau bawa dia ke sini?”

“Seorang kalau mampu menjabat Congpiauthau, tentu Kungfunya tidak rendah, betul tidak?” tanya Na Kiat-cu dengan tertawa.

“Hmk,” dengus Sun bungkuk.

“Permainan golok bergelang sembilan Coh-congpiauthau kita memang luar biasa, bilamana golok sudah berputar, beberapa puluh orang saja jangan harap akan mampu mendekatinya.”

Kembali Sun bungkuk mendengus.

“Dan kalau kukatakan dalam satu jurus saja dapat kucabut nyawanya, apakah kalian percaya?” tanya Na Kiat-cu tiba-tiba.

Sejak tadi Coh Siang-ih berdiri tegak di situ dengan pongahnya, ucapan si kalajengking biru ini dirasakannya seakan-akan mendadak kakinya diketuk orang, serentak ia berteriak, “Hah, apa katamu?”

“Aku tidak berkata apa-apa, aku cuma bilang aku hendak mencabut nyawamu,” jawab Na Kiat-cu dengan suara lembut.

Coh Siang-ih melengak, ucapnya kemudian, “Ah, jangan engkau bercanda.”

Na Kiat-cu menghela napas, katanya, “Kata pepatah, semalam menjadi suami-istri terkenang selama seratus malam. Karena itulah kau kira kubunuh dirimu, begitu?”

“Kutahu engkau cuma bergurau saja,” Coh Siang-ih.

“Tapi apakah kau tahu di dunia ini ada sejenis serangga berbisa yang disebut kalajengking?”

“Tentu saja kutahu, di daerah utara pemukiman kami sangat banyak kalajengking.”

“Jika begitu, apakah kau tahu pada umumnya kalajengking betina mempunyai semacam penyakit aneh?”

“Penyakit aneh apa?” tanya Coh Siang-ih.

“Yaitu, setelah kalajengking jantan dan betina bersetubuh, lalu yang jantan akan dimakan oleh yang betina.”

Air muka Coh Siang-ih rada berubah, namun sedapatnya ia berlagak tenang, ucapnya dengan menyengir, “Tapi engkau bukanlah kalajengking.”

“Siapa bilang bukan?” ujar Na Kiat-cu dengan tersenyum genit. “Jelas aku ini kalajengking biru, masa tidak kau ketahui?”

Serentak Coh Siang-ih melompat mundur lima-enam kaki jauhnya, sampai meja kursi juga tertumbuk terguling, namun latihan kakinya sangat kuat, dia tidak terjungkal.

Terdengar suara gemerantang, golok bergelang sembilan segera dilolosnya, dengan terbelalak ia pandang Na Kiat-cu serupa melihat setan.

Sebagai seorang kawakan Kangouw, dengan sendirinya dia pernah mendengar nama si kalajengking yang diketahui itu, tapi tidak pernah terpikir olehnya perempuan yang sedemikian mudah terpancing ini adalah si kalajengking sendiri.

Dengan suara lembut Na Kiat-cu berucap lagi, “Ingin kuberi nasihat, lain kali jika di tengah jalan ingin kau pikat orang perempuan, sebaiknya kau selidiki dulu asal usulnya. Cuma sayang ….” ia menghela napas, lalu menyambung, “cuma sayang sudah tidak ada lain kali lagi bagimu.”

Habis berucap, perlahan ia mendekati orang.

“Berhenti!” teriak Coh Siang-ih. “Jika kau maju lagi selangkah, segera kubinasakan kau.”

Na Kiat-cu mengerling genit, ucapnya dengan manis, “Baik, boleh kau bunuh diriku, sungguh aku ingin mati di tanganmu.”

Mendadak Coh Siang-ih membentak, golok besar terus menebas dari samping. Angin menderu disertai bunyi gemerantang gelang tembaga pada golok itu sehingga perbawanya cukup mengejutkan orang.

Akan tetapi dia cuma sempat melancarkan serangan ini saja, tertampaklah cahaya biru berkelebat, tahu-tahu Coh Siang-ih menjerit terus roboh terkapar.

Pada tubuhnya tidak ada bekas luka, hanya bagian tenggorokan bertambah dua titik merah darah serupa orang yang habis diantup kalajengking.

Pakaian Na Kiat-cu sangat singsat, hanya lengan bajunya yang agak panjang dan longgar sehingga gayanya tampak lebih indah dan menarik. Saat ini kedua tangannya tersembunyi di balik lengan baju, siapa pun tidak tahu dengan senjata apa dia membunuh Coh Siang-ih.

Sun bungkuk dan Sio-ang hanya menonton saja tanpa ikut campur urusan. Bisa jadi lantaran mereka tidak sempat mencegah, mungkin juga mereka memang tidak mau turun tangan. Sebab seorang lelaki yang suka memikat orang perempuan di tengah jalan pasti juga bukan manusia baik-baik.

Na Kiat-cu lagi berjongkok memeriksa keadaan Coh siang-ih. Cukup lama dia memandangnya, seperti lagi menikmati hasil karyanya sendiri. Kemudian dia tertawa pula, katanya, “Bukankah cuma sejurus saja kuserang dia, sekarang tentunya kalian mau percaya.”

Sun bungkuk dan Sio-ang diam saja.

“Lumayan bukan Kungfuku?” tanya pula si kalajengking biru.

Tetap tidak ada yang menjawab.

“Meski tangan iblis hijau In Gok mendapat nomor urut kesembilan dalam daftar senjata, tapi kalau Pek-hiau-sing mau memasukkan diriku ke dalam daftar yang disusunnya, sedikitnya In Gok harus menyurut menjadi nomor sepuluh, betul tidak menurut pendapat kalian?”

Ucapan ini memang tidak berlebihan, sesungguhnya serangannya yang lebih cepat dan juga lebih jitu daripada serangan In Gok.

Na Kiat-cu melirik Sun bungkuk sekejap, katanya pula dengan lembut, “Nah, berdasarkan Kungfuku ini, tentunya bolehlah kubawa pergi kucing mabuk ini.”

Sun bungkuk menarik muka, sahutnya ketus, “Tidak boleh.”

“Ai, lantas bagaimana supaya boleh kubawa pergi dia? Apakah kau minta kunaik ranjang bersamamu?” tanya si kalajengking biru.

Dengan murka Sun bungkuk membentak, kedua tangan menghantam sekaligus, akan tetapi Na Kiat-cu hanya menggeliat perlahan, tahu-tahu sudah menghilang. Pinggangnya meliuk lemas serupa ular, tampaknya dia meliuk ke kiri, tahu-tahu sudah berada di sebelah kanan. Begitu serangan Sun bungkuk dilontarkan, serentak dia sudah berada di belakangnya.

Untung Sun bungkuk juga bukan jago rendahan, cepat ia menarik kembali hantamannya sekalian dia menumbuk ke belakang dengan punggungnya yang bungkuk itu. Rupanya punuknya yang bungkuk itu justru merupakan salah satu senjata andalannya, punuknya sudah terlatih sehingga sekeras baja, apalagi dia menumbuk dengan kuat, kalau kena, bukan mustahil tubuh lawan bisa pipih.

Dengan sendirinya Na Kiat-cu tahu kelihaian lawan, cepat ia meliuk lagi ke samping, di tengah kibaran lengan bajunya, tahu-tahu ia sudah berputar lagi ke depan Sun bungkuk, dengan tertawa genit ia berkata, “Hah, tampaknya bukan saja pandanganmu cukup tajam, kepandaianmu juga tinggi. Rasanya aku menjadi suka padamu, cukup kau katakan mau, ikut ke mana pun jadi.”

“Ke neraka saja kau!” bentak Sun bungkuk.

“Wah, untuk apa ke neraka, kalau naik ranjang sih mending,” ujar si kalajengking biru dengan mengerling genit.

Menghadapi perempuan jalang begini, baik senyum dan ucapannya yang menggoda, umpama tidak sampai terpikat, sedikitnya cara menyerangnya juga akan sungkan. Dan jika lawan sungkan, dia justru tidak kenal ampun.

Sebab itulah selama berpuluh tahun entah sudah berapa banyak kaum lelaki yang menjadi korbannya. Cuma sayang, yang dihadapinya sekarang adalah Sun bungkuk.

Cara Sun bungkuk memandang perempuan serupa seorang nenek ompong disuguhi kacang goreng, sedikit pun tidak bergairah. Maka sembari membentak, kembali cakar bajanya mencengkeram lagi.

Na Kiat-cu mengebaskan lengan bajunya sambil menyurut mundur, serunya, “Tunggu dulu!”

“Tunggu apa lagi?” bentak Sun bungkuk, kembali ia menyerang pula.

Na Kiat-cu berucap dengan menyesal, “Umpama engkau tetap memaksaku turun tangan, mestinya kan harus kau lihat dulu senjata apa yang kugunakan?”

Belum habis ucapannya, tahu-tahu selarik cahaya biru berkelebat keluar dari lengan bajunya dan menyambar ke muka Sun bungkuk secepat kilat.

Si bungkuk menggertak, berbareng ia sambut cahaya biru itu dengan cakar bajanya.

Kalau bertempur biasanya si bungkuk suka main cepat serang dan cepat selesai. Sebab itulah meski dia tahu senjata yang digunakan lawan pasti jenis senjata aneh yang khas, tapi ia tidak gentar, dengan cakar elang sakti yang sudah dilatihnya sekian puluh tahun, ia yakin sekali gebrak pasti mampu merampas senjata lawan tanpa memberi kesempatan balas menyerang bagi musuh.

Gertakannya menggelegar, cengkeramannya juga sangat dahsyat. Mungkin dia terlalu yakin akan kemampuannya sendiri.

Sejak mula Sun Sio-ang hanya berdiri tenang di samping, tampaknya sama sekali tidak bermaksud ikut turun tangan, namun begitu pandangannya tidak pernah berpisah dengan lengan baju si kalajengking biru. Maka begitu cahaya biru berkelebat dari lengan baju orang, segera dapat dilihatnya dengan jelas senjata apa yang digunakannya.

Sungguh tidak pernah dilihatnya jenis senjata semacam ini. Tampaknya serupa ekor kalajengking yang diperbesar sekian puluh kali, panjang, melengkung, seperti lemas, tapi sebenarnya keras, bahkan dapat melingkar sesukanya.

Yang paling menakutkan adalah dari pangkal hingga ujung senjata ini penuh terpasang kaitan tajam.

Dengan sendirinya Sun Sio-ang juga percaya penuh atas kemampuan Eng-jiau-kang atau ilmu cakar elang sang paman, tapi ia pun tahu bila tangan sang paman mencengkeram senjata lawan, tanpa ampun dia pasti juga akan menjadi korban keganasan si kalajengking biru yang suka ganyang orang lelaki ini.

Namun apa daya, kedua orang turun tangan sama cepatnya, sungguh Sio-ang tidak menyangka sang paman yang sudah 14 tahun digembleng mengelap meja, perangainya ternyata masih juga keras dan berangasan.

Ia tidak tahu, justru lantaran Sun bungkuk sudah menahan perasaannya selama 14 tahun, maka sekarang ia tidak tahan lagi, kesempatan sekarang akan digunakannya untuk melampiaskan perasaannya itu.

Karena cemas, tanpa terasa Sio-ang menjerit khawatir.

Siapa tahu, pada detik berbahaya itulah sekonyong-konyong di tengah udara terjulur sebuah tangan lagi. Gerak tangan ini terlebih cepat daripada suaranya, baru saja dia menjerit, tahu-tahu tangan itu sudah kena memegang pergelangan tangan Na Kiat-cu.

Terdengarlah suara “krek” dan “trang”, cahaya biru tadi jatuh ke tanah. Pada saat yang sama si kalajengking biru juga melompat mundur, karena mundurnya terlalu cepat dan juga terburu-buru, “blang”, dinding tertumbuk olehnya.

Habis itu, segala suara lantas lenyap, segala gerakan apa pun terhenti. Suasana dalam rumah berubah menjadi sunyi senyap, suhu pun serasa hendak membeku. Setiap orang sama terkesima seperti patung.

Dengan tercengang semua orang memandangi tangan yang terjulur mendadak itu, sinar mata Na Kiat-cu penuh rasa kejut, takut dan juga menderita.

Tenyata pergelangan tangannya telah patah.

Lalu tangan yang mengejutkan orang itu akhirnya mengkeret kembali, waktu terjulur sangat cepat ketika ditarik kembali ternyata sangat lambat.

Habis itu seorang berdiri perlahan, siapa lagi dia kalau bukan Li Sun-hoan yang disangkanya mabuk itu.

“Hak, kiranya engkau tidak mabuk,” seru Sio-ang terkejut dan bergirang.

Sun-hoan tersenyum hambar, “Meski hatiku kesal dan badanku lemah, tapi takaranku minum arak masih cukup lumayan.”

Sio-ang terbelalak, kedua matanya yang besar menampilkan macam-macam perasaan, entah kejut, girang, kagum atau kecewa. Betapa pun dia toh tidak berhasil mencekoki Li Sun-hoan hingga mabuk.

Lagak genit Na Kiat-cu kini sudah lenyap, yang tersisa hanya rasa kaget dan takut. Sebab entah sejak kapan tangan Li Sun-hoan sudah bertambah dengan sebilah pisau.

Pisau kilat si Li.

Meski pisaunya belum bekerja, namun sudah cukup merontokkan nyali orang. Saat yang paling menakutkan atas pisau kilat si Li adalah pada saat sebelum dia turun tangan. Sebab setelah dia turun tangan, tentu lawan tidak tahu lagi apa yang disebut takut.

Orang mati kan tidak tahu lagi rasa takut.

Kini di dalam rumah hanya terdengar deru napas orang. Suara napas yang berat ini jauh lebih dirasakan sunyi daripada kesunyian total, kesunyian yang menyesakkan napas, kesunyian yang membuat orang gila.

Keringat dingin tampak mengucur dari dahi Na Kiat-cu, sekujur badan gemetar, mendadak ia berteriak, “Mengapa pisaumu tidak kau sambitkan? Mengapa tidak kau bunuh diriku?”

Perlahan Sun-hoan berkata, “Tanpa menghiraukan bahaya kau datang untuk menuntut balas bagi In Gok, hal ini menandakan kesetiaanmu kepadanya. Dia sudah mati, engkau tentu berduka, tentu menderita ….”

Ia pandang mata pisau yang dipegangnya, sorot matanya juga menampilkan semacam rasa duka, ucapnya dengan rawan, “Aku sangat memahami rasa susah ini, sangat paham …. Aku cuma berharap akan pengertianmu, penderitaan ini pasti takkan berkurang setelah membunuh orang. Betapa banyak kau bunuh orang tetap tidak dapat mengurangi rasa penderitaan batin.”

Sinar tajam berkelebat, pisau kilat si Li terlepas dari tangannya. “Crat”, pisau yang mengilat itu menancap di atas pintu di sisi Na Kiat-cu.

“Nah, pergilah kau!” ucap Sun-hoan sambil memberi tanda.

Si kalajengking biru melenggong, entah selang berapa lama, tiba-tiba ia tanya, “Jika begitu, cara bagaimana mengurangi rasa derita batin ini?”

Sun-hoan menghela napas, “Aku sendiri tidak tahu …. Mungkin bila kau pikirkan lagi seorang lain, rasa derita ini akan dapat berkurang. Kuharap engkau akan mendapatkan seorang penggantinya.”

Na Kiat-cu memandangnya dengan termangu, mendadak menitik air matanya.

Sun Sio-ang juga sedang memandang Li Sun-hoan dengan terkesima.

Dia tidak pernah melihat lelaki semacam ini, hampir tidak percaya di dunia ada lelaki seperti ini. Ia menatapnya dengan tajam seolah-olah hendak menembus hatinya.

Na Kiat-cu sudah pergi, pergi dengan membawa air mata.

Sudah sekian lama Li Sun-hoan termenung, mendadak ia tertawa, katanya, “Tentunya engkau sangat heran mengapa tidak kubunuh dia?”

Sio-ang tidak bersuara.

Sejak tadi Sun bungkuk hanya memandangi senjata berbentuk aneh itu dan juga tidak bicara.

Perlahan Sun-hoan menyambung ucapannya, “Hal ini lantaran kuanggap seorang yang masih dapat mencucurkan air mata adalah tidak pantas dibunuh.”

Tiba-tiba Sio-ang juga tertawa, “Kutahu, engkau tidak suka membunuh orang, maka aku tidak heran jika engkau tidak membunuh dia. Aku cuma heran, jelas-jelas engkau tidak mabuk, mengapa pura-pura mabuk?”

Sun-hoan tersenyum, “Kau pun penggemar minum arak, tentunya kau tahu pura-pura mabuk jauh lebih menarik daripada mabuk sungguh-sungguh. Jika mabuk benar hingga lupa daratan, selain tidak menyenangkan, esoknya kepala pasti akan sakit setengah mati.”

“Ehm, memang betul,” ujar Sio-ang.

“Tapi seorang yang suka minum juga tidak ada istilah tidak mabuk, maka bila engkau memang ingin mencekoki aku hingga mabuk, kesempatan di kemudian hari masih cukup banyak bagimu.”

Sio-ang menghela napas perlahan, “Tapi aku cukup paham juga, jika kesempatan ini sudah lalu dengan sia-sia, selanjutnya jangan harap lagi akan dapat membuatmu mabuk.”

“Ah, padahal aku ….” belum lanjut ucapan Sun-hoan, tiba-tiba dilihatnya si bungkuk menuju ke belakang lemari sana dan mengeluarkan seguci arak, tutup guci dipecahkan, lalu arak dituangkan ke mulut.

Entah berapa banyak dia menenggak baru Sio-ang merebut guci arak itu, omelnya, “Ai, orang lain lebih suka pura-pura mabuk daripada mabuk benar dicekoki orang, mengapa Jicek malah mencekoki diri sendiri hingga mabuk?”

Si bungkuk duduk telentang di kursi, matanya buram, gumamnya, “Sekali mabuk lenyaplah segala kesusahan. Maka akan lebih baik jika mabuk saja … lebih baik mabuk saja ….”

“Sebab apa?” tanya Sio-ang.

Mendadak si bungkuk melompat bangun dan berteriak, “Kau tanya sebab apa? Nah, dengarkan, sebab aku tidak sudi menerima budi kebaikan orang, aku tidak mau terima budi pertolongan siapa pun, aku lebih suka mati dibacok orang.”

Ia duduk terkulai pula di atas kursi, ia mendekap muka sendiri dan bergumam pula, “O, Li Sun-hoan, mengapa kau tolong diriku? Sudah cukup kurasakan pernah ditolong orang satu kali, dan kau tahu selama ini cara bagaimana kuhidup?”

Mestinya Sun-hoan ingin tanya siapa yang pernah menolongnya? Mengapa engkau berjanji berjaga selama 15 tahun di sini? Apa yang kau jaga?

Tapi didengarnya suara si bungkuk makin lama makin kabur, entah sudah mabuk atau tertidur.

Sun-hoan memandang Sio-ang dan juga ingin bertanya padanya, tapi demi melihat kedua mata si nona yang jeli dan lincah itu, seketika ia batalkan niatnya.

Anak perempuan semacam Sun Sio-ang ini jangan harap akan dapat kau korek sesuatu rahasia darinya.

Terpaksa Li Sun-hoan hanya menghela napas gegetun, ucapnya, “Jicekmu sungguh tidak malu disebut sebagai seorang lelaki sejati.”

Sio-ang meliriknya dengan tertawa, “Apakah maksudmu hendak bilang, hanya lelaki sejati saja dapat mabuk benar secepat ini?”

“Maksudku, hanya lelaki sejati saja yang dapat pegang janji, sampai mati pun ditepati. Hanya lelaki sejati tidak mau menerima budi pertolongan orang. Hanya lelaki sejati rela berkorban bagi orang lain.”

Biji mata Sio-ang berputar, “Makanya engkau berdiam di sini juga lantaran engkau harus melindungi orang lain?”

Sun-hoan diam saja.

“Dengan alasan apa pun engkau tetap tidak mau pergi, bukan?”

Sun-hoan tetap diam saja.

“Akan tetapi bagaimana dengan A Fei, tidak kau pikirkan dia dan ingin menjenguknya. Apakah dia bukan sahabatmu?”

Sampai lama Sun-hoan berdiam pula, katanya kemudian, “Sedikitnya dia masih dapat menjaga dirinya sendiri.”

“Sering kudengar orang bercerita, katanya Lim Sian-ji secantik bidadari, tapi juga sering menjerumuskan kaum lelaki ke neraka. Apakah engkau tidak khawatir sahabatmu akan dibawanya ke neraka?”

Kembali Sun-hoan tutup mulut.

Sun Sio-ang menghela napas, “Kutahu juga engkau pasti tak mau pergi dari sini, demi si dia, urusan lain dapat kau tinggalkan dan dapat di kesampingkan ….”

Tiba-tiba kerlingan Sio-ang berubah lembut, ucapnya dengan hampa, “Namun, mengapa engkau tidak mencari seorang penggantinya?”

Tertampil rasa menderita pada wajah Li Sun-hoan, kembali ia berjongkok dan terbatuk-batuk tiada hentinya.

Sio-ang memainkan ujung bajunya, katanya pula, “Engkau tidak mau pergi, tentu juga tak dapat kupaksa dirimu, cuma, paling tidak engkau kan mesti menemui kakekku.”

“Di … di mana dia?” tanya Sun-hoan.

“Dia menunggumu di Tiangting, di luar kota.”

“Tiangting?” Sun-hoan menegas.

“Ya, sebab Siangkoan Kim-hong pasti akan lalu di situ.”

Sun-hoan berpikir sejenak, “Biarpun Siangkoan Kim-hong akan lalu di situ juga belum tentu dapat dilihatnya.”

“Pasti dapat melihatnya,” kata Sio-ang, “sebab selamanya Siangkoan Kim-hong tidak suka naik kereta, juga tidak menumpang kuda, dia lebih suka berjalan kaki. Sering dia berkata, seorang dilahirkan dengan dua kaki adalah agar supaya setiap orang berjalan kaki.”

“Banyak juga yang kau ketahui,” ujar Sun-hoan dengan tersenyum. “Bukan saja kau tahu Siangkoan Kim-hong akan datang, bahkan kau pun tahu jalan mana yang akan dilaluinya. Bukan cuma surat ini kau katakan ditulis oleh Lim Sian-ji, bahkan dia bersembunyi di mana ….”

Ia menatap tajam si nona, lalu bertanya dengan perlahan, “Semua itu cara bagaimana dapat kau ketahui?”

Sio-ang menggigit bibir, jawabnya dengan tersenyum manis, “Dengan sendirinya ada caraku sendiri untuk mendapatkan semua info itu, tapi takkan kukatakan padamu.”

*****

Malam kelam.

Kekelaman malam di luar kota jauh lebih pekat daripada di dalam kota.

Jagat raya ini sunyi senyap, hanya sayup-sayup bunyi serangga malam terbawa angin.

Langkah Sun Sio-ang sangat cepat dan enteng, seperti tidak pernah lelah. Terhadap urusan apa pun tampaknya dia selalu berminat besar. Dia memang penuh gairah terhadap kehidupan ini. Dia masih muda.

Li Sun-hoan berjalan di sampingnya dan justru merupakan perbandingan yang sangat mencolok.

Sun-hoan merasa kagum dan juga rada iri. Ketika ia merasakan iri barulah mendadak ia terkejut. “Apakah benar aku sudah tua?”

Sebab ia tahu hanya orang tua bisa timbul rasa iri terhadap anak muda yang penuh gairah.

Ia bergumam menyindir dirinya sendiri, “Jika terjadi sepuluh tahun yang lalu, tentu aku takkan berjalan sedekat ini denganmu.”

“Sebab apa?” tanya Sio-ang.

“Setiap orang Kangouw sama tahu aku ini seorang petualang, bila melihat kujalan bersama anak perempuan seperti dirimu, orang lain pasti akan bicara hal yang tidak-tidak. Untung sekarang aku sudah tua, bila dilihat orang lain tentu mereka akan menyangka aku adalah ayahmu.”

“Ayahku?” teriak Sio-ang. “Memangnya kau kira dirimu sudah sedemikian tua?”

“Tentu saja,” ujar Sun-hoan.

Mendadak Sio-ang tertawa mengikik.

“Apa yang kau tertawai?”

“Kutertawai dirimu.”

“Sebab apa?”

“Sebab kutahu engkau pasti sangat takut padaku.”

“Aku takut padamu?” Sun-hoan menegas.

Gemerdep sinar mata Sio-ang serupa kerlip bintang di langit, ucapnya sambil tertawa, “Justru lantaran kau takut padaku, makanya kau bicara demikian padaku. Kau khawatir engkau akan … akan baik padaku, maka sengaja mengaku sudah tua, begitu bukan?”

Sun-hoan cuma menyengir saja.

“Padahal, jika engkau sudah kakek, tentu aku juga sudah nenek,” mendadak Sio-ang berhenti dan menatap Li Sun-hoan, katanya pula dengan lembut, “Hanya orang yang merasa sudah tua baru benar-benar akan berubah menjadi tua. Kakekku justru tidak sudi mengaku tua. Engkau masih sangat muda, kumohon selanjutnya janganlah kau bilang dirimu sudah tua.”

Sinar matanya mencorong terang dan mengandung kelembutan yang suci murni. Hanya anak gadis suci murni berperasaan begini.

Melihat sorot mata Sio-ang, tiba-tiba Sun-hoan teringat kepada Lim Si-im sepuluh tahun yang lalu. Tatkala mana bukankah Si-im juga setulus dan suci murni begini?

Tapi sekarang?

Diam-diam Sun-hoan menghela napas menyesal, ia memandang jauh ke depan, katanya dengan tertawa, “Lihatlah, Tiangting sudah tertampak di depan, lekas kita ke sana supaya kakekmu tidak gelisah menunggu.”

Di tengah kegelapan malam hanya terlihat setitik cahaya di Tiangting atau gardu panjang itu, cahaya api itu sebentar terang sebentar guram, pada waktu terang baru kelihatan sesosok bayangan orang.

“Dapatkah kau lihat setitik cahaya itu?” tanya Sio-ang.

“Kulihat,” jawab Sun-hoan.

“Dapatkah kau terka sinar api apa itu?”

“Itulah api pipa tembakau kakekmu.”

“Aha, engkau sungguh anak ajaib, sungguh aku sangat kagum padamu,” Sio-ang berkeplok memuji.

Sun-hoan juga tertawa.

Entah mengapa, berada bersama anak perempuan ini dia menjadi lebih sering tertawa dan lebih jarang berbatuk.

“Entah Siangkoan Kim-hong sudah datang belum dan apakah kakek sudah mengantar kepergiannya?….” kata si nona, tiba-tiba tertampil rasa sedih pada sorot matanya, katanya pula, “Marilah lekas kita ke sana ….”

Belum habis ucapannya, mendadak Sun-hoan menarik tangannya.

Jantung Sio-ang berdebar, muka menjadi panas. Ia coba melirik Sun-hoan sekejap, dilihatnya sikap Li Sun-hoan sangat prihatin, sorot matanya yang tajam lagi memandang ke depan sana dengan termenung.

Kiranya di kejauhan jalan sana telah muncul dua titik sinar api.

Itulah dua titik sinar lampu. Lampu berkerudung yang terangkat pada galah bambu yang panjang. Di bawah cahaya lampu terlihat pengangkat lampu juga berseragam kuning emas, bahkan wajahnya juga kekuning-kuningan karena cahaya lampu sehingga kelihatan misterius dan menakutkan.

Cepat Sun-hoan menarik Sio-ang ke belakang pohon di tepi jalan.

“Kim-ci-pang?” tanya Sio-ang dengan suara tertahan.

Sun-hoan mengangguk.

Dengan kening bekernyit Sio-ang berkata pula, “Kiranya baru sekarang Siangkoan Kim-hong datang, jangan-jangan di tengah jalan ia pun menemui sesuatu?”

“Bisa jadi dia cuma mempunyai dua kaki maka jalannya kurang cepat,” ujar Sun-hoan.

Terlihat di belakang kedua lampu kerudung itu ada lagi dua lampu yang lain, jaraknya kira-kira beberapa meter. Di antara lampu itu terdapat lagi dua orang.

Kedua orang ini berjalan muka dan belakang, sangat lambat jalannya, tapi lebar langkahnya. Perawakan kedua orang sangat tinggi, semuanya memakai baju kuning emas. Ujung baju orang yang di depan sangat panjang, hampir menyentuh telapak kaki, tapi waktu berjalan baju panjangnya hampir tidak bergoyang.

Sebaliknya ujung baju orang yang berjalan di belakang agak pendek, hanya melewati dengkul saja.

Kedua orang sama memakai caping yang lebar dan agak mendoyong ke depan sehingga mata alisnya tertutup, sebab itulah meski cahaya lampu cukup terang juga sukar menerangi wajah mereka.

, ,

  1. Leave a comment

Leave a comment